Order Novel disini |
"Berharga emas Mak, duo sampai tigo juta rupiah
perkilonyo tapi di tingkat pencari tentu saja hanya berharga tujuh sampai lapan
ratus ribu rupiah!" ujar Usman, waktu kutanya harga jernang ini di luar sana. Awal mendengarnya membuatku terhenyak,
apakah ini berkah ataukah kutukan. Terus terang aku khawatir dengan mahalnya Jernang akan membuat orang-orang di luar
sana mencari Jernang dan kami pun
akan menyingkir makin dalam ke belantara hutan.
Aku mendengar banyak cerita dimana ditemukannya emas,
maka disitulah orang akan berbondong-bondong datang untuk mencarinya. Aku juga
mendengar mengenai rusaknya hutan dimana terdapat daerah-daerah tambang.
Orang-orang menjadi beringas dan tak lagi melihat bahwa semua itu hanyalah
bagian kecil dari yang alam berikan kepada kita dan kita tidak boleh serakah
dalam memanfaatkannya. Sejak saat itu, aku mulai khawatir kilaunya harga jernang akan membawa orang-orang dengan
sifat buruk seperti itu kemari. Dan yang paling kutakutkan adalah dampaknya
bagi anak-anakku. Tapi selama nafasku masih dapat menarik dan menghembus, aku
pasti akan membimbing mereka sampai suatu ketika mereka siap untuk memiliki
rombongan sendiri. Dan semua berawal ketika kelima orang yang sehari sebelumnya
dikabarkan datang hendak menemuiku berjalan mendekat untuk meminta berteduh.
Hari mulai gelap, hujan menderas disertai angin nan
menderu merupakan awal dari cerita pedih bagi keluargaku. Tapang mulai
menghidupkan pelita yang menerangi tenda kami malam itu. Meski kelebatan hujan
hendak menutupi decak langkah, tapi telinga tuaku ini tak bisa dibohongi ketika
serombongan orang berjalan mendekat.
"Inka coba kamu lihat siapa yang datang?"
Demikian sepenggal narasi, petikan dari BAB pertama dari Novel karya Paul Tao Widodo yang berjudul Perempuan di Ujung Tembawang.
Sebuah novel lingkungan yang reflektif tentang pergulatan hidup seorang ibu, Suku Anak Dalam (SAD) yang terjepit di sisa hutan antara hamparan perkebunan kapa sawit di Kabupaten Damasraya, Sumatera Barat.
Buku ini menarik, selain karena penulisnya sendiri belum pernah menginjakan kaki ke tanah Sumatera, juga karena ditulis dari berbagai sudut pandang. Baik dari tokoh utama cerita, yaitu SAD atau yang kerab juga disebut Orang Rimba, sudut pandang aktivis NGO, koorperasi perkebunan sawit, bahkan juga sudut pandang orang Dayak di Kalimantan Barat sana--yang nasibnya tak jauh berbeda.
Paul Tao Widodo sendiri, adalah penulis novel sejarah Republik Lanfang yang tinggal di Kalimantan Barat.
Saya bangga bisa terlibat dalam proses penulisan, menyediakan data, mengedit hingga mempromosikan novel ini sebagai sebuah gerakan untuk membantu pedidikan anak-anak SAD dampingan SSS Pundi Sumatera di 3 kabupaten di Sumatera saat ini.
Apalagi niat awal dari penulis buku ini, yang kemudian direstui penerbitnya yaitu TOP Indonesia, bahwa sebagian dari penjualan buku setebal 500 hlm ini kelak akan didonasikan untuk itu.
Bagi yang ingin ikut mendonasi dan memesan novel silahkan pesan di link berikut ini.
Copyright © Alexander Mering