Menerima Award Saat Kalbar Sekarat

Ilustrasi by Mering
Aku menerima Award  MDG  2013 dari Pemerintah Indonesia dengan dada berat. Karena aku tahu Kalimantan Barat sekarang tengah sekarat. Bukan hanya lantaran diterbitkannya SK Menhut SK.936/Menhut-II/2013, yang nyata-nyata merugikan rakyat, tetapi juga sejak  diberlakukannya  Regrouping Desa tahun 70-80-an silam.

"Diberi penghargaan kok ditolak? Mengapa?' Sergah seorang teman di telepon. 
Aku mematikan telepon. Aku sedang tak siap berdebat. Aku berfikir sejenak. Tetapi otakku sedang menolak bekerja. 
Dia menelpon lagi. Dengan malas aku mengangkatnya. 
"Kamu pertimbangkan perasaan banyak orang dong! Harapan lembaga yang telah mengusung programmu, teman-temanmu di PNPM, di YPPN, jangan cuma mikir diri sendiri, kecuali kamu udah gak waras!?"
"Ya....,"
"Aku tunggu kamu di Jakarta!" 
Klik. Telepon dia matikan. Aku begong. Benarkah aku harus menerima award itu atau menolaknya sebagai bentuk sebuah protes pada pemerintah Indonesia yang telah menghancurkan lebih dari separuh wajah pulau Borneo? Yang dengan seenak udelnya memetak-metak tanah dan hutan kami untuk transmigrasi, HPH, Kelapa Sawit dan tambang! Tak ada lagi yang tersisa untuk masyarakat adat dan petani, kalau ada pun sudah menjadi kawasan taman nasional atau yang konservasi. 

Apa yang sudah aku perbuat sebenarnya hingga aku merasa layak menerima penghargaan di tengah negara  ini sedang meluncur perlahan-lahan ke jurang krisis pangan dan krisis energy?  dan pada saat yang sama, rakyat harus membayar hutang luar negeri!  

Benarkah yang sudah aku lakukan, layak diberi penghargaan? Tidakah gelar Pelita Nusantara--sebagaimana judul dari penghargaan itu-- yang diletakan ke pundakku hanya menjadi semacam kuk, di tengah-tengah getolnya pemerintah Indonesia menerbitkan ribuan izin HPH, pertambangan dan perkebunan kelapa sawit bersekala besar di daratan yang semakin sempit? 

Mengapa Indonesia harus ada Mentri pertanian  kalau cabai,  beras  dan kedelai saja harus mengimport dari luar negeri? Mengapa harus ada Mentri Kehutanan, kalau setiap tahun hutan kita terus saja hilang dan terkikis?  Untuk apa undang-undang Agraria kalau orang-orang di Loncek, yang nenek moyangnya sudah ada disana jauh sebelum Indonesia ini difikirkan malah tak bisa  mensertifikasi tanah miliknya sendiri, dengan alasan telah dijadikan kawasan Hutan Produksi (HP)? 

Benarkah bangsa Indonesia ini dulu dibuat untuk melindungi rakyat? Benarkah tujuan bernegara adalah agar rakyatnya makmur dan sejahtera? Seperti juga tujuan dari Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000 di New York, Amerika Serikat itu?  Aku ragu. Aku kalut. Aku hanya anak pensinan pegawai negeri kelas sendal jepit. Aku tidak terbiasa memikirkan politik dan kebijakan negara. Mungkin aku adalah orang kebanyakan yang seharusnya terbiasa berbahagia hanya dengan mendengarkan musik dangdut.
Aku ingin berlari ke hutan, ke tempat aku menghabiskan masa kecilku di Senangan. Tapi di tanah kelahiranku di  Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang itu pun sudah tidak ada hutan. Semuanya sudah digantikan kelapa sawit! Sungai Enceruan  yang jernih  kini sudah tercemar. Dulu disanalah aku melompat dari cabang pohon ke teluk, tempat aku dan burung beo (Graculapeliharanku mandi sambil mencari buah pohon salam (disambiguasi).  

Tiba di kamar kost, aku baring terlentang. Bumi serasa berputar-putar, dan  hinggap di langit-langit kamar. Mungkin lebih baik langit runtuh saja, supaya aku tidak harus berfikir dan betapa sakitnya menjadi rakyat.

"Kalau kamu menerima, maka kamu ada ruang untuk menyampaikan buah fikiranmu, tapi kalau kamu tolak maka kamu kehilangan moment untuk berbicara. Bagaimana pun kita tidak dapat hidup sendiri bro..." nasihat seorang senior.

Aku menganguk. Keesokan harinya, setelah berbicara dengan ibu, adik via telepon, 13 Maret 2014 , aku berangkat ke Jakarta, menerima penghargaan berbentuk lilin tak jelas. Aku menolak menggunakan kostum pakaian daerah, karena aku bukan pemenang. Kalau pun ini dianggap kemenangan, sebenarnya team lah yang menang, yaitu teamku  di YPPN, di PNPM Peduli, teman-teman Mata Enggang, KTM PPB, teman-teman wartawan, dan orang-orang yang tetap mendukungku sebagai rakyat. 

"Rakyat tak memerlukan pujian atau award,, rakyat berkarya karena karya bisa membantu mereka untuk menjadi lebih baik, rakyat hanya perlu ruang untuk  belajar, makan-minum cukup dan tidur nyenyak tanpa rasa was-was akan mati tercekik. Oh ya, sebenarnya rakyat juga berhak menggugat, karena merekalah pemegang saham sah republik ini!" 







Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more