Aku terjaga. Lebih dari satu jam aku bergulat dengan diriku sendiri. Aku beroda, agar Tuhan menghapus semua kenangan manis bersamamu. Kuucapkan berkali-kali seperti zikir.
“Tuhan, hapuslah semua ingatanku tentang dirinya, hapuslah semua ingatanku tentang dirinya, hapuslah semua ingatanku tentang dirinya….”
Tangisku meledak lagi. Aku sungguh tak sanggup melepaskan apa yang paling kuinginkan. Aku seperti orang gila, seloki wishki tak membuatku mabuk. Aku menggigil menahan sakit.
Jika terjadi sesuatu, hanya pelayan hotel yang tau. Aku kehabisan akal. Aku tidak mungkin lagi menelponmu. Aku ingin kau tenang menikmati hidup baru.
Tapi aku harus memberi tahu seseorang. Aku memilih ibu. Dialah satu-satunya yang paling mungkin kuajak bicara, sekali pun untuk terakhir kalinya. Tangisku semakin keras, dan hampir tak bisa bicara. “Tapi aku mohon ibu tidak memberi tahu dia.”
Aku terkapar. Di luar jendela sangat gelap.
***
Kota ini adalah persembunyianku, sampai aku menemukan tempat yang lebih baik untuk istirah dan melanjutkan hidup. Hotel ini adalah hotel yang sama, tempat aku menyembunyikan luka, saat aku merenggang nyawa, menahan rasa sakit.
Aku tak peduli pelayan hotel datang mengetuk. Aku terus mabuk agar waktu berhenti. Agar rindu dan kasih sayang didadaku segera membusuk. Karena kalau aku terjaga, aku akan merasa, aku tak mau menangis lagi. Dan aku baru sadar pukul 5 sore hari. Di luar sana kota tampak kelabu, sebagan bagunan mulai disepuh sinar mercury.
Aku seperti orang koma, tak sadar berapa lama tak mengingat dunia. Botol wiskhi di meja sudah kosong, aku memesan sebotol lagi.
Ini bukan cara terbaik untuk sembuh. Tapi ini cara yang paling mudah dilakukan. Aku ingin tak ada yang menderita karena keputusanku ini, kecuali diriku sendiri.
Aku ingin dia membenciku, ibu, supaya tak sulit baginya melanjutkan hari-hari dan menemukan lelaki baru. Aku hanya seorang clandestine, zat padat tanpa arah dan tuju.
Karena aku sangat mencintainya, maka aku harus merelakan dia berjalan tegak menemukan cahaya baru.