Oleh: A. Alexander Mering
Walau sama-sama rumpun melayu, ternyata tak membuat Indonesia dan Malaysia akur dan mesra layaknya orang hidup berjiran. Kedua negara itu kerap dibakar cemburu dan makin rajin sekali berkelahi, menyusul isu klaim tari Pendet asal Bali belum lama ini.
Dalam sekejab saja media jadi ramai. Facebook & Twitter, riuh oleh sumpah serapah dari orang-orang yang kononnya berbudaya.
"Ganyang Malaysia", "Serbu Malingsia", "Boikot Produk Malay-shit, bla..bla…,” tulis orang-orang di internet. Kononnya itu adalah ekspresi nasionalisme, yang tiba-tiba muncul entah dari kubur siapa. Seolah-olah begitulah para pahlawan membela Negara ini dulu.
Malaysia pula, sangat agresif. Ibarat petapatah, melihat rumput tetangga selalu lebih hijau dari halaman kita.
Nah, Indonesia pula yang mengaku negara besar dan berbudi tapi tabiatnya belum juga berubah meski sudah bangkotan, 64 tahun! Berteriak paling lantang, bicara paling kencang, tetapi besok tetap saja tersandung pada masalah yang sama.
Paling jago lagi menghitung dosa orang lain dengan dalih membela bangsa. Yang lain bilang itu karena Malaysia keterlaluan. Sebab mulai dari masalah wilayah, TKI, budaya, hingga makanan maknyos pun diklaimnya. Mungkin keduanya sama-sama sudah amnesia siapa gajah mada dan sejarah nusantara?
Diskusi tak kalah seru di http://politikana.com, 25 Agustus 2009 lalu. Rudolf Dethu yang mengaku dari Komponen Rakyat Bali mengatakan,“Ki sanak, ini era millenium. Bakar, bunuh, cincang, ganyang, itu jaman Soekarno. Itu masa perang. Sekarang-ini tahun 2009…” kata dia.
Yang lain menulis,” bantai saja!”
Salah seorang personil Jaringan Kearifan Tradisional Indonesia (JKTI) Lorens, mengatakan ini adalah konsekuensi dari kurang pedulinya pemerintah kepada eksistensi kearifan lokal dan kearifan tradisional di dalam masyarakat Indonesia. Dimana hal tersebut merupakan domain komunal yang sepatutnya dilindungi.
“Pemerintah atau pembuat undang-undang, tidak pernah mengkaji skema global,” kata dia. Dalam Rancangan Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual (RUU-HAKI) yang sedang digodok bahkan tak satu klausul pun yang memberi ruang kepada communal right atau HAKI Komunal. Makanya Indonesia gampang diobok-obok.
Karena klaim sering dilakukan bukan dimana pengetahuan itu berada, tetapi siapa yang mensistematiskan dan mendaftarkannya hingga menjadi legal.
Lorens mencontohkan ukiran Jepara yang sekarang hak patennya dimiliki warga Negara asing. Belakangan justru ada pulau di mentawai yang juga diperjualbelikan justru oleh warga negara lain.
Oleh sebab itu dia menilai RUU-HAKI sangat lemah. Karena yang diakui baru hak intelektual individu. Padahal dalam kontek folklore, nilai religious dan etika sosial, norma dan aturan adat, pengetahuan local dan keterampilan yang kerap diributkan Malaysia-Indonesia itu justru berada pada ranah komunitas atau communal domain.
“Kita tidak bisa menang ketika diajukan ke makamah internasional jika pemerintah sendiri tidak menyiapkan regulasi di bidang ini,” tegasnya.
