by: Wisnu Pamungkas
Bulan sabit yang menyembul di cela-cela pucuk pohon itu mengingatkanku kepada ibu. Wanita separuh baya dalam kebaya kusam, dengan sorot mata yang selalu gelisah. Perempuan yang rambutnya mulai memutih itu selalu menyisakan bau tembakau dan balsam setiap kali hadir.
Hanya itu yang sempat kuingat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, sejak kepergian ibu menyusul ayah ke negeri antah berantah. Setiap bulan sabit nongol, perasaanku seperti diiris sembilu.
Suatu malam ia lenyap, hanya berbekal sebatang rokok daun nipah yang kerab dihisapnya saat-saat risau. Tak seorang pun tahu kemana ibu pergi. Hanya secarik kertas kusam di atas meja yang tampak ditulis dengan terburu-buru.
“Ibu menyusul ayahmu, jagalah adik-adikmu dengan baik.”
Malam itu bulan sabit benar-benar sempurna di atas pucuk nangka. Suara jangkrik dan burung malam seakan-akan pesan gaib masa lalu yang membuat rahangku terkatub.
STAIN Pontianak, 1 Pebruari 2007
Bulan sabit yang menyembul di cela-cela pucuk pohon itu mengingatkanku kepada ibu. Wanita separuh baya dalam kebaya kusam, dengan sorot mata yang selalu gelisah. Perempuan yang rambutnya mulai memutih itu selalu menyisakan bau tembakau dan balsam setiap kali hadir.
Hanya itu yang sempat kuingat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, sejak kepergian ibu menyusul ayah ke negeri antah berantah. Setiap bulan sabit nongol, perasaanku seperti diiris sembilu.
Suatu malam ia lenyap, hanya berbekal sebatang rokok daun nipah yang kerab dihisapnya saat-saat risau. Tak seorang pun tahu kemana ibu pergi. Hanya secarik kertas kusam di atas meja yang tampak ditulis dengan terburu-buru.
“Ibu menyusul ayahmu, jagalah adik-adikmu dengan baik.”
Malam itu bulan sabit benar-benar sempurna di atas pucuk nangka. Suara jangkrik dan burung malam seakan-akan pesan gaib masa lalu yang membuat rahangku terkatub.
STAIN Pontianak, 1 Pebruari 2007