Sore tadi, seorang teman menelpon. Dia
mengundang makan malam usai mengikuti
misa malam natal di Katedral Pontianak, gereja ‘terbesar’ di Asia Tenggara
versi Koran Suara Pembaharuan.
Dia bilang, ayah dan
ibunya yang orang kaya itu ingin menjamuku dalam rangka menyambut perayaan
natal 25 Desember besok.
Tiba-tiba aku
teringat pada sosok ringkih bu Marni, salah satu ibu Suku Anak Dalam (SAD) yang
pernah kutemui di sisa hutan, dekat perkebunan kelapa sawit, Kabupaten Dhamasraya,
Sumatera Barat, November 2014 silam.
“Sudah tiga hari
keluarga Bu Marni tak dapat pasokan makanan, bantuan Raskin pun tiada,
sementara hutan tempat mereka tinggal dan cari
makan selama ini juga sudah
musnah,” kata Syamri Can, fasilitator SSS-Pundi tadi pagi di telpon dengan nada
putus asa.
Saya mita dia segera
mengumpulkan informasi lebih detil tentang kondisi terakhir mereka, siapa tahu
informasi itu akan berguna untuk mengetuk hati pihak-pihak yang bersedia
menolong mereka, meski pun hanya mengirim sekarung beras.
Dengan murung, ku-SMS
sang teman, dan bilang tak bisa datang,
lengkap dengan permintaan maaf.
“Tuhan, ambilah
kegembiraan natalku tahun ini, dan kalau boleh, berikan saja kepada keluarga
Marni yang tengah sengsara di hutan sana, walau mungkin mereka tak pernah
mendengar lagu Malam Kudus”.