Oleh: Alexander Mering
Andai saja Ritchie bisa bicara, saya ingin sekali mengundangnya ke Pontianak. Mengajaknya bertemu beberapa pejabat dan penguasa yang kabupatennya masih ada hutan—kampung halaman Ritchie—sebelum ia diboyog seorang wartawan, puluhan tahun silam ke Sarawak, Malaysia.
Saya ingin Ritchie bercerita tentang hidupnya sekarang. Menuturkan pengalamannya kepada sisa-sisa saudara-maranya yang masih hidup di sepetak hutan di Kalimantan Barat, di Gunung Palung, Betung Karihun, Danau Sentarum, Bukit Raya dan Bukit Baka dan yang tak seperawan dulu—seperti ketika nenek moyangnya mengembara menembus belantara—jauh sebelum pulau terbesar ketiga di dunia ini diiris-iris menjadi 3 negara oleh manusia.
Saya berhenti membidik. Mark, seorang turis dari Denmark bertanya kepada saya, yang mana Ritchie?
“Yang mana ya, hmm.”
Ritchie memang tidak datang menemui kami pagi itu. Menurut salah seorang petugas, dia menghilang sejak kemarin ke dalam hutan, membiarkan saja Dahlia, betina dan anak-anaknya dipotret para turis. Tak mendapat jawaban yang memuaskan dariku, Mark pun berlalu. Saya kembali memotret.
Tentu saja niat saya mengundang Ritchie tak mungkin terlaksana. Karena Ritchie adalah seekor orang utan (Pongo pygmaeus) besar 'penguasa' hutan Semegoh, Sarawak--yaitu kawasan cagar alam yang berjarak sekitar 24 km dari Bandaraya Kuching, Sarawak, Malaysia.
Ritchie bukan orang utan biasa, di hutan seluas sekitar 800 hektar itu dia adalah satu-satunya mamalia berbulu paling gagah, paling besar dan ditakuti binatang seisi rimba.
Dia juga pejantan paling dominan dengan banyak betina. Keluarga Ritchie selalu membuat penasaran para turis manca negara yang datang, menghunus kamera.
Tapi saya bertanya-tanya, bagaimana Ritchie bisa menjadi ikon hutan negeri koloni James Brooke tersebut? Apa yang membuatnya begitu popular dan dibuatkan monumen oleh pemerintah malaysia? Bahkan foto dan tampang sangarnya yang sama sekali tidak cakep itu tersebar di seantero Sarawak? Diperbanyak dan dicetak di kertas-kertas tiket, di famflet, hingga jutaan lembar T-shirt- yang dipakai para turis, termasuk seorang pejabat dari Pontianak yang datang ke Sarawak.Hmmm.
Sementara hidup orang utan di Kalimantan semakin berat. Dari 55.000 Orang utan di Indonesia, 1.330 hingga 2.000 individu terkepung di Taman Nasional Betung Kerihun. Kemudian di Taman Nasional Danau Sentarum sekitar 500-an, dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya diperkirakan hanya 175 orang saja. Di Rongga serta Parai tersisa berkisar 1.000. Hanya di Gunung Palung saja yang populasinya masih agak banyak, yaitu sekitar 2500 individu.
Ketika orang utan di Kalimantan Barat ini terancam punah, Ritchie dan keluarganya di Semogoh bisa makan-minum cukup dan mewah.
Saya terkenang nasib 20 orang utan di Pelang, yaitu sebuah kawasan yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Ketapang, Kalimantan Barat. Akhir tahun 2010 lalu, kelompok orang utan raib setelah tersudut oleh pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan yang izinnya tentu dari pemerintah Indonesia.
“Hanya sekitar 5 ekor saja yang berhasil diselamatkan,” kata salah seorang aktivis Orang utan di Ketapang, yang minta namanya tidak disebutkan.
Hal tersebut dibenakarkan Ketua Yayasan Wadah Riset dan Informasi Kebudayaan (Warisan) Ketapang, Alexander Yan Sukanda. Camp Orang Utan miliknya yang dibangun tahun 2007 lalu di Sungai Sentap juga turut digusur perusahaan perkebunan kelapa sawit itu.
Ohya, nama Ritchie melekat pada ‘raja Semegoh’ itu konon dalam rangka mengenang jasa seorang wartawan Sarawak bernama James Ritchie, yang membawa Ritchie ke pusat rehabilitasi tersebut sejak masih bayi.
Pusat itu pertama kali didirikan tahun 1975 lalu untuk merawat binatang liar yang sakit, terluka, yatim piatu, atau yang sebelumnya disimpan sebagai hewan peliharaan illegal sebelum kemudian dilepas kembali ke alam liar.
Kini kawasan ini juga berfungsi sebagai pusat penelitian satwa liar dan program penangkaran untuk spesies yang terancam punah. Semegoh juga telah menjadi sekolah alam untuk mendidik pengunjung dan masyarakat umum tentang pentingnya konservasi.
Saat ini tak kurang dari 1.000 mamalia langka, burung dan reptil dari puluhan spesies yang berbeda tercatat disana. Keistimewaan tempat ini adalah karena menjadi tempat rehabilitasi orang utan.
Orang utan yang diselamatkan harus menjalani medical check up dan ditempatkan di kandang. Seperti halnya manusia muda, Orang utan muda juga diajari cara-cara bertahan hidup di habitatnya. Setiap mereka dibawa ke tempat-tempat yang cocok di hutan di mana mereka belajar memanjat pohon, berayunan di cabang dan memetik dedaunan hiju.
Biasanya dalam 2 sampai 4 tahun mereka sudah bisa mendiri dan boleh dilepaskan ke dalam Hutan Suaka sekitarnya. Kawanan orang utan ini biasanya menghabiskan sebagian besar waktu di sekitar hutan dan akan kembali ke pusat rehabilitasi saat jam makan tiba. Tapi bagi yang sudah mandiri selama musim buah biasanya mereka menghilang ke dalam hutan.
“Ini pertanda baik dan menunjukkan bahwa mereka beradaptasi dengan baik dengan lingkungan baru mereka,” terang seorang petugas cagar alam Semegoh.
Tahap akhir dari proses rehabilitasi panjang ini adalah ketika orang utan ini akan menjadi warga beberapa Taman Nasional yang ada di Sarawak. Jika anda ingin melihat orang utan di Semogoh, waktu yang tepat adalah pagi pukul 9.00-10:00 dan 15.00-15.30 WIB saat keluarga orang utan makan.
Pagi itu saya bertemu tiga anak orang utan muda berayun di sela-sela cabang pohon, dikawal induknya. Keluarga orang utan itu berhenti persis di ujung jalan setapak, ketika seorang petugas muncul menenteng ember penuh buah-buahan dan botol susu untuk dibagikan.
Saya memang tidak bertemu Ritchie, tapi saya menemukan pelajaran berharga dari sebuah pusat kehidupan. Andaikan saja Orang utan bisa bicara, mereka mungkin akan mengisahkan dongeng yang bisa membuat kita menangis. ***