By Wisnu Pamungkas
Aku telah berhenti menangis ibu, namun sakit di dada ini tak juga reda. Tapi aku akan berusaha seperti ibu, gagah menghadapi segala sesuatu. Tak menyerah walau berdarah-darah, menjadi orang yang redha, serta sanggup mengorbankan diri untuk kebahagian orang tercinta.
Aku telah berhenti menangis ibu, namun sakit di dada ini tak juga reda. Tapi aku akan berusaha seperti ibu, gagah menghadapi segala sesuatu. Tak menyerah walau berdarah-darah, menjadi orang yang redha, serta sanggup mengorbankan diri untuk kebahagian orang tercinta.
Ibu memang bukan ibu biologisku, tetapi semangat ibu kini telah hidup dalam diriku. Menjadi lilin kecil yang mulai menghangatkan. Karena meski suatu hari nanti aku tak akan pernah berjaya dan sempurna sebagai suami, tapi setidaknya aku pernah menjadi ayah yang baik juga.
Kalau ibu kehilangan suami di masa muda, maka aku telah kehilangan kekasih yang paling aku sayangi, yaitu putrimu. Setiap hari, dari hari ke sehari –selama sebulan terakhir ini—aku belajar melupakannya, dan setiap hari pula aku mencucurkan airmata.
Aku sudah menghapus semua file, semua nomor telepon, semua kontak email, atau apa pun yang bisa membuat aku teringat kepadanya, tapi semakin aku berusaha, semakin aku kehabisan cara untuk sembuh dari ini luka.
Semakin jauh aku berlari meninggalkan dirinya, semakin banyak jejak, semakin sering ingatan dan bayanganya berkelebat.
Aku sakit dan tersiksa ibu, dan sudah tak ada lagi obat. Hanya dengan mengingat teladanmulah aku masih bisa kuat, walau gemetar melangkah sambil berharap datangnya muzijat. Tak sembarang orang bisa setahan ibu dan akan mampu melewati hidup yang pahit, walau dengan keperkasaan dan ketabahan yang sama sekali pun.
Karena itulah aku berdoa ibu. Minta agar Tuhan sudi memberikan ketabahan dan daya tahan yang sama kepadaku, mujizat yang tak dimiliki orang-orang biasa, sesuatu yang hanya diwariskan kepada orang-orang yang memiliki cinta dengan jujur dan tulus iklas.
Demikianlah ibu, setakat ini saja emailku. Aku akan terus mengembara meski tanpa arah dan tuju, aku hanya perlu terus berjalan lurus untuk melupakan rasa cinta yang tabu, menguburkan separuh hatiku ke tingkap sejarah, meninggalkan sesuatu yang paling kuinginkan, yaitu cinta anakmu.
Pontianak, 2.30 WIB, 13 April 2011