Setelah dua minggu menanti, akhirnya aku putuskan onani. Aku tahu ini sebuah keputusan tidak sehat dan mungkin juga jahat. Karena aku lelaki yang memiliki standar-standar cukup bermartabat untuk berbahagia. Tapi hari itu, tubuhku sudah hampir meledak. Aorta, Otot, urat dan organku mendadak telah menjadi 1000 tombol dinamit yang hanya dapat dijinakan olehmu. Desah dan bayangan tubuh telanjangmu terus merensek ke otak, menerabas akal sehat yang paling bijak. Kamu tahu? Aku menangis menahannya, menahan rasa yang akan segera meledak, karena terlalu menginginkanmu ada, melampaui sebuah perasaan rindu. Hari itu aku telah terjungkal pada perasaan menyesal luar biasa. Remuk pada sebuah sudut yang disebut manusia.
26
Seperti sudah bisa diperkirakan, tak satu pun kabar kuterima darimu hari itu. Aku memang masih menanti, dengan gugup dan dada berdegup, seperti selalu. Tapi kini telah kubunuh sisa harapan dan juga rindu. 10 SMS yang kukirim kepadamu sore itu, hampir pasti cuma sebuah tindakan bodoh. Karena sesungguhnya tak ada lagi yang dapat kuharapkan, karena toch akhirnya semua pesan yang kukirim hanya akan menabrak waktu.
27
Aku pernah menunggu, memahat janji pada waktu, melawan jiwa paling purba yang merindu
Aku pernah menunggu, membayangkan engkau akan muncul dari tikungan itu
Menghadirkan silhuet senja, memanjang yang paling sendu
Aku pernah menunggu, mengira cinta seindah kupu-kupu,
Untuk apa lagi aku menunggu?
Jika Janji tak lebih dari sepotong keju
Aku pergi memanjat awan,
Kutinggalkan tanah, dan juga hukum waktu
28
Jakarta hujan. Aku masih tergolek di katil hotel, lunglai sehabis dihajar mimpi buruk. Perasaanku semakin kelam, antara rindu dan juga keinginan keras untuk melupakanmu.
Aku mengira, selama ini engkau dapat merasa betapa tersiksanya aku merindukanmu. Menderita karena kita terpisah jauh. Aku menyangka engkau juga rasakan, betapa setiap malam aku terjaga, dan terlelap lagi setelah mengingat matamu yang teduh.
Jakarta masih hujan. Engkau menelpon dari seberang. Memberi tahu kapan akan pulang, mirip penyiar radio yang memberi pengumuman pada pemirsa. Aku tercekat. Apakah itu engkau atau seorang yang lain? Aku matikan HP. Ternyata sebuah penantian bagimu bukan hal yang berharga. Pergulatanku dalam tiap jengkal waktu dengan nyeri rindu bukanlah apa-apa. Tak sepetong kata maaf pun terucap.
Baiklah. Aku yang telah keliru. Mengira mata hari yang kulihat adalah matahari yang satu, yang juga menyinarimu. Aku telah salah, karena mengira kita bernafas pada udara yang sama. Mengira rindu yang kurasa adalah rindu yang juga bersarang di dadamu. Aku sedar sekarang telah tertipu, karena menyangka api cinta yang menyala di dadaku adalah nyala api cinta yang sama membakarmu.
Jakarta masih hujan. Masih akan hujan, walau pun demikian tidak akan pernah bisa mencuci seluruh lukaku. Aku hapus semua SMS gombal lapar yang engkau kirim kepadaku. Ku-delete seluruh puisi cinta taik kucingmu yang pernah memabukanku.
Aku tenggak lagi seloki wiski. Aku berharap alkohol bisa menghilangkan seluruh perasaan sakit. Sementara di luar sana, hujan berpedar-pedar putih memarut Jakarta, memarut hatiku yang luka, yang perihnya telah melampaui sebuah rasa sakit.
03.40 WIB