Cover Buku Bayang Tembawang |
Oleh Wisnu Pamungkas
Kalau di kota metropolitan seperti Jakarta lebih banyak
menyuguhkan sengketa sosial antara kaya
dan miskin, yang kuat dan yang lemah, maka di kota-kota kecil di Kalimantan
Barat, kita masih gampang menemukan kehangatan, nilai-nilai luhur yang diwariskan. Di pedalaman-pedalaman kita
masih dapat menjumpai keselarasan dan harmoni manusia dengan semesta yang
disebut Tembawang. Tapi apakah benar masih demikian?
Sebab patologi sosial maupun budaya yang sama juga sudah
merengsek ke kampung-kampung terpencil sekali pun di wilayah teritorial manusia
di Kalimantan Barat. Yaitu sejak televisi masuk ke ruang paling pribadi umat
manusia, sejak ijin-ijin, pertambangan, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan
perkebunan kelapa sawit bersekala besar dianggap jihad paling suci untuk
memerangi kemiskinan manusia Indonesia, dan sejak para kapitalis yang
berselingkuh dengan elit politik, militer dan peguasa mengkampanyekan merekalah
juruslamat kesejahteraan yang diridoi Allah untuk rakyat.
Apa mau dikata? Bahkan para penyair masih sembunyi-sembunyi
menuliskan sajaknya. Puisi-puisi masih bertarung menemukan penyair-penyair
yang sesungguhnya. Sementara ruang-ruang
bersastra disibukan oleh kepentingan-kepentingan negara.
Suka tidak suka, mau tidak mau, setuju tidak setuju, sebagai
rakyat anak-anak memang masuk ke sekolah yang disediakan negara, belajar
tentang kejujuran hati nurani dan menulis puisi tidak akan membuatmu bisa lulus
di ujian negara!
Kita juga terpaksa mengadu ke Puskesmas saat sakit, walau
dilayani alakadarnya. Mengantongi kartu jaminan kesehatan yang disediakan
pemerintah, meskipun harus terlantar juga di bangsal rumah sakit pada akhirnya.
Padahal kita selalu membayar pajak tanpa prasangka dan bertanya-tanya.
Dimusim kemarau, rakyat Kalimantan Barat mengap-mengap
karena oksigennya diracuni asap. Tak satupun dari pemberi izin dan
pengusaha—pembabat hutan dan membakarnya—pernah minta maaf. Tak satu pun
menganggap itu sebagai kejahatan serius di negeri yang beradab. Para alat
negara sibuk ngomong dan mencari justifikasi sambil menangkap orang-orang
suruhan, dan para petani kecil yang masuk perangkap. Saya kira pada saat
seperti inilah para penyair harus hadir menggugat ketidakadilan!
Kalau tidak, dimana lagi bisa kita temui kehangatan, dimana
cinta, semesta yang damai, dan kapan negara bisa hadir sebagai teman? Dimana
kasih sayang dan nilai-nilai adat budaya sebagai orang timur diletakan? Karena sejak masih dalam rahim ibu, sejak
masih mengapung dalam air ketuban, kita sudah diupacarakan!
Kalimatan Barat perlu penyair, untuk mengingatkan bahwa
kebudayaan di bumi Borneo ini masih perlu tanah. “Bahkan manusia mati pun perlu
tanah untuk kuburan, apalagi sebuah kebudayaaan”, kata Drs. Donatianus, BSE
Praptantya, M. Hum, antropolog dari Universitas Tanjung Pura.
Maka dari itu, karya-karya puisi yang ditulis lebih dari 50
penulis dari 13 Kabupaten Kota (minus Kabupaten Melawi) yang dikirim kepada
kami, tentu masih dalam ruang budaya, masih dari tanah kebudayaannya, tempat
karya berpijak saat dilahirkan.
Sekadar catatan, dari sejarah panjang sastra, khususnya
karya puisi di Kalimantan Barat—yang didominasi oleh penulis-penulis di Kota
Pontianak kala itu—adalah bayang-bayang remang dalam sastra nasional. Kadang
timbul kadang tenggelam, dan hampir satu dekade setelah kepergian almarhum
Ody’s, kehidupan bersastra dan juga karya-karya penulis Kalimantan Barat hanya
siluet tanpa bingkai. Sementara penulis-penulis lokal yang walau pun
karya-karyanya tak kalah bermutu, jarang mendapat panggung.
Psikologi semacam ini, terus mendera walau pun kini sudah di
era media sosial. Generasi berikutnya tumbuh tanpa referensi yang dipelajari
tentang sastra dalam konteks Kalimantan Barat. Karya-karya mereka tercecer di
facebook dan twitter atau blog bahkan ada yang tak menyentuh tanah. Maka kami
kira, kehadiran buku antologi puisi yang dihimpun dari berbagai kalangan
penulis, baik yang pemula maupun yang sudah matang ini, setidaknya mengokohkan
bahwa sastra dalam bentuk karya sajak atau puisi masih hidup di tanah
Kalimantan Barat.
Karya-karya yang
dikumpulkan dan dibingkai dalam sebuah buku yang dikurasi Wisnupamungkas dan
Musfeptial ini akan menjadi ‘prasasti’ yang mengingatkan kita bahwa kehidupan
sastra, berapa pun kecil gerakannya, seremang apa pun silhuetnya akan tetap hidup dalam eksistensi nilai
seperti Tembawang, yaitu sebuah terminologi etnogroforestri yang menjadi media, lumbung pengetahuan
sekaligus simbol harmonisasi manusia bumi putra pulau Borneo dengan semesta
alam.
Bukankah puisi-puisi juga seperti pohon yang ditanam di
tembawang? Karena setiap pohon niscaya akan tumbuh dan memiliki takdirnya
sendiri, demikian juga setiap karya puisi yang terlahir ke dunia ini melalui
tangan-tangan penyair, entah di masa lalu, esok atau pun hari ini.
Pontianak, 1 September 2015
Copyright © Alexander Mering