Photo: dari http://kfk.kompas.com/kfk/view/128542Oleh: didi zodi pada 1 Sep 2012 |
by Wisnu Pamungkas
Seperti selalu
Setiap malam, sebelum
perayaan, aku menunggumu di beranda
Berharap engkau akan
muncul di ujung jalan,
melambaikan tangan,
seperti orang-orang tua lain yang rindu pulang menuju rumah
Seperti selalu
Menjelang hari perayaanmu,
aku sudah naikan bendera tinggi di halaman, berharap engkau langsung melihatnya
sejak di mulut gang
(Haraplah usia tak
membuatmu lupa, seperti membaca peta di medan perang, haraplah ingatanmu masih cukup terang, walau
pun lama tak pernah pulang, mabuk oleh birahi tambang, para mafia kebun sawit
dan bertualang dari ranjang ke ranjang politik.)
Setiap tahun malam 17-an
Aku selalu menunggumu,
membuka pintu dan semua jendela, berharap engkau benar-benar pernah pulang
Betapa pun besar benci
kupendam, engkau tetap seorang ayah,
yang menuntun anak-anak
dan bayimu menemukan puting susu
Seperti selalu
Setiap menjelang perayaan
harimu,
Kolega dan para tetangga
yang mengaku paling ayah, berlomba-lomba mengibarkan bendera dari istana hingga
ke hotel-hotel mewah,
dan keturunan
prajurit-prajuritmu berpesta di senayan, sementara anak-anakmu yang dikandung
ibu terusir dari kolong, dari sudut-sudut kampung karena tanah moyangnya telah
dikavling-kavling para bedebah
Seperti selalu,
Menjelang pesta rakyat
kusediakan juga untukmu
handuk dan air hangat,
rumah kita memang sudah
tua dan separuh rusak
Tapi aku tetaplah anakmu,
meski hanya kau wariskan bendera koyak
dan bukan sertifikat tanah
Ketapang,
17 Agustus 2014