Keluarga Tunakata

Ilustrasi

by Wisnu Pamungkas

Sejak kecil kami diajari menghormati kata-kata, 
menjemputnya saat belajar bicara dan mengantarnya pulang setelah kelas selesai, 
dan kini kami tak punya apa-apa lagi setelah merdeka pergi, 
bahkan sekolah kami telah dibajak para perompak dari seberang

Aku mencintai buku, tapi buku tak mencintaiku, maka aku hanya menuliskan kata-kata,
pada lembar terakhir cerita engkau dan aku yang mabuk sampai sumuk karana tak mungkin bersama menjadi sepasang kunang-kunang atau pun kupu-kupu

Ayah juga tak mencintai ibu, karena ibu menipu ayah. Setiap pagi ibu melayani para serdadu.
Maka aku tak mau mengulangi kebodohan ayah. Lantas aku pergi ke perpustakaan mencari kasih sayang yang disembunyikan dalam rak buku-buku sejarah. Tak lupa kurapal kata-kata menjadi mantra, untuk meretas ruang dan waktu. Maka kuperdaya juga kata-kata untuk melaminanting kembali surat nikah ayah dan Ibu yang nyaris punah. 

Aku mencintai buku, tapi buku tak mencintaiku, 
karena itu aku berusaha melupakanmu dan tergoda kata-kata. 
Tapi guruku yang sotoi itu dulu memperkosanya menjadi bahasa. 
Mencabuli anak-anak kalimat, yang majemuk menjadi piatu. Sementara aku telah kehilangan tempat mengadu, sebab ibu dan ayah pula sudah lama meninggalkan rumah ruang dan waktu

Sejak itu aku memutuskan hidup menjadi tunakata, berkebun duka karena cinta pun sudah mati berkalang tanah.

Bandung, 7 Oktober 2017
 

Copyright © Alexander Mering

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more