Lucky Luke by Mering |
Pagi ini tiba-tiba saja saya merindukan sosok Lucky Luke. Cowboy penyendiri yang kemana-mana selalu menunggang kudanya
yang kocak bernama Jolly Jumper. Sekali-sekala dia dan kudanya itu
ditemani anjing bernama Ran Tan Plan
yang gobloknya minta ampun.
Untuk anak kampung yang tinggal sejauh 1000 KM dari pusat kota provinsi seperti saya, dus miskin pula adalah mustahil bisa menemukan buku tokoh jago tembak paling cepat di dunia (mosok ada orang bisa menembak lebih cepat dari bayangan sendiri?).
Dan satu lagi, waktu itu belum ada jalan darat atau transportasi pesawat terbang ke Kabupaen Kapuas Hulu, apalagi internet!
Tahun
70-80 an, satu-satunya alat transportasi untuk berhubungan dengan dunia luar
adalah perahu motor tambang atau speedboat yang jarak tempuhnya bisa seminggu lebih antara Pontianak-Putussibau, kota kecil tempat
keluargaku tinggal.
Saya melihat komik Lucky Luke pertama kali di rumah seorang teman
SD. Dia anak pejabat di kota kabupaten, yang ayahnya tentu punya koneksi di kota.
Betapa inginnya saya membaca dan memiliki komik tersebut.
Syukurnya anak pejabat itu tidak pelit dan bersedia meminjamkan buku
karya Rene Goscinny dan Morris itu karena kami teman baik.
“Tapi tunggu saya selesai membacanya semua ya?"
“Tapi tunggu saya selesai membacanya semua ya?"
Hampir seminggu saya tak bisa tidur nyenyak, karena
tak sabar dipinjami buku itu. Karena di kelas dia sering menceritakan kehebatan cowboy yang bisa menembak melebihi
kecepatan angin dan kuda yang bisa bicara dan doyan bir! Terkadang dia menirukan adegan bagaimana gerakan Lucky Luke Menembak. Wow… imajinasi kanak-kanakku pun
mengembara sampai ke Arizona.
Saat komik berjudul Daisy Town itu sudah ditangan, rasanya aku sudah sampai di negeri antah berantah itu. Aku bahkan tak ingat makan siang dan membca hingga menjelang malam. Jatahku hanya dua hari! Jadi kulahap buku tersebut secepat dan seingat yang kumampu.
Malamnya aku mengambar, menirukan komik tersebut lengkap dengan Lucky Luke dengan para penjahat dan sheriff (ohya, di kota Putussibau belum ada mesin photo copy kala itu). Aku berniat membuat copy buku dengan menggambar dan meunulis ulang ceritanya.
Tentu saja aku tak mampu menyelesaikannya. Aku tak ingat persis berapa halaman yang berhasil
kubuatkan salinan. Hasilnya tentu saja tidak sesempurna ilustrasi Morris, lagi pula aku kan hanya anak SD yang menggambar dengan pensil butut.
Kenangan masa kanak-kanakku itu muncul lagi ketika aku melintasi padang savanna di New Mexico tahun 2012 silam. Dan sekali lagi, di pagi ini kenangan itu muncul lagi
tiba-tiba, ketika seorang lelaki umur 40-an bercelana jins, kemeja kuning,
mengenakan rompi hitam dan sepatu kulit tinggi buru-buru masuk bandara. Tentu
dia tak membawa pistol, dan tak mengenakan
topi cowboy.
Tapi hei…tunggu dulu, dia menenteng majalah warna
hijau yang disampulnya tertulis Tujuh Kisah Lucky Luke!
Andai saja ada Lucky Luke di Indonesia, maukah dia membantu KPK? Menolong orang kampung yang tanahnya dirampas para pejabat korup, investor hitam dan penguasa yang merudapaksa hak-hak rakyat?
Hmmm...sayangnya imajinasiku tak sehebat dulu, ketika aku masih bisa menjadi Winnettou atau Lucky Luke sekaligus.
Pagi ini, kuraih pensil dari
dalam tas. Kugambar lagi sosok cowboy penyendiri yang bahkan kuragukan apakah dia benar-benar pernah punya tempat untuk pulang nun jauh di negeri antah berantah.
"...I'm poor lonesome cowboy and a lone long
ways from home..."
Pontianak, Agustus 2015