Perempuan Dayak Tamam Embaloh Photo by Merinng |
By Alaxander Mering
Adil ka’ talino, Bacuramin ka Saruga, Basengat ka
Jubata
Saudara-saudari, semeja, sebangu, dan hari ini sebangsa dan setanah air
Besok sudah
17 Agustus lagi, ini adalah watu yang sama untuk Indonesia menjadi matang dan
dewasa. Dan adalah waktunya untuk rakyat
merefleksikan hidupnya, menjadi bagian atau sebagian dari bangsa ini, untuk bisa
melihat siapa dan dimana dia berpijak di hari ini.
Seorang
sarjana pengembara dari Belanda, saat
pertemuan Borneo Studies Network di Brunei Darusalam, November 2014 lalu
mengatakan bahwa Borneo adalah pulau tak berpusat. Tapi hanya tempat untuk orang mencari rezeki.
Setelah kenyang, mereka pergi dan tahu tempat menimbun hartanya.
Orang-orang
datang dan pergi begitu saja, setelah mengeruk hasil hutan dan buminya, serta
membiarkannya terkapar begitu saja seperti perempuan telanjang yang habis diperkosa.
Maka
lengkaplah nubuat Rajah Putih, Charles
James Brooke dalam bukunya The White Rajah of Sarawak yang ditulis pada tahun
1915.
“Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini
dan ingatlah baik-baik….akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak disini lagi,
orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk
merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah dimana kamu tinggal, sumber penghasilanmu,
dan bahkan makanan yang ada di mulutmu
Kalian akan kehilangan hak kalian
yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada
gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak
negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi
para kuli dan orang buangan di pulau ini”.
Saudara-saudari
sebangsa dan semoga setanah air
Saya tidak
membenci sawit, saya tidak anti tambang, dan bukan penentang perbedaan suku
agama dan ras. Saya hanya tidak sanggup
melihat praktik-praktik ketidakadilan di negeri ini, saya bahkan merasa tak mampu
berdiri tegak saat melihat ada yang menderita, karena kehilangan hak-haknya
akibat kebijakan pembangunan yang tidak seimbang, cara-cara yang menghina dan
menghancurkan nilai-nilai luhur budaya
dan kekayaan alam Kalimantan, dan dimana pun saya berdiri menjadi bagian dari
bumi.
Bahkan saya
tidak sanggup merayakan malam natal ketika bu Marni dari komunitasnya Suku Anak
Dalam (SAD) di Kabupaten Dhamasraya, Sumatera Barat sana nyaris mati kelaparan.
Saya melihat sendiri hutan mereka sudah ludes
dan digantikan kebun sawit.Saya menulis
sajak untuk suku Sawang di Beliong Timur, yang terancam punah, bahkan sisa 200 orang.
Saya berduka
setiap melihat ketidakadilan dilakukan atas nama Negara dengan dibungkus pembangunan.
Karena sebenarnya kebijakan yang salah, bukan hanya akan menyengsarakan
orang-orang desa, para petani kecil dan masyarakat adat yang tak berdaya, tetapi
pada gilirannya kelak juga akan membinasakan kita semua. Tak peduli berapa
banyak mobil BMW anda, tak peduli berapa banyak tabunganmu di bank.
Lihatlah
Jakarta hari ini, lihat kebakaran hutan tak berkesudahan di Cina, atau ribuan
orang yang mati kepanasan di India. Bencana
tak akan bertanya apa pangkat dan jabatan anda, dia juga tak akan mengecek
kartu identitas anda! Petani paling kere didunia, atau pemilik supermarket terbesar di
Indonesia, tiada beda. Selama anda masih dibawah matahari yang sama, tak akan
ada yang selamat dari amuk murka.
Es di kutup
mencair sesenti demi sesenti setiap hari. Hujan dan panas tak lagi dapat
diprediksi. Belalang bahkan memenuhi udara melebihi nyamuk aedes aegypti.
Dan para
pakar fisika dan geologi sepakat, jika suatu ketika bumi sudah tak lagi kuat
menanggung kerusakan dan penghancuran, maka yang terjadi akan katastrofi. Hanya mereka yang hidup
selaras dengan alamlah yang bisa selamat dari petaka bencana maha dahsyat ini.
Karena
itulah salam Adil ka’ Talino Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata menurut saya juga sebuah filosofi dan juga puisi, kaena ia mengingatkan
kita untuk hidup seimbang dengan alam
dan seluruh jagat ini.
Lalu apa
kaitannya semua ini dengan sastra? Apa
hubungannya dengan para penulis dan penyair di pulau ini? Berkaca dari itu semua,
adakah kita begitu goblok membiarkan pulau terbesar ketiga didunia ini karam
dimakan rayap? Adakah wartawan
hanya bisa membusungkan dada lantas
berkata,”Aku ini wartawan Senior di Kalimantan Barat! (Waktu itu saya menjawab dalam hati, abang ini senior karena
karya atau karena uban dah putih? Sebab
saya ingat Yakop Utama pernah mengatakan, buku adalah mahkota seorang wartawan.
Adakah sesorang sudah bisa mengaku penyair hanya karena dia menulis status alay di facebook? Tentu saja tidak!
Saudara-saudari sebangsa dan sesudi
setanah air
Pulau ini
perlu karya terbaik putra putrinya, novel, puisi, syair, music, atau karya apa
saja yang menunjukan eksistensi budaya, karya yang menyuarakan hak-haknya yang tengah
dirudapaksa para spekulan seperti yang dikatakan Charles James Brooke tadi.
Penyair
perlu hadir menulis syair dan
sajaknya, seperti Chairil Anwar hadir
untuk Indonesia. Seperti Pramoedya Anata
Toer yang mewakili masa di zamannya. Bagaimana Bali pulau begitu kecil bisa lebih dikenal menjadi tujuan
setiap orang di planet ini? Mengapa
pulau Borneo yang luasnya 1 setengah kali pulau Jawa dan Bali, hanya Sarawak
dan Sabah saja yang tercatat dalam diari para turis dan peneliti?
Kita harus
menciptakan identitas, untuk membuat pulau ini memiliki kelas dan memiliki pusat. Pulau dua nama, yang dihuni penduduk 3 Negara,
sarang enggang, orang utan, ikan arwana, nephentes clepeata, dan seluruh
plasmanuftah yang endemic dan unik di dunia.
Kesusastraan
harus mampu memberi harapan yang dapat
kita imajinasikan. Suatu keadan di masa
depan yang tidak ada lagi kita dengar
kertak gigi dan ratap tangis, tetapi ia
adalah sebuah pusat hidup yang menjadi magnet nilai-nilai, seni sastra dan budaya tempat orang belajar tentang
kearifan yang dapat menghindarkan dunia dari katrastrofi.
“The Earth does not belong to man;
Man belongs to the Earth. This we know. Kata seorang pemimpin Indian, Chief Seattle mengingatkan
kita lagi.
Pontianak,
16 Agustus 2015
*) Dibacakan saat memperingati 17 Agustus, di Pusdiklat Top Indonesia dan untuk mereka yang berpesta merayakan yang bukan perayaan mereka...