Padahal kata Lorens sejak tahun 1998, Word Trade Organization (WTO) sudah mengatur yang disebut Trade Relate Intellectual Property Right (TRIPS). Disana diatur bahwa para negara-negara anggotanya harus membuat regulasi tentang HAKI yang mengacu kepada kesepakatan WTO. Pada kenyataannya Indonesia sendiri sampai sekarang berleha-leha, karena itu kasus begini terus saja berulang. Sementara negara lain memetik keuntungan dari keanekaragaman kekayaan budaya Indonesia. Menurut dia ada lagi yang sangat serius dan menjadi tantangan ke depan bangsa ini, yaitu terkait klaim sumber daya genitika.
“Pemerintah Indonesia seharusnya segera menata dan menyelesaikan regulasi atau legislasi nasional terkait hak kepemilikan communal right,” kata dia.
Paling tidak kedua RUU HAKI itu harus mencakup perlindungan dan pemanfaatan kearifan tradisional dan tradisi budaya serta perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya genitika. Nah jika regulasinya siap, maka itu akan menjadi dasar bagi Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya di level internasional.
Ia juga mengingatakan persoalan ini tidak hanya cuma masalah Indonesia-Malaysia, tetapi juga konflik Selatan-selatan. Untuk negara berkembang hal ini justru menjadi kontra produktif karena mereka terkadang memiliki histories yang sangat dekat.
Dalam kontek Kalbar yang kaya folklore dan biodiversity, kinilah saatnya pemerintah membuka akses dan menyediakan kemudahan bagi komunitas untuk memproteksi, mendokumentasi dan mendorong pengakuan terhadap hak komunal tadi. Kalau pun belum setidaknya sejak awal saat sebuah produk akan didaftarkan, pemerintah harus melakukan verifikasi terhadap sumber asal.
Sementara itu Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Barat, Thadeus Yus mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tak ubahnya orang yang mudah kebakaran jengot. Ada peristiwa baru beraksi. Dengan demikian dalam perang psikologis, Malaysia pun jadi gampang mengukur ketahanan mental bangsa ini.
Tak ada kasus yang tuntas, mulai dari perbatasan hingga persoalan budaya yang diklaim.
Ia melihat kasus yang sedang diributkan dari dua sisi. Sisi pertama adalah menipisnya kecintaan dan kepedulian pada budaya sendiri, dan yang kedua adalah Indonesia kalah dalam hal promosi budaya.
Terkait tarian Dayak ditayangkan dalam iklan pariwisata Malaysia sebagaimana yang dihebohkan media, Thadius mengatakan bahwa harus lihat dari kasus per kasus. Karena komunitas Dayak merupakan penghuni Pulau Borneo yang secara rumpun budaya tak terpisahkan. Yang memisahkan mereka justru administrasi politik. Karenanya komunitas Dayak dapat ditemukan di Sarawak-Sabah, Malaysia dan bahkan di Brunei Darussalam.
DAD Kalbar sendiri sering melakukan kerjasama budaya dengan organisasi Dayak di Malaysia karena melihat bahwa secara budaya mereka adalah satu.
“Kita justru berusaha mengembangkannya menjadi budaya yang luas, yang tidak terkotak oleh batas politik,” kata dia.
Justru yang ia kuatirkan adalah banyak peneliti asing yang meneliti kearifan local, obat-obatan tradisional dan lain-lain sebagainya—lalu membuat tesis atau desertasi—lalu mematenkan kearifan lokal tersebut.
DAD mendorong agar pemerintah bersikap, menginisiasi konvensi internasional yang memberikan pengakuan communal right, sehingga orang-orang yang menggunakannya tidak bisa mempatenkan hak tersebut.
Nah, Indonesia yang sudah banyak mengalami pengalaman pahit terkait communal right ini mestinya melakukan langkah strategis dan antisipasi.
Diakui, setakat ini DAD baru pada tahap proteksi internal, dengan mengangkat kembali kearifan lokal, folklore, agar generasi berikutnya tidak kehilangan pengetahuan budaya mereka sendiri. DAD Kalbar adalah satu dari 4 lembaga DAD yang berada di Kaltim, Kalsel dan Kalteng di bawah naungan Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). Publish in Borneo Tribune 28 Agustus 2009
Walau sama-sama rumpun melayu, ternyata tak membuat Indonesia dan Malaysia akur dan mesra layaknya orang hidup berjiran. Kedua negara itu kerap dibakar cemburu dan makin rajin sekali berkelahi, menyusul isu klaim tari Pendet asal Bali belum lama ini.
