By Wisnu Pamungkas
Aku di depan Menara
Sudirman,
di sebuah kursi taman,
menghadap ke jalan,
dengan perasaan ngilu yang
tak bisa kukatakan padamu
dengan kalimat maupun
isyarat
Di kananku sirine ambulan
meraung-raung,
menyingkirkan pengendara
lain yang tak mengerti.
Disanalah aku rasanya
ingin sekali berbaring, sekarat saja,
lalu perlahan-lahan mati
untuk bisa melupakanmu
yang telah terbang menjadi
seekor rama-rama
Lampu taman belum lagi
menyala, dan angin masih juga belum pulang,
saat aku merasa waktu
telah bersekutu dengan masa lalu kita.
Menerobos gorong-gorong
Jalan Sudirman untuk menyiksaku
yang setengah mabok
menahan rindu, gigil, dan air mata
yang tercemar debu, timbal
dan serpihan kaca
Aku bersender di ransel,
mencari-cari sajak
yang belum habis kutulis,
tapi telah menjadi racun di kepala.
Menghasut beberapa kalimat
yang tak sempat aku ucapkan padamu sebelumnya.
Sementara seorang perempuan wangi di sebelahku dengan lancang bertanya:
“Maukah kau memberi aku bunga?”
Sementara seorang perempuan wangi di sebelahku dengan lancang bertanya:
“Maukah kau memberi aku bunga?”
Pohon yang tak kukenal
namanya, terus tumbuh tanpa kuota,
hanya cabang dan daunnya
saja yang perlahan-lahan menjadi bayang,
tertelan puncak bangunan
menjulang, menembus langit senja.
Tapi pohon itu masih lebih
beruntung, sedangkan aku kau tinggalkan
menggelandang sendiri di
tengah-tengah kota.
Videotron raksasa di depan
Gelora Bung Karno, berpedar-pedar,
menghajarku dengan
perasaan rawan dan sengsara.
Tapi siapakah dia yang
bersender di ransel hitam, duduk di bawah pohon,
dalam bayang-bayang senja,
di sebuah kursi taman tua,
sedang memesan Gojek, meninggalkan rindu bodohnya dan cinta paling taik kucing sedunia
sedang memesan Gojek, meninggalkan rindu bodohnya dan cinta paling taik kucing sedunia
Sudirman, 6 April 2018
Copyright © Alexander Mering