Sumber gambar: http://dimazshinoda.wordpress.com/ |
By Wisnu Pamungkas
Saat takdir mengepungku, di hari-hari terakhir aku kehilanganmu, aku gemetar mengingat engkau di pojok kota yang paling kubenci itu. Aku telah bersumpah untuk tidak lagi menyia-nyiakan air mata, meski untuk segepok cinta paling suci dari liang lahatmu.
Di pantai ini, di atas pasir, tempat pertama kali engkau membisikan cintamu yang paling taik kucing itu, aku tak pernah berhenti berusaha menguburmu, membenamkanmu sedalam-dalamnya bersama debur ombak dan kerdap senja yang melorot perlahan-lahan ke balik semesta.
Sudah setahun. Sudah setahun setelah engkau pergi, setelah semua rindu ini jadi bangkai sunyi, coba kuingat lagi bagaimana rasanya terakhir kali menahan sisa air mata karenamu.
Sudah setahun sejak aku berusaha menghapus silhuetmu di pantai ini, sejak aku telah menjadi gila untuk setiap hari yang kujalani tanpamu, aku telah menjadikan diriku batu, menjadi pasir, menjadi lokan, menjadi sampan dan angin yang mendesau bagai pisau mengiris sisa-sisa ingatanku tentang kisah penghianatanmu di masa lalu.
Akhirnya di pantai ini. Izinkan aku menancapkan sebuah batu. Bukan sebagai sebuah peringatan, karena engkau sama sekali tak pernah layak menjadi bagian dari sebuah sejarah di tempat ini.
Pasir panjang, 11 Desember 2011