Dalam sekejab saja media jadi ramai. Facebook & Twitter, riuh oleh sumpah serapah dari orang-orang yang kononnya berbudaya.
"Ganyang Malaysia", "Serbu Malingsia", "Boikot Produk Malay-shit, bla..bla…,” tulis orang-orang di internet. Kononnya itu adalah ekspresi nasionalisme, yang tiba-tiba muncul entah dari kubur siapa. Seolah-olah begitulah para pahlawan membela Negara ini dulu.
Malaysia pula, sangat agresif. Ibarat petapatah, melihat rumput tetangga selalu lebih hijau dari halaman kita.
Nah, Indonesia pula yang mengaku negara besar dan berbudi tapi tabiatnya belum juga berubah meski sudah bangkotan, 64 tahun! Berteriak paling lantang, bicara paling kencang, tetapi besok tetap saja tersandung pada masalah yang sama.
Paling jago lagi menghitung dosa orang lain dengan dalih membela bangsa. Yang lain bilang itu karena Malaysia keterlaluan. Sebab mulai dari masalah wilayah, TKI, budaya, hingga makanan maknyos pun diklaimnya. Mungkin keduanya sama-sama sudah amnesia siapa gajah mada dan sejarah nusantara?
Diskusi tak kalah seru di http://politikana.com, 25 Agustus 2009 lalu. Rudolf Dethu yang mengaku dari Komponen Rakyat Bali mengatakan,“Ki sanak, ini era millenium. Bakar, bunuh, cincang, ganyang, itu jaman Soekarno. Itu masa perang. Sekarang-ini tahun 2009…” kata dia.
Yang lain menulis,” bantai saja!”
Salah seorang personil Jaringan Kearifan Tradisional Indonesia (JKTI) Lorens, mengatakan ini adalah konsekuensi dari kurang pedulinya pemerintah kepada eksistensi kearifan lokal dan kearifan tradisional di dalam masyarakat Indonesia. Dimana hal tersebut merupakan domain komunal yang sepatutnya dilindungi.
“Pemerintah atau pembuat undang-undang, tidak pernah mengkaji skema global,” kata dia. Dalam Rancangan Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual (RUU-HAKI) yang sedang digodok bahkan tak satu klausul pun yang memberi ruang kepada communal right atau HAKI Komunal. Makanya Indonesia gampang diobok-obok.
Karena klaim sering dilakukan bukan dimana pengetahuan itu berada, tetapi siapa yang mensistematiskan dan mendaftarkannya hingga menjadi legal.
Lorens mencontohkan ukiran Jepara yang sekarang hak patennya dimiliki warga Negara asing. Belakangan justru ada pulau di mentawai yang juga diperjualbelikan justru oleh warga negara lain.
Oleh sebab itu dia menilai RUU-HAKI sangat lemah. Karena yang diakui baru hak intelektual individu. Padahal dalam kontek folklore, nilai religious dan etika sosial, norma dan aturan adat, pengetahuan local dan keterampilan yang kerap diributkan Malaysia-Indonesia itu justru berada pada ranah komunitas atau communal domain.
“Kita tidak bisa menang ketika diajukan ke makamah internasional jika pemerintah sendiri tidak menyiapkan regulasi di bidang ini,” tegasnya.
