Motor Bandung mengangkut pupuk Kelapa Sawit, melewati TNDS, Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu. Photo by Mering |
By Wisnu Pamungkas
Ayah mungkin hanya ingin menjadi merpati, tetapi para leluhur melemparnya ke hutan,
Ayah mungkin hanya ingin menjadi merpati, tetapi para leluhur melemparnya ke hutan,
menjelma musang, terseselip di kelip-kelip, lumut lindap
dan bayang-bayang bulan
Menurut ibu, kota tak pernah menjadi rumah ayah
Walau mereka sudah menikah, mall tak berjaya membius
ayah,
karena Indonesia adalah surga yang menjelang punah
Ayah melonglong, merindu kampung, merindu daun bergesek
dan rimba rindang
Berhari-hari ayah mengenang kepak enggang di liang pulau
Ketika tambang menjadi cacar melumuri tanah,
Ketika kelapa sawit menjelma keramat di setiap tempat
: Nisan ayah tersungkur penuh bilur-bilur sejarah
Di atas rawa ayah bertapa, meleburkan diri ke pusar
semesta,
merapal mantra dari jaman permulaan, Asa’ Dua, tiga, empat,
lima, enam, tujuh….
Borneo kala itu hanya dihuni Puyang Gana, saat musang masih mengasuh ayam betina,
beruang memikul tandan pisang, saat kucing dan ikan masih
makan semeja
Ooo, Ayah adalah mata Enggang, adalah tunas padi dan sajak kelebat kunang-kunang