Bang Doy |
Oleh: Alexander Mering
Suatu
pagi yang berhujan, seorang bocah kelas 3 SD bergegas melompat ke perahu kayu bermotor
yang akan berangkat ke hulu Sungai Kepuluk. Doy, bocah kurus itu tahu-tahu
sudah berada di dalamnya, berbaur bersama para pekerja logging dan petugas logistik perusahan kayu yang selalu hilir-mudik
di sungai itu.
Dia
sudah tak sabar ingin segera memancing, bergabung dengan ayah dan kakeknya yang
sejak seminggu lalu sudah bermalam di pondok, di pinggir sungai untuk mecari
ikan di tengah-tengah rimba-rawa gambut seluas 28 ribu Ha.
Awal
Desember silam Doy duduk tepat di depanku dalam cuaca berhujan, di sebuah kafe
kecil di pinggir kota Ketapang untuk sebuah wawancara. Tentu saja dia bukan
bocah lagi meski orang-orang tetap saja memanggil Doy, nama kecilnya. Padahal
di Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya tertulis nama Abdurahman Al Qadrie. Dia
adalah seorang guru SD berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten
tersebut.
“Waktu
itu saya sedang liburan sekolah, sekitar tahun 1983, ” katanya
sambil merapikan rambut dan jangut-brewoknya yang berantakan. Maklumlah bulan Desember memang waktunya musim
hujan dan angin laut. Untuk datang ke kafe ini tadi, Doy harus menerabas hujan
dan angin yang mengamuk.
Pusat
Kota Ketapang masa kini berada di atas delta antara Laut Cina Selatan dan
Sungai Pawan.
Muhammad
Yamin (1965) ketika menyusun Atlas Sejarah menulis kalau dalam naskah
Nagarakertagama, Mpu Prapanca menyebut Ketapang dengan Tandjungpura. Sedangkan dalam
kronik Cina Chu Fan Chi yang dibuat oleh Chau Ju Kwa tahun 1225 M, Tanjungpura
disebut juga dengan nama Tan-jung-wu-lo. Nah, pada jaman Hindia Belanda, daerah
ini pula menjadi salah satu daerah Afdeling, dalam karesidenan Kalimantan Barat
(Residentis Westerm Afdeling Van Borneo).
Setelah
menjadi bagian negara Republik Indonesia Ketapang menjadi kabupaten terluas di
Kalimantan Barat. Menurut www.ketapangkab.go.id, luas wilayah
kabupaten ini tak kurang dari 31.240,74 km² atau nyaris sama luasnya dengan negara
Belanda maupun Swiss. Tak heran kalau dari zaman baheula wilayah Ketapang
selalu menjadi incaran para spekulan, cukong maupun para pebisnis benaran.
Terutama karena tanahnya yang kaya berbagai jenis bahan tambang. Hutannya dan kayunya membuat kaya para
perambah hutan. Karena itu Ketapang
termasuk salah satu kabupaten yang reputasi hutan tropisnya paling cepat habis
sejak 20 tahun terakhir. Baik karena dibabat para illegal logger, dikeluarkannya
izin tambang maupun untuk areal perkebunan kelapa sawit bersekala besar yang
disusul dengan kebakaran hutan saban tahun dan membuat paru-paru kita
terpanggang asap.
Itu
pula yang menyebabkan sekitar 90.000 hektar kawasan hutan dalam kawasan Taman
Nasional Gunung Palung (TNGP) –penghubung antara Kabupaten Ketapang dengan
kabupaten Kayong Utara—yang adalah surga terakhir bagi sekitar 3000 lebih Orangutan
di sana pernah rusak parah.
Menurut
Project Manager for Foundations Internatioal Animal Rescue (IAR) Indonesia,
Karmele Liano Sancez yang aku interview belum lama ini, mengatakan ada sekitar 500-800
individu Orangutan yang sampai saat ini masih terkepung di hutan gambut
Pematang Gadung yang dipertahankan Doy. Karena hutan yang menjadi koridor
penghubung antara Pematang Gadung dengan hutan lain di sekitar TNGP sudah terlanjur
habis di babat.