Padahal kata Lorens sejak tahun 1998, Word Trade Organization (WTO) sudah mengatur yang disebut Trade Relate Intellectual Property Right (TRIPS). Disana diatur bahwa para negara-negara anggotanya harus membuat regulasi tentang HAKI yang mengacu kepada kesepakatan WTO. Pada kenyataannya Indonesia sendiri sampai sekarang berleha-leha, karena itu kasus begini terus saja berulang. Sementara negara lain memetik keuntungan dari keanekaragaman kekayaan budaya Indonesia. Menurut dia ada lagi yang sangat serius dan menjadi tantangan ke depan bangsa ini, yaitu terkait klaim sumber daya genitika.
“Pemerintah Indonesia seharusnya segera menata dan menyelesaikan regulasi atau legislasi nasional terkait hak kepemilikan communal right,” kata dia.
Paling tidak kedua RUU HAKI itu harus mencakup perlindungan dan pemanfaatan kearifan tradisional dan tradisi budaya serta perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya genitika. Nah jika regulasinya siap, maka itu akan menjadi dasar bagi Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya di level internasional.
Ia juga mengingatakan persoalan ini tidak hanya cuma masalah Indonesia-Malaysia, tetapi juga konflik Selatan-selatan. Untuk negara berkembang hal ini justru menjadi kontra produktif karena mereka terkadang memiliki histories yang sangat dekat.
Dalam kontek Kalbar yang kaya folklore dan biodiversity, kinilah saatnya pemerintah membuka akses dan menyediakan kemudahan bagi komunitas untuk memproteksi, mendokumentasi dan mendorong pengakuan terhadap hak komunal tadi. Kalau pun belum setidaknya sejak awal saat sebuah produk akan didaftarkan, pemerintah harus melakukan verifikasi terhadap sumber asal.
Sementara itu Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Barat, Thadeus Yus mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tak ubahnya orang yang mudah kebakaran jengot. Ada peristiwa baru beraksi. Dengan demikian dalam perang psikologis, Malaysia pun jadi gampang mengukur ketahanan mental bangsa ini.
Tak ada kasus yang tuntas, mulai dari perbatasan hingga persoalan budaya yang diklaim.
Ia melihat kasus yang sedang diributkan dari dua sisi. Sisi pertama adalah menipisnya kecintaan dan kepedulian pada budaya sendiri, dan yang kedua adalah Indonesia kalah dalam hal promosi budaya.
Terkait tarian Dayak ditayangkan dalam iklan pariwisata Malaysia sebagaimana yang dihebohkan media, Thadius mengatakan bahwa harus lihat dari kasus per kasus. Karena komunitas Dayak merupakan penghuni Pulau Borneo yang secara rumpun budaya tak terpisahkan. Yang memisahkan mereka justru administrasi politik. Karenanya komunitas Dayak dapat ditemukan di Sarawak-Sabah, Malaysia dan bahkan di Brunei Darussalam.
DAD Kalbar sendiri sering melakukan kerjasama budaya dengan organisasi Dayak di Malaysia karena melihat bahwa secara budaya mereka adalah satu.
“Kita justru berusaha mengembangkannya menjadi budaya yang luas, yang tidak terkotak oleh batas politik,” kata dia.
Justru yang ia kuatirkan adalah banyak peneliti asing yang meneliti kearifan local, obat-obatan tradisional dan lain-lain sebagainya—lalu membuat tesis atau desertasi—lalu mematenkan kearifan lokal tersebut.
DAD mendorong agar pemerintah bersikap, menginisiasi konvensi internasional yang memberikan pengakuan communal right, sehingga orang-orang yang menggunakannya tidak bisa mempatenkan hak tersebut.
Nah, Indonesia yang sudah banyak mengalami pengalaman pahit terkait communal right ini mestinya melakukan langkah strategis dan antisipasi.
Diakui, setakat ini DAD baru pada tahap proteksi internal, dengan mengangkat kembali kearifan lokal, folklore, agar generasi berikutnya tidak kehilangan pengetahuan budaya mereka sendiri. DAD Kalbar adalah satu dari 4 lembaga DAD yang berada di Kaltim, Kalsel dan Kalteng di bawah naungan Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). Publish in Borneo Tribune 28 Agustus 2009