Oleh Hanna
Fransisca
Ambang
Petang, beranjak dari
dermaga
lengang selepas hujan
Langit
mengirim kelabu pucat
Angin
mengirim dingin
Sungai
mengirim keruh
Dan kau
mengirim mimpi
Sengaja
saya mengutip penggalan puisi murung yang ditulis penyair Amrin Zuraidi
Rawansyah sebagai pembuka dari catatan ini. Catatan dari sebuah perayaan
antologi sajak delapan penyair dari sebuah sudut Indonesia yang sekian lama
tersembunyi dari hiruk-pikuk kesusastraan Indonesia, yakni delapan penyair dari
Kalimantan Barat.
Kalimantan
Barat, sebuah kawasan luas yang dalam sejarahnya selalu dihubungkan dengan
kekayaan hutan, kekayaan bumi, serta manusia-manusia Melayu, Dayak, Tionghoa,
dan para pelintas batas Malaysia. Sejauh mata memandang, dari pantai landai
Pontianak hingga Pemangkat, dari pancang tengah Singkawang hingga ketinggian
Bengkayang, dataran luas ini menyimpan ribuan kisah tentang hamparan karet,
lada, kopra, sawit, jeruk, hingga batubara dan ladang emas. Kalimantan Barat,
seperti halnya daerah-daerah terluas lainnya di Indonesia, adalah penyangga
penting bagi hadirnya Republik Indonesia, penyumbang devisa bagi megahnya
Jakarta, hingga penjaga teguh sebagian perbatasan darat Malaysia.
Tentu,
hamparan kisah yang tertanam pada bumi yang luas ini, menjadi catatan penting
ketika seorang penyair kemudian lahir di sana, dan menuliskan puisi-puisinya.
“Puisi tidak lahir dari sebuah kekosongan, sebab penyair selalu mencatat apa
yang didengar dan dirasakan,” begitulah setidaknya pengertian yang saya yakini
tentang puisi. Seperti kata Rendra dalam puisinya, yang mengatakan bahwa “puisi
adalah sebuah kesaksian,” //… Aku mendengar suara/jerit hewan yang
terluka/ada orang memanah rembulan/ada anak burung terjatuh dari
sarangnya/orang-orang harus dibangunkan/kesaksian harus diberikan/agar
kehidupan bisa terjaga//. Maka kehidupan di bumi Kalimantan Barat adalah
juga kehidupan yang subur dengan inspirasi, kehidupan yang subur dengan
kegelisahan, dan dengan kesaksian-kesaksian.
Delapan
penyair dari kawasan ini, kini mencatatkan kesaksiannya, setelah lama terkubur
dan lenyap dari perbincangan kesusastraan Indonesia selama bertahun-tahun.
Setidaknya, ketika perbincangan kesusastraan Indonesia dari kawasan Pulau
Kalimantan dibicarakan, maka yang muncul adalah dominasi Kalimantan Selatan,
lalu disusul dengan Kalimantan Timur. Sedangkan Kalimantan Barat, selalu
terdengar sayup-sayup, bahkan hampir tanpa kabar.
Maka
dengan terbitnya buku ini, seolah-olah menegaskan kembali bahwa kehadiran
sastra di bumi Kalimantan Barat masih ada.
Delapan penyair yang rata-rata
berusia muda, menuliskan kesaksiannya dengan beragam tema yang mengusik.
Seperti halnya kutipan penggalan puisi murung “Menuju Kubu” pada awal tulisan,
yang merupakan salah satu dari sepuluh puisi yang ditulis oleh penyair Amrin
Zuraidi Rawansyah. // … Langit mengirim kelabu pucat/Angin mengirim
dingin/Sungai mengirim keruh/Dan kau mengirim mimpi//. Suara lirih ini
seakan mewakili doa dan sekaligus harapan bagi bumi kelahiran.
Di
belahan lain, rintihan yang lebih gamblang dikumandangkan oleh Wisnu Pamungkas.
