Sepotong Senja di Santa Cruz

Photo ilustrasi by Pixabay

Aku capek menjadi manusia. Andai saja aku masih boleh memilih, aku akan memilih menjadi senja. Menjadi cahaya yang ungu keperak-perakan di antara awan gemawan yang berarak.  
Bekerdap-kerdap cemerlang di cakrawala, menyepuh puncak gunung, pasir pantai, silhuet panjang batu karang, dan selalu begitu, setiap saat di suatu tempat dan di suatu waktu yang entah kapan dan dimana. 

Aku akan memilih menjadi hari-hari yang selalu temaram untukmu, menjadi senja abadi yang paling sendu, tanpa harus merasa luka atau cemburu.

Jika aku mampu, pasti sudah lama aku duduk-duduk disini saja tanpa memikirkanmu.

Tapi nyatanya cinta pukimak ini, telah merampok nyaris seluruh akal sehatku. Menjadi teror mimpi dan juga saat sadarku. Perasaan yang diam-diam kemudian menjelma menjadi burung gagak, paruhnya yang kokoh mematuk tiap-tiap kerat sel tubuhku.

Semakin besar keinginanku untuk menolak dan mengelak dari perasaan paling taik kucing –yang pernah kukenal—dalam sejarah kehidupku, semakin besar pula luka terasa menganga.

Padahal sebelumnya aku mengira diri sehebat Sinbad. Berlayar dengan lapar ke setiap teluk dan selat. Tapi di geladak cinta, rupanya aku tak lebih dari seorang bajak laut yang tak lulus berenang, pingsan telentang digasak gelombang. 

Aku langsung klenger dihantam petir. Aku tak sempat lagi mengelak, kala semuanya berputar-putar cepat. Oleng dalam hening, melintang di antara tiang, temali, galang, dan lentera.*)

Andaikan saja aku masih boleh memilih, maka aku akan memilih menjadi senja. Karena hanya senja yang jujur pada keindahan, tanpa mempersoalkan rasa sakit, penghianatan maupun noda.


CATATAN:Santa Cruz : Great Santa Cruz Island, Zamboanga Philipina
*) Teringat pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Senja di Pelabuhan Kecil.
Next Post Previous Post