Namanya Lo fong Pak. Umurnya baru 34 tahun ketika menginjakkan kaki pertama kali di Pontianak bersama 100 kerabatnya, 200 tahun silam. Aku juga baru berumur 34 saat memulai kepincut oleh sejarah manusia ini. Saat itu kota Pontianak tentulah belum seramai sekarang. Tahun 1772 kala Lo Fong Pak datang untuk menjadi guru, Pontianak baru berupa bandar kecil dan pelabuhan tempat kapal-kapal berlabuh. Pasar dan pemukiman warga hanya terkosentrasi di pertemuan antara sungai Landak dan Sungai Kapuas, sekitar Pasar Kapuas Indah sekarang.
Mengapa aku sangat tergoda mempelajari sejarah Lo Fong Pak? Aku tidak tahu. Hubungan darah pun tiada. Karena aku pasti bukan salah seorang dari keturunannya. Aku orang Dayak dari rumpun ibanik. Lahir di pedalaman Kabupaten Sintang, 400 km dari Pontianak tahun 1973. Sedangkan Lo Fong Pak lahir di Kwangtung, Mei Hsien, Shih Pik Pao tahun ke-3 jaman dynasty Ching, saat raja Chien Long berkuasa.
Tetapi seumur-umur hidupku, belum ada satu tokoh sejarah pun yang mampu membuat fikiranku begini gelisah seperti aku memikirkan pemimpin Lan Fang Kongsi di Mandor ini. Mandor adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Landak, 200 km sebelah timur Kota Pontiank.
Sejumlah peneliti asing menyebut kongsi yang di pimpin Lo Fong Pak itu Republik. Karena sistem pemerintahan yang diterapkan mirip dengan tatanan sebuah republic, pada masa awalnya. Pemimpin dipilih secara demokratis, ada eksekutif, ada legislative, ada hukum, berikut penegaknya. Padahal Cina sendiri baru berbentuk republic pada tahun 1911. Amerika 1776, setahun lebih tua dari Republik Lan Fang.
Sebenarnya yang lebih mengejutkanku adalah, ternyata di tanah Borneo ini sudah ada republic tertua yang berpusat di Monterado, sektiar 60 km dari kota Sambas sekarang, atau 180 km dari Mandor, ibu kota republic Lan fang tadi. Presiden pertama di republic itu adalah Xie Jiebo. Republik ini adalah gabungan dari 14 kongsi besar di Monterado yang wilayah kekuasaannya mulai dari Monterado hingga Singkawang. Sedangkan republic Lan Fang dari Mandor hingga Mempawah.
Sayangnya catatan sejarah tentang republic di Monterado itu tak selengkap republic Lanfang yang hingga kini masih tersimpan di perpustakaan dan museum Belanda.
Namun hingga naskah ini ditulis, situs-situs sejarah dan sisa-sisa kejayaan dua republic ini masih dapat di temukan. Di Mandor umpamanya, masih bisa kita lihat bekas kantor republic Lan Fang, atau Lan Fang Kongsi, sekitar 100 meter dari jalan besar pasar Mandor. Di belakangnya ada satu tugu peringatan yang didirikan pada tahun 1886 oleh dua orang pencari harta karun Lo Fong Pak.
Di mandor mataku terasa panas dan berkaca-kaca ketika memandang sisa masa lampau yang kini tinggal puing tak terawat. Begitu juga ketika berdiri di prasasti peringatan pemberontakan anggota kongsi di Monterado terhadap belanda. Posisinya sudah miring, beberapa bagian sudah pecah dan rusak akibat Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI), tak jauh dari belakang kantor camat. Degup jantungkan semakin keras dan perih saat menatap serpihan kejayaan masa lampau yang sebentar lagi rubuh.
Tidak ada hari ini yang berani mengaku menjadi penanggungjawab situs sejarah ini, tidak juga para penguasa dan pengambil keputusan di Republic Indonesia ini.
Mungkin para keturunan dari dua republic masa lalu itu, tapi apa yang dapat mereka lakukan agar sejarah tidak terhapus?
Kini sudah genap 3 tahun kewarasanku terguncang, tiap kali mengingat Lo Fong Pak.
***