Puisinya yang diberi judul “Mitos Ruang”, dengan tegas mempertanyakan
tanggungjawab dari kesalahan segelintir manusia yang harus ditanggung akibatnya
oleh segenap keturunan, menjadi kutukan yang tak lekang dimakan waktu. //Berjuta-juta
tahun kemudian/Ruang-ruang dibajak, dikapling-kapling seperti tanah/Diberi
patok, diukur ulang/Bagi yang bukan keturunan ular beludak dilarang masuk/Tak
seorang pun sadar kalau saat ini tempat itu telah jadi perangkap//. Betapa
mengerikan sebuah desain peradaban yang diputuskan berdasarkan keuntungan
sesaat, sehingga seorang penyair mentasbihkannya sebagai sebuah kutukan yang
abadi. Wisnu Pamungkas telah menggunakan perangkat metafor verbal, akan tetapi
menyimpan kecerdasan dalam membangun logika puisi, menjadi sebuah tema yang
keras dan satir. Kita lihat misalnya pada puisi Negara Kelamin. Ia dengan
enaknya memperolok sejarah, dengan cara mempermainkan logika, sehingga sejarah
pada akhirnya hanyalah sebuah permainan iseng yang penuh ironi.
NEGARA
KELAMIN
Ibu
memproklamasikan kelamin Ayah sebagai negara baru
Ayah tak
berkutik dan menyerah, walau ia marah karena tiada pilihan
Tiada yang
salah pada hubungan mereka, tapi Ibu mengira telah menjadi pahlawan ketika
berhasil menyesah Ayah di ranjang perkawinan
Menciptakan
khayalan terhadap persetubuhan
Menelan
lelaki itu mentah-mentah sebagai santapan
Ayah tiada
mengira kejantannya bisa menjadi negara, tetapi akhirnya ia terpaksa berbagi
wilayah dengan wanita itu
Membuat
sempadan dari tirai, membaca proklamasi sendiri-sendiri di tapal batas
Sebenarnya
mereka dahulu sama-sama serdadu sebelum perang ini pecah
Sebelum
pahlawan menjadi kebutuhan untuk permainan
Ibu memang
pernah menaruh dendam pada Ayah, begitu pula Ayah. Mereka pernah berseteru
walau tanpa pertumpahan darah.
Hom pilahom pimpah!
Sejak saat
itu negara ini terpecah-pecah,
Negara
sakinah hanya iklan saat kampanye dilakukan
Lagi pun
sejak itu Ibu dan Ayah merasa tak perlu lagi menikah
Hom
pilahom pimpah!
Sebuah
puisi dengan gaya yang segar, dengan ironi yang keras, dengan spirit
mempermainkan sebuah konsep yang serius tentang negara (tentang batas-batas
kekuasaan), yang pada akhirnya hanyalah sekumpulan mitos untuk memperdaya
kebodohan. Puisi Negara Kelamin Wisnu Pamungkas menunjukkan sebuah gaya yang
khas, karakter yang unik yang memberi harapan sebuah penemuan baru dalam cara
ungkap puisi. Tentu saja, saya menyambut gembira pada pencapaian semacam ini,
yang sekaligus bukti bahwa penyair Kalimantan Barat memiliki potensi yang tidak
boleh diabaikan.
Lain
dengan Wisnu Pamungkas, spirit serupa juga dikumandangkan oleh dua penyair yang
menggarap tema sama dalam salah satu puisinya, yakni tema tentang Indonesia
yang dibidik dari sebuah warung kopi. Ada potret beragam manusia, dengan
nasibnya yang berbeda-beda, bersama mimpi dan harapan yang juga berbeda-beda,
mereka masing-masing dibedah dalam bangku panjang sebuah kedai kopi.
Bayangkanlah sebuah warung kopi adalah representasi dari nasib sebuah negara.
//kau akan mendengar suara lebah di sini/bahkan lebih pikuk dari suara
lebah//, begitulah puisi Warung Kopi Winny, Jalan Gajahmada; yang ditulis
oleh penyair Pay Jarot Sujarwo. Ada segerombolan remaja “harapan bangsa” yang
riuh mendiskusikan ponsel terbaru, gaya hidup, dan pacaran, tak peduli pada
keluhuran cita-cita; ada pengusaha rakus berceramah dengan dandanan wangi dan
perlente; ada pegawai negeri malu-malu dengan baju safari, mereka mangkir dan
melihat para pelayan dengan birahi; ada segerombolan penjudi meramal angka dan
selalu yakin setiap hari bahwa hari ini akan ada keberuntungan dari nomor-nomor
ajaib yang diramal; ada sekelompok wartawan yang saling pamer berita, dan
berdiskusi tentang parlemen negara di gedung-gedung negara; ada aktivis LSM,
ada yang jatuh cinta, ada yang patah hati, ada rencana-rencana, ada proyek,
partai, ada trik-trik para penipu; dan ada para pelacur bergoyang memamerkan
tubuhnya. Inilah negara. Inilah tanah air. Dan inilah penyair Pay Jarot Sujarwo
yang mememberi kesaksian dalam puisi, bahwa negara hanyalah sebuah warung kopi.
Kemudian
Ety Syaifurohyani (seakan-akan memiliki getaran yang serupa), menulis puisi
Kopitiam dengan penggalan kalimat berikut: //… kalau pejabat ingin mendengar
keluhan dan jeritan rakyat/duduklah di kopitiam/para pejabat yang terhormat
akan mendengar jeritan rakyat …//. Tentu, ”Indonesia” dalam catatan dua
penyair yang menuliskannya dalam logika ”warung kopi”, adalah Indonesia yang
direkam dalam bayangan besar, dari sebuah sudut kecil bernama: Kalimantan
Barat.
Puisi
lain adalah puisi yang penuh tenaga seperti kilatan pedang samurai: padat,
berkelebat, dan menebas. Inilah gaya yang khas dari Ida Nursanti Basuni. Dua
puisinya tentang kengerian dan kesedihan rintihan bumi Kalimantan direkam
dengan getaran yang penuh perih, menimbulkan suasana yang asing, sepi, dan
menggantung. Puisi dengan judul Pagagan, dan Maktangguk, menandai sebuah gaya
yang dalam menghipnotis pembaca lewat tebasannya yang padat.
PEGAGAN
Keranji
merah bergumam:
“kelat
kebal
segala
hama!”
Pegagan
meriap
MAKTANGGUK
Sehabis
maghrib
pukul
setengah tujuh malam
batang
limau mengejan
senyap
Angin
menerbangkan putik kelapa
lengang
gardu jaga
raung
genset lesap
Kegesitan
Ida Nursanti Basuni dalam merekam respon spontan dari sebuah tempat, melahirkan
suasana magis yang menikam. Mengingatkan saya pada sebaris sajak yang ditulis
oleh Sitor Situmorang (dan puisinya menjadi sangat terkenal karena memang hanya
terdiri dari satu baris), yang berjudul “Malam Lebaran”.
MALAM
LEBARAN
Bulan di
atas kuburan
Puisi
jenis ini, bagi beberapa penyair, adalah puncak sebuah pencapaian. Tidak mudah
menulis sebuah puisi yang hanya berisi inti, dengan pilihan kata yang
betul-betul diperhitungkan baik dari segi bunyi, keindahan irama, dan juga
sekaligus mewakili makna. Meskipun ia puisi yang teramat pendek, tapi
momen-momen puitiklah yang menentukan tingkat keberhasilannya. Momen-momen
puitik, tentu tak akan banyak berguna jika tanpa didasari oleh pengalaman dan
kepekaan yang lebih. Ida Nursanti Basuni memiliki kepekaan pada bahasa yang
lebih, dibandingkan yang lain di dalam buku ini.
Tiga
penyair berikutnya adalah Saifun Arif Kojeh, Syazsya Kayung, dan Nano L.
Basuki. Nano L. Basuki lebih tertarik pada kesaksiannya terhadap dunia
pendidikan, sedangkan Saifun Arif Kojeh dan Syazsya Kayung lebih tertarik pada
nyanyian alam yang berisi keperihan lantaran kerusakan akibat ulah manusia.
Gambaran-gambaran ketiga penyair ini, juga mewakili gambaran kegelisahan dari
pertanyaan yang sama: ke manakah sesungguhnya negeri ini hendak dibawa?
Demikian
kesaksian delapan penyair Indonesia yang lahir dan besar dari sudut yang jauh,
Kalimantan Barat. Selamat datang di belantara khazanah kesusastraan Indonesia.
Singkawang,
Juni 2011