Di sebuah caffe’ yang nyaris tidak berpenghuni, di ujung kota aku bertemu dia lagi untuk sebuah wawancara. Kami minum bir pletok di sore yang temaram, selepas hujan. Tampangnya yang lusuh, mengingatkanku pada seseorang. Aku memasang digital recorder.
“Jadi anda dimana saat senja dicuri?”
“Saya di sana, dekat penjual es, tak jauh dari pohon kelapa. Jaraknya hanya sepelempar tombak dari sedan yang dipakai Sukab melarikan diri. Saya sedang menyerumput es cendol, saat Sukab beraksi, mengerat senja. Saya benar-benar teledor. Padahal saya sudah berhari-hari menanti, menguntit Sukab yang mengendap-endap di antara turis. Saya hanya sempat menyambar kamera, dan membuat snapshot, hanya sepersekian detik, sebelum keratan terakhir pisau Sukab. Saat para turis dan orang-orang panik dan baru sadar kalau langit yang tadinya begitu cemerlang dengan cahaya gilang gemilang, tiba-tiba berubah menjadi gelap.”
“Jadi anda tahu dong, bahwa Sukablah pelakunya?”
“Ya, iyalah. Itu saya, yang berteriak: Dia yang mengambil senja itu! Saya melihat dia mengambil senja itu!*”
“Tapi mengapa anda tidak mengejarnya?”
“Anda tidak tahu betapa orang berjubel seperti menonton peristiwa kebakaran. Jangankan menembus kerumunan, kebagian oksigen saja susah. Akhirnya saya cuma sempat berteriak: “Catet nomernya! Catet nomernya!” Masih untung kamera saya tidak apa-apa”.
“Lalu Anda diam saja di situ?”
“Tidak mungkinkan saya bisa diam saja lihat senja digondol Sukab?
“Jadi?”
“Yang bisa membuatku bahagia hanya sepotong senja. Tapi Sukab pukimak itu telah mencurinya.”
“Lalu.”
“Aku akan merampasnya."
“Kita ini sedang bereksprimen, kan. Jadi bukan hanya scientist, kita yang cecunguk pun bisa.”
*) Tokoh yang selalu digunakan SGA dalam sejumlah cerpen dan Novelnya, termasuk Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku.