Tak ada lagi yang bisa mempertemukan kita kisanak. Kecuali takdir dan waktu. Karena kini telah kuputus semua kontak dan alamat. Telah kumusnahkan semua kemungkinan dan harapan, sehingga engkau tenang dalam kebahagaiaanmu.
Tapi semesta selalu menyeretku ke suatu pusaran, ke tempat dimana aku tidak bisa menolak untuk tidak datang, yaitu ke sebuah episentrum mimpi yang tebus batas waktu dan ruang.
Aku bermimpi bersamamu tadi malam, dalam sebuah tatanan waktu yang mengapung antara masa depan dan masa lalu. Mimpi tentang kita yang bercengkrama sebagai insan, rasa yang tak terelak dan paling diinginkan sepasang manusia. Aku dalam dirimu, dirimu di dalam aku, dan kita tak terpisahkan pada suatu ruang dan waktu. Kebersamaan, pergumulan yang lebih dari sekadar kata cinta yang paling indah diucapkan.
Tiba-tiba saja kita sudah berada dalam sebuah kampung, diantara orang -orang yang tak dikenal, sebuah masyarakat semesta tanpa nama, tanpa tanda, tanpa alamat atau peta. Tapi mereka ada dan hidup. Seperti kita yang hadir, menjelma menjadi sosok, menjadi energy, menjadi ia dan dia, menjadi sebuah hasrat tak tertahankan, menjadi sesuatu yang di luar kawalan, menjadi realitas, menjadi rindu, menjadi dendam, menjadi bibir beradu bibir, dada dengan dada, berlipat-lipat bahagia, menjadi cahaya yang termat terang.
Padahal aku sudah berusaha Nisanak. Mungkin lebih dari sekadar berupaya, meski aku harus membunuhmu setiap saat. Menguburmu tiap-tiap waktu, menguras setiap ruang dalam diriku, agar tak ada lagi tempat, tak ada lagi ruang dan waktu yang terisa untuk sekadar mengingatmu.
Nisanak, karena engkau telah bahagia, aku memohon kepadamu, relakanlah aku pergi. Kuburlah aku, seperti aku telah menguburkanmu. Pahatlah nisanku Nisanak, seperti aku telah mengukir nisanmu setiap detik dihatiku, setiap saat sebanyak-banyaknya.
Sadaniang, 03 Mei 2010