Dari
data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat, Kabupaten ini diketahui paling
banyak mengeluarkan izin perkebunan kelapa sawit. Per Juli 2013 lalu tercatat
ada 76 perusahaan sawit yang beroperasi di Ketapang dengan seluas kebun
838,855,99 hektar.
Sementara
Dinas Pertambangan Ketapang, mencatat ada 78 perusahaan yang mengantongi izin
eksplorasi tambang dengan seluas 990.060
hektar. Yang sudah berproduksi 56 perusahaan
dengan seluas 196.592,8 hektar dari total luas pertambangan 1.186.661,8
hektar. Lebih luas dari wilayah Qatar!
Doy
menatap lurus menembus hujan sambil menanti kopi. Dia sedang mengumpulkan
beberapa penggalan kenangan masa silam yang seakan-akan ada di balik hujan
itu. Aku memesan cappuccino hangat. Marlin, pemilik cafe dengan sigap meracik
pesanan. Bagi Marlin, Doy bukan sekadar pelanggan, tetapi juga seorang teman dan tukang
cerita yang kehadirannya dinanti-nanti para pelanggan tetapnya.
Tak
ada musik hari ini selain hujan. Bahkan listrik berkali-kali padam sejak sore.
Di keremangan café itu, bayangan Doy mengingatkanku pada tampang George Duke,
musisi Jazz legendaris yang baru wafat beberapa waktu silam. Tapi tentu saja
Doy bukan Duke, meski sama-sama brewok
dan sama kriting. Bahkan Doy bukan penggemar Jazz!
Aku
membiarkannya tenggelam dalam lamunan, menyulut rokok, lantas menyedotnya
dalam-dalam tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan. Tak lama kemudian dia
melanjutkan ceritanya.
“Ayahku
adalah keturunan Arab, dari garis Kesultanan Kadariah Pontianak. Dia seorang guru
yang hebat, mendirikan sekolah dasar pertama di Pematang Gadung. Tetapi setelah
SD itu dijadikan sekolah negeri oleh pemerintah Indonesia, ayah kembali menjadi
petani, mencari ikan ke sungai seperti biasa, menyatu lagi dalam kesehariannya, di hutan Pematang Gadung bersama kami anak-anaknya, berburu sambil berwisata.
Karena itu beliau selalu menasihati kami untuk tidak merusak hutan yang memberi
kami hidup. Ambilah secukupnya,“ kata
Doy setengah bergumam. Menurut Doy ayahnya juga memelihara tiga ekor anjing
walau mereka keluarga muslim. Anjing itu selalu menyertai perjalanan
keluarganya ke ladang, ke sungai, terutama saat-saat masuk hutan untuk berburu.
Pengalaman masa kecil bersama ayahnya itulah yang membuat Doy dan hutan Pematang Gadung tak mudah dipisahkan.
Dulu
dia sempat bekerja sebentar pada sebuah perusahaan konstruksi, usai menamatkan
pendidikan di Sekolah Teknik Menengah (STM) Negeri 1 di Pontianak. Tapi ternyata dia tak
betah tinggal di kota dan memilih kembali ke kampung halamannya, Pematang
Gadung.
Kicauan
burung, dengung serangga, pekikan unggas, teriakan Orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus), Bengkatan, (Nasalis larvatus), Kelasi (Presbytis rubycunda), Kelempiau (Hylobates muelleri) Lutung (Presbytis cristata), dan Kera ekor
panjang (Pacicularis macacca) yang
sering ia dengar saat berbaring di pondok bersama ayahnya di kampung,
lebih merdu dibanding musik dangdut di
kafe remang-remang Kota Pontianak.
Kunang-kunang
yang berpedar malam hari di pinggir hutan dalam ingatannya terasa lebih indah
dari seribu kembang api malam tahun baru di kota besar. Suara-suara dan kenangan itu laksana bisikan
gaib yang membujuknya untuk segera pulang.
Doy
juga rela menjadi guru honorer di kampungnya dengan gaji hanya Rp 450.000
sebulan, asalkan setiap akhir pekan bisa bermain-main ke Hutan Pematang Gadung untuk memotret, atau sekadar mengendus bau rawa sambil menyimak musik semesta
yang tak mungkin tergantikan. Inilah kemewahan yang menurut Doy tak mungkin dibeli dari
supermarket mana pun di dunia.
Tak
cuma ikan yang melimpah di sungai-sungai kecil di kawasan Pematang Gadung saat
itu, tetapi juga berbagai jenis flora dan fauna unik dan langka. Bahkan ada
yang jumlah populasinya sudah sangat kritis dan terancam punah.
Dari
hasil kajian Ketapang Biodiversity Keeping atau Kawan Burung Ketapang (KBK), disana
hidup berbagai jenis katak hingga biawak, dari buaya hingga serangga, dari kera
hingga burung langka. Termasuk Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata) yang paling dicari di dunia. Pematang Gadung
adalah rumah bagi jenis keluarga mamalia dan primata yang
nyaris punah. Secara turun temurun, warga desa sekitar termasuk Doy dan
keluarganya sudah menjaga dan menyatu dengan hutan keramat tersebut dengan
sangat erat sejak lama.
Angin
berkesiur kencang. Syukurlah listrik dari Perusahan Listrik Negara (PLN)
kembali menyala. Doy menenggak kopinya yang sudah dingin dengan perasaan
enggan. Aku memanggil Marlin lagi, dan minta tambah dua gelas kopi. Sebab dingin
mulai terasa mematuk tulang.
“Bro,
kamu tahu Bangau Strom, burung dari keluarga Ciconiidae?”
Aku
menggeleng, karena memang bukan burung lover,
walau pun punya minat yang sama pada hutan dan memotret unggas seperti Doy.
“Burung
itu ada juga di Pematang Gadung. Dulu saya pernah memelihara seekor,” kata
Doy. Suaranya segera hilang ditelan
gemuruh hujan.
Belakangan
dengan bantuan internet, barulah aku tahu bahwa Bangau Storm (Ciconia Stormi) adalah burung sudah
sangat kritis populasinya. Unggas berbulu hitam, putih dan merah,
serta wajah berwana oranye kekuningan itu diperkirakan cuma tinggal 250 hingga
500 ekor saja di dunia. Habitatnya memang sangat terbatas di sekitar Sumatera,
Kalimantan dan Brunei Darusalam.
Tahun
2011, Erik Sulidra—seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) muda—tanpa sengaja
menangkap sosok burung itu dengan lensa kameranya di sekitar Pematan
Gadung. Peristiwa itu kemudian membuat
Erik ikut ‘terjerumus’ dalam hoby photography yang digeluti Doy dan teman-temannya.
Kini Erik adalah salah satu wildlife photographer
terbaik Ketapang.
Suatu
ketika kata Erik, demi menyelamatkan seekor anak Bangau Strom dari tangan
seorang pemburu, Doy rela merogoh honornya sebagai guru yang tak seberapa. Anak
burung yang kelaparan dan belum tumbuh bulu sayap itu langsung diboyong Doy ke
rumahnya di Desa Tuan-tuan.
Mira,
putri sulung Doy memberi nama burung itu Edi. Dan setelah dua tahun, Edi tumbuh
sehat dan mandiri. Karena dengan telaten
Doy melatihnya di rawa-rawa yang terletak di belakang rumah mereka. Tahun 2012 Edi dipulangkan ke Pematang Gadung, dan awal
tahun 2013, burung itu sempat nongol di
kolam belakang rumah Doy, tempat dia dulu dibesarkan.
“Tapi
hanya sebentar, lalu terbang lagi,” kata Doy mengutip Mira anaknya yang sempat
menyaksikan burung tersebut mampir.
Di
suatu saat yang lain, Doy meminta seekor elang kepala kelabu (Ichthyophaga ichthyaetus) yang
dipelihara seorang tauke keturunan China
di Pasar Ketapang, Kebetulan sekali sang pemilik sudah mulai boring memelihara itu burung. Sebab kata
dia, predator yang rakus ini bikin repot dia saja. Tentu Doy
gembira bukan main saat orang itu menyerahkan elang tersebut kepadanya.
Seakan
sudah panggilan batin, Doy pun membebaskan burung itu dari sangkar dan mengirimnya
ke Pematang Gadung. Tentu selebrasinya dilakukan bersama anggota geng-nya, KBK.
Dimana
sebenarnya hutan Pematang Gadung? Karena Doy selalu memujinya sebagai kawasan
yang biodiversity-nya paling lengkap.
Dia bahkan menyebut kawasan itu Heart of
Ketapang. Jantungnya Ketapang!
Secara
adminstratif kawasan itu adalah bagian
dari wilayah Desa Pematang Gadung, Kecamatan Matan Hilir Selatan. Letaknya
hanya sekitar 30 kilometer dari Kota Ketapang.
Hampir seluruhnya adalah lahan gambut dan rawa yang merupakan hutan
sekunder. Menurut data yang pernah dicatat KBK, total luas kawasan adalah
28.000 Ha. Tapi kini yang tersisa diperkirakan hanya tinggal 14.000 hektar
saja, termasuk hutan kerangas.
Selebihnya sudah berubah menjadi padang pasir bekas Pertambangan Emas Tanpa
Izin (PETI) yang luasnya lebih dari 7.000 Ha, ditambah pemukiman yang
berpenduduk sekitar 2.839 jiwa.
Di
sanalah Doy tumbuh. Lahir persis empat hari menjelang natal tahun 1975 dari
pasangan Yahya Abdulah dan Syamsiah. Mereka adalah keluarga petani, nelayan
musiman dan juga pemburu yang harus menghidupi 10 anak. Doy adalah putra Yahya
yang ke 7.
Malam
ini aku dapat merasakan betapa kegelisahnya Doy. Aku ikut ngilu karena tak bisa
berbuat apa-apa selain memintanya bercerita.
Sebulan
yang lalu, aku telah menyaksikan sendiri, air Sungai Kepuluk di Pematang Gadung yang sudah berubah
menjadi lumpur, akibat tercemar pertambangan emas ilegal di perhuluan sugai.
Jangankan buaya, ikan seluang (devario
regina) pun tak kutemukan.
“Aku
hanya melihat sedikit, bisakah Bang Doy ceritakan yang tidak kulihat?"
Dia
tak segera menjawab pertanyaan. Tangannya meraih sebatang rokok lagi. Ini entah
yang ke berapa batang dia hisap, sejak kami duduk berbincang. Aku melirik ke
asbak yang menggunung oleh puntung rokok.
“Kini
luas hutan terus menyusut. Waktu saya masih kecil tempat itu adalah surga para
unggas, lumbung bagi burung-burung, dan kediaman berbagai jenis kera dan
mamalia hingga vetebrata kecil cemilan orangutan,” katanya seperti seorang saintis.
Atau dia memang saintis? Walau tak
menyandang gelar made in universitas mana
pun. Doy dan teman-temannya telah mengidentifikasi berbagai jenis flora dan
fauna di sana. Trutama jenis unggas dan tanaman.
Mereka
mencatat, memberinya nama sesuai bahasa lokal maupun nama latin (scientific). Doy tahu persis mana hewan endemik atau
unggas migran yang sekadar singgah di musim tertentu saja.
Karena
itu dia percaya Hutan Pematang Gadung sebagai miniatur Kabupaten Ketapang. Karena
95 persen jenis burung dan mamalia
yang di Ketapang ada di hutan itu. Dulu sebelum pemerintah
memberi izin perkebunan sawit, sebelum para penambang emas membongkar tanah,
hutan Pematang Gadung adalah tempat yang indah, penopang hidup berbagai mahluk dan penduduk kampung sekitar. Tempat mereka memancing ikan, mengambil tetumbuhan dan berburu hewan secara
arif dan bijak. Berbeda dengan cara orang-orang sekarang yang serakah.
Ancaman
pembalakan hutan sejak tahun 90-an, pertambangan, kebakaran massif dan
perkebunan sawit terus mempersempit kawasan jelajah manusia dan fauna di sana. Tak
cuma mengancam ketersediaan pakan kehidupan alam liar, tetapi juga
keberlangsungan hidup penduduk tempatan. Karena hutan memang bukan cuma
sekumpulan hewan dan tumbuhan, tetapi juga semesta yang memiliki demensi
ekonomi, sosial budaya bagi seluruh mahluk hidup.
Sepak
terjang Doy sudah dimulainya sejak dia menjadi guru honorer SD di desanya itu.
Dia memberi peringatan kepada keluarga dan orang di desanya untuk tak tergiur
bujuk rayu perusahan pertambangan dan perkebunan sawit yang sedang mengincar
tanah-tanah mereka.
Dalam
ke terbatasannya, Doy pergi ke
seminar-seminar lokal dan maupun nasional, terutama yang terkait konservasi dan
hutan. Setelah terpilih menjadi Kepala Desa tahun 2007, dia mulai sedikit lelusa bergerak. Kemudian
dengan terang-terangan Doy melakukan perlawanan pada perusahan yang hendak
merampas hutan dan tanah Pematang Gadung. Bersama teman-temannya dia membentuk komunitas Kawan Burung Ketapang sebagai wadah aktivis pergerakan. Belakangan organisasi tersebut juga disebut Ketapang Biodiversity Keeping, dan singkatannya tetap sama yaitu KBK!
Anggotanya
adalah para photographer alam liar yang kerap keluar-masuk hutan untuk hunting foto satwa dan alam sekitar. Tak
jarang gaji Doy—yang tak seberapa tadi— terpakai untuk membiayai perjuangan
mereka.
“Gara-gara
itu pula, dulu seorang oknum petinggi keamanan di Ketapang mengancam akan
menembak kepala saya,” kata Doy sambil menjentik abu rokok.
Sang
oknum menuduh Doy telah membantu sebuah stasiun TV nasional melakukan liputan dampak PETI yang tidak saja mencemari Sungai
Kepuluk, tapi juga mengancam seluruh kawasan hutan yang tersisa di Pematang
Gadung. Padahal dengan atau tanpa
bantuan sesiapa pun Doy tetap berusaha mempertahankan kawasan tersebut.
Karena
potensinya, tahun 2012 lalu, United
States Agency for International Development-
Indonesia Forest and Climate Support Project (USAID- IFACS)
memasukan kawasan hutan Pematang Gadung ke dalam landscape project mereka di Kalimantan, khususnya Kantor Region
Ketapang. Beberapa NGO lain seperti Fauna
Flora International (FFI), dan Foundations
Internatioal Animal Rescue (IAR) Indonesia pernah melakukan aktivitas riset
dan survey disana.
***
Hujan
tak juga mau reda. Sementara malam
semakin larut. Kopi kami sudah lama
menjadi dingin. Mungkin sedingin hati Doy yang hampir tak percaya lagi bahwa pemerintah
Indonesia sudi berpihak kepada rakyat dan kepada warga Pematang Gadung.
Meskipun Menteri Kehutanan Republik Indonesia konon telah menetapkan 14.000 Ha Hutan
Pematang Gadung menjadi Hutan Desa, tapi hingga saat ini ia belum melihat
lembar Surat Keputusan (SK) tersebut.
"Artinya
Pematang Gadung belum benar-benar aman dari incaran para spekulan dan pemilik
modal," keluhnya.
Hari
ini Doy duduk disini, tepat di depanku, pada suatu malam berhujan, saat larut dan kota terasa begitu sepi. Dia
terus mengoceh walau wawancara telah lama berakhir. Doy berkisah tentang misteri hutan yang sama rumitnya dengan masa depan manusia. Tentang
sebuah kelakar dan juga dongeng yang membuat kita bisa berumur panjang atau
cepat mati juga.
Doy
menarik sebatang rokok lagi, tapi urung dinyalakan. Mungkin dia sudah bosan, kami masih menanti hujan yang seakan tak akan berhenti sampai besok. Malam
sudah semakin larut. Aku memutuskan pulang
menerabas hujan. Doy mengantarku hingga ke tempat penginapan.
Keesokan
harinya di http://www.indosiar.com di laporkan ada 7 kabupaten di Kalimantan
Barat terendam banjir. Puluhan ribu rumah, sawah, ternak musnah dan sejumlah
jiwa tewas tenggelam. Aku teringat pada Doy yang memilih hidup sebagai conservationist, mengabdikan sebagian
besar usia dan hidupnya untuk menjaga sepetak hutan.
--Medio Desember 2013