Anak-anak sedang bermain di Pantai Kelapa Satu , Sarmi. Photo by Mering |
Ada berbagai mitos beredar di luar sana tentang Papua, tapi
aku tak peduli. Karena aku sudah telalu
ngebet ingin bertemu Sarmi.
Aku tak sabar untuk datang, berselancar papan atau
sekadar duduk berlama-lama menikmati debur ombak, melompat ke tengah-tengah
pasir yang selalu basah, memotret lokan dan silhuet barisan pohon kelapa, atau
sekadar menatap cahaya senja lengkap dengan mataharinya yang memerah,
memantulkan cahaya jingga, dan mudah-mudahan ada juga sepasang burung camar
yang sayapnya sedang mengepak-melintas di cakrawala.
Setahun yang lalu, seorang teman pekerja sosial pernah
mengirm email kepadaku.“Kutunanti kau di Sarmi,” tulisnya. Sejak saat itu aku
ingin sekali bertemu Sarmi. Meskipun
teman-teman berseloroh,”memangnya apasih kelebihan Sarmi? Namanya saja seperti