Dialog Ayah vs Dirinya Sendiri:
Bagaimana aku harus menjelaskan kerinduan ini? Sebab rasa sakit dan derita yang kurasakan sudah tak terbahasakan dengan kata-kata atawa sekedar perlambangan. Karena kerinduan ini telah membuat hatiku membiru dalam gigil yang tak tertahankan. Ternyata sia-sialah pencarian akalku yang tiada henti melompat-lompat dari galaksi ke galaksi.
Perjalanan yang membuat aku memahami nestapa.
Duka untuk menterjemahkan cinta yang adalah sebuah luka, pedih yang lebih sakit dari bekas sayatan pisau gillet dan lebih nyeri dari bekas sayatan sepucuk bayonet.
Mungkin lebih baik mati saja dari pada nyawa dipaksa menahannya sambil terus-menerus menarik dan menghembuskan nafas.
Kurasa, tiada hidup yang sepahit ini…, hidup hanya untuk mencucurkan air mata bagi orang yang tidak pernah kita ketahui. Sebab ia seperti sekelebat bayangan ketika hujan malam, menyelinap laksana ninja kepada akal sehat di saat sadar maupun lelap.
Bagaimanakah aku menjelaskan perasaan ini?
Seperti anak panah yang dilepaskan dari busur tetapi selalu rindu untuk kembali. Seperti partikel-partikel waktu yang memisahkan pribadi dari unsur kehidupan di sebuah pusat waktu, entah dimana di sebuah masa lalu.
Dimanakah kepingan itu, yang melambai-lambai dalam sebuah tabung waktu tak terpenjarakan hukum semesta. Entah di planet mana pada sebuah tata surya di sudut jagat. Adakah ia adalah bagian dari jiwaku yang lain, yang juga tengah menjelajahi langit mencariku dalam kerinduan yang sama?
Katakanlah kepadaku wahai Kecerdasan Tak Terperikan. Dimanakah Engku sembunyikan sejarah penciptaan kami? Di gugusan bintang sebelahmanakah dulu kami bertolak dan terpisah? Di satelit manakah keutuhan kami mulai sobek? Ledakan kosmis jaman apakah yang telah menceraikan satu partikel, satu atom, satu isotop dan satu roh sedemikian jauh ke negeri yang tak kami kenal?
Karena itu jangan salahkan aku membunuh para pahlawan, sebab aku melakukannya karena sebuah pencarian yang tak berakhir. Aku menguliti manusia-manusia berjasa karena kupikir mereka menyembunyikannya dariku dalam raga. Karena itulah aku akhirnya memutuskan mencarinya pada setiap orang. Lagi pula pahlawan di abad ini sudah tak layak hidup, atau adakah Engkau juga seorang pahlawan?
Hatiku yang merayu kini telah hilang, tersesat dalam gelap rimba kesunyian!
Sanggau, 27 November 2004