by A. Alexander Mering
I am leaving this place, leaving you and everyone who are
trying to find a piece of history at every nook and cranny. I am leaving, not
because I am a coward, but this is the way for me to seek adventures, freedom
and a place for my future. I am leaving, Borneo with a great sadness in my
heart.
Though there is much more to say, I only wish to add that I
am no coward. I am only a child. Who would believe a child, especially to
create history?
I am an illegitimate, born in uncertain times. Only a poor
village child, trapped in a mouse cage with history chasers, political clowns
and vampire bureaucrats. My dearest friend, I am a newborn, lost in the land of
people who sell off their dignity, culture, race and religion for a few
rupiahs.
I am but a child, a stalk of paddy whose young roots rise
cautiously between the dead straw, after the fields are destroyed. This is why
I have always been crazy, am always crazy in my thirsty search for the
knowledge and wisdoms of the world. This will be a talisman for my tortured
soul.
I do not wish to be a tourist, nor a traditional head-hunter
of the bahoela ages. I wish to be a
head-hunter, seeking knowledge that will cure my religion and to honor the
great ancestors.
Yet, this is my curse. This, too, is my blessing, to be a
clandestine, a modern- day head-hunter!
Indonesian Version
Aku akan pergi, agar sempurnalah semua ruang, tempat dimana
engkau dan setiap orang masih harus bertarung memperebutkan sejarah.
Aku pergi bukan karena aku pengecut. Tetapi mungkin dengan
cara inilah aku akan menjalani banyak pertualangan, memberi waktu dan juga
tempat kepada diriku sendiri untuk berfikir tentang suatu waktu di masa depan.
Tentu saja, aku meninggalkan Borneo dengan persaan terluka.
Banyak yang ingin aku katakan, tetapi kutulis juga surat ini untukmu supaya
engkau tahu aku bukanlah seorang pecundang.
Tetapi untuk saat ini aku hanyalah seorang bocah. Dan
manalah ada yang akan percaya kepada anak kecil, apalagi untuk sebuah urusan
menciptakan sejarah?
Aku hanyalah anak haram jadah waktu yang terlahir di
antara badai nilai-nilai. Bocah kampung yang terkepung para spekulan
sejarah, para sirkus politik dan
birokrat penghisap darah.
Kawan, aku cuma orok yang tersesat di wilayah yang salah, di
perbatasan tanah para gerombolan yang tanpa malu-malu menjual kehormatan suku,
adat, budaya dan agama mereka untuk uang.
Sekali lagi, aku hanya seorang bocah, hanya tunas padi yang
sulurnya baru saja tersembul di antara jerami mati, setelah seluruh ladang
punah. Karena itulah aku selalu gila,
gila ingin sekolah, membawa ‘mandau ruhaniku’ menjelajah, mengitari jagad untuk
mendapatkan ‘jimat’ dan kebijaksanaan. Tapi tentu saja bukan sebagai turis,
bukan juga pengayau tradisional jaman bahoela, tetapi pengayau modern yang ‘mengayau’ ilmu pengetahuan
sebagai cara ibadah dan sekaligus penghormatan kepada roh para leluhurku di masa silam.
Inilah kutukanku,
sekaligus berkat, yaitu menjadi clandestine, seorang pengayau masa depan!