by: Alexander Mering
Tak cuma aku yang gelisah berbulan-bulan ini soal nasib durian di West Borneo, seorang pembaca, Pay Jarot Sujarwo tiba-tiba mengirimkan sepucuk surat ke alamat emailku dengan derai air mata.
Tajuknya: Kepada Sepasang Kekasih yang Mencintai Durian.
Diam-diam di Sukadana sana dia membaca tulisanku yang berjudul Durian Cinta. Aku benar-benar terharu, membaca emailnya. Aku tahu aku tidak sendiri, sebab semula kukira hanya sepasang kekasih yang kutemukan di Pasar Mawar itu saja yang peduli pada nasib durian di pulau ini.
Betapa penulis muda Kalimantan Barat ini juga peduli pada nasib pusaka negeri ini. Seperti sepasang kekasih yang mengingat pohon durian, nasib situs nenek moyang dan kekayaan alam dalam realitas romantisme anak manusia yang terpaksa aku kemas dalam bentuk cerita, seperti yang dilakukan Seno Gumira Adjidharma dalam kumpulan cerpennya Saksi Mata. Simaklah surat itu selengkapnya.
Tak cuma aku yang gelisah berbulan-bulan ini soal nasib durian di West Borneo, seorang pembaca, Pay Jarot Sujarwo tiba-tiba mengirimkan sepucuk surat ke alamat emailku dengan derai air mata.
Tajuknya: Kepada Sepasang Kekasih yang Mencintai Durian.
Diam-diam di Sukadana sana dia membaca tulisanku yang berjudul Durian Cinta. Aku benar-benar terharu, membaca emailnya. Aku tahu aku tidak sendiri, sebab semula kukira hanya sepasang kekasih yang kutemukan di Pasar Mawar itu saja yang peduli pada nasib durian di pulau ini.
Betapa penulis muda Kalimantan Barat ini juga peduli pada nasib pusaka negeri ini. Seperti sepasang kekasih yang mengingat pohon durian, nasib situs nenek moyang dan kekayaan alam dalam realitas romantisme anak manusia yang terpaksa aku kemas dalam bentuk cerita, seperti yang dilakukan Seno Gumira Adjidharma dalam kumpulan cerpennya Saksi Mata. Simaklah surat itu selengkapnya.