In Memoriam Emak Budi

http://tanikaret.wordpress.com
Pagi ini bukan pagi yang bahagia untuk penyadap karet dan untukku juga. Kabar itu meretas melalui email ke padaku  di Pontianak. Kabar Emak yang telah berpulang, membuat aku ikut terguncang. Aku coba menelpon Budi Miank, tapi HP-nya tak aktif lagi. Dia pasti sudah melesat ke Kampung Angan, tempat Emak bersemayam.

Aku tergamam di depan laptop, membaca berita duka yang dipublish Endy Jengot, salah seorang anggota 'sekte' kami.  Aku teringat kemarin baru saja kami bercanda-canda bersama Budi, di ruang belakang kantor salah seorang rekan pengacara,--tempat dimana sebagian besar lelakinya--berbuka baju, karena gerah dihajar udara panas khatulistiwa. 

Aku juga teringat guyonan kami, tentang bagaimana Emak, memaknai Gawai Dayak hanya dengan memotong ayam dan mengucap syukur atas panen yang diberikan Penguasa Jagat Raya ini, tanpa tahu betapa orang-orang di kota berpesta Gawai dengan menghabiskan uang Ratusan Juta Rupiah. 

Aku memang belum pernah bertemu Emak Budi. Tapi sosok Emak belakangan ini sering hidup dalam ingatanku, setiap kali Budi menceritakan kesederhanaan beliau.  Aku tahu Budi sangat mencintai Emak. Tak cuma itu, dia juga kagum pada wanita yang tak pernah menggugat apa pun yang Tuhan beri dan tidak berikan dalam hidupnya.

Beberapa waktu lalu aku membaca tulisan Budi yang bertajuk PAGI PENOREH KARET. Aku tahu betapa Budi rindu pada hari-hari bersama Emak, di tengah-tengah pertarungananya di sebuah kota yang dinamai Pontianak. 

Apa yang sudah dia dapat saat ini, (sebagai Editor dan Redaktur Pelaksana Harian Pontianak Post), sama sekali tak mampu mengantikan hari-harinya bersama Emak. Wanita sederhana yang tak saja memberi hidup dan cinta, tetapi juga kenangan sebagai anak seorang penyadap karet yang memilih menjadi wartawan dan penoreh modern.  

Sejumlah tulisan Budi di blognya, www.pedagi.com,  tentang kampung halamannya di Angan, Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau, dan terutama ingatannya tentang Emak, membuat aku sering mengingat emak dan kampungku sendiri.

Sebenarnya aku rindu suasana rumah saat pagi emak membangunkan tidurku. Saat dingin merasuk. Saat dengkur terdengar keras. Saat mimpi sedang membuai. “Sudah pagi. Bangun. Menoreh,” begitu cara Emak membangunkanku setiap pagi. Kadang hujan pun emak tetap membangunkan. Ia adalah alarm hidup yang tahu kapan harus membangunkan anaknya. Ia bagaikan kokok ayam yang menjadi petanda hari telah berganti. (www.pedagi.com)

Aku menitikan air mata, tak tahu harus mengatakan apa untuk setiap ibu yang meninggalkan anaknya. Juga Emak Budi. Bagiku, orang-orang yang ditinggalkanlah  yang berduka. Tapi mereka yang meninggal dunia adalah mereka-mereka yang berbahagia, karena telah menemukan jalan pulang.

Untuk Sahabatku Budi Miank, biarkanlah Emak bahagia, karena ia menemukan jalan pulang. Kini emak menyongosng gawainya sendiri, tanpa harus ikut ngumpul di Rumah Betang, Jalan Sutoyo Pontianak. Dan jika ajaran-ajaran agama itu benar, maka Emak pasti akan bertemu Bapak di sana, mendengarkan lagu Teluk Bayur bersama, lagu kegemaran bapak.

Bud, walau tak ada yang membangunkanmu setiap pagi lagi setelah ibu berpulang, tetapi ia akan terus hidup dalam ingatan dan mengingatkanmu dan juga orang-orang seperti kita untuk tetap terjaga saat bertarung melawan hidup.

Emak menyerahkan baju dinas yang biasa dipakai untuk menoreh. Warnanya sudah campur aduk. Lubang-lubang kecil membuat angin pagi leluasa merasuki pori-pori tubuh. Bau keringat juga menjadi aroma khas, yang mengalahkan segarnya udara pagi pedesaan. Sebuah topi biru juga menunggu digantungannya. Celana panjang yang tak lagi utuh kakinya kuraih. (www.pedagi.com)

Sebagai teman, sahabat dan juga anak pulau Borneo ini, aku mengucapkan takziah sedalam-dalamnya. Karena bagiku Emak bukan hanya sekadar emak yang telah melahirkan Budi secara biologis, tetapi juga ibu yang membekali kita sebuah energy cinta, wanita Borneo yang walau tak tercatat dalam buku sejarah negeri ini, tapi  telah memberi inspirasi kepadaku, dan mungkin juga kepada orang-orang yang hidup sederhana tanpa menghina akal sehat.

Takziah

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more