Di tengah gelombang tsunami informasi, yang mana Budi Miank adalah salah seorang aktor—karena profesinya sebagai jurnalis—ada banyak nilai yang ikut tersapu dan tidak akan kembali lagi, bahkan musnah dari tengah-tengah kehidupan dan kemudian terlupakan. Tak terkecuali nilai-nilai kehidupan, baik lokal maupun universal, dimana manusia itu tumbuh dalam pengembaraan serta pergulatan identitas budayanya yang unik.
Demikianlah Budi Miank yang gamang, mencoba masih berpaut
pada sisa-sisa sulur akar budaya yang terperangkap di memorinya saat berusaha
mengapung di tengah-tengah lautan nilai yang ditemukannya ketika belajar,
bekerja dan tinggal di kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Sementara
separuh dari memori kehidupannya masih tetap terpasak di kampung kecil bernama
Angan Tembawang, Kecamatan Jelimpo, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat.
Buku kumpulan puisi yang berjudul Ombon-Perempuan Pengembara
ini adalah rekaman dari perenungannya, terhadap berbagai gejala, fenomena dan
juga fakta yang tak seluruhnya berhasil dia kunyah menjadi pemahaman budaya
bumi putra yang rantai geneologinya diwariskan Ombon.
Budi Miank yang mulanya hanyalah seorang bocah kampung—yang
secara bergurau pernah mengatakan bahwa kampungnya tak ada di peta karena
tetutup daun pisang—dipaksa atau terpaksa melakukan lompatan budaya. Dari
budaya agraris ke metropolis, dari budaya bercerita harus menjadi ‘kuli’ literasi karena bekerja sebagai seorang
jurnalis di salah satu perusahaan pers ternama di Pontianak.
Karena itulah, meski gagap
seperti yang dialami kebanyakan anak-anak Dayak di Kalimantan yang mengalami
diaspora di kota-kota besar di Indonesia, Budi Miank tetap berusaha merawat
ingatannya pada nilai-nilai adat istiadat lama, pada hutan rimba dan upacara
yang diwariskan para leluhur yang pertama kali mengembara di semesta ini, entah
kapan dan dimana.
Syukurlah penulis yang sudah melanglang buana kemana-mana ini
tidak lantas terjebak pada rutinitas pekerjaan hingga ia pun selamat dari jebakan
perangkap kota kebanyakan, yaitu menjadi Zombie hidup. Walau terbata-bata, dia tetap
berusaha mendifinisikan kembali nilai-nilai tadi, merekam dan mengabadikannya menjadi
pengal-penggal puisi seperti yang dapat Anda baca dalam buku ini.
Bukan hanya kalimat-kalimat pucat dari proses kristalisasi
ingatannya yang terekam dalam DNA yang diwariskan para pengayau di masa silam—yang membuatnya terkadang seperti mengalami déjà vu—tetapi juga ia ‘memotret’ dan
berbicara pada konteks kekinian, tentang cinta dan bencana lingkungan yang
dilahirkan dari kebijakan pembangunan yang biadab.
Jika di masa lalu nenek moyangnya mendirikan tempat keramat
yang disebut padagi untuk berdoa dan
berjanji di hutan, maka dengan buku kumpulan puisi di tangan Anda Ini, Budi Miank
sedang membangun Padagi, ‘batu prasasti’
perjanjian, tempat keramat modern-nya
sendiri yang tak sekadar benda mati, tetapi juga adalah sebuah situs yang dapat
dibaca dan dipelajari dari generasi ke generasi.
Karena itu ketika diminta membaca buku ini, saya juga seakan
mengalami déjà vu, merasa sedang berkeliling pinggir Sungai Kapuas, menyaksikan
gerimis dan temaram lampu Kota Pontianak (yang oleh para penyair setempat
dijuluki Kota Hantu). Melihat beberapa anak manusia yang sedang terombang-ambing
di antara bayang-bayang senja, mengapai-gapaikan tangannya berusaha meraih
sulur-sulur nilai dari masa lalu yang semakin lama semakin lamur dan blur, dikubur
oleh politik negara, industri perkebunan kelapa sawit, tambang, dan mal-mal
yang melahirkan rupa-rupa kenikmatan sekaligus rasa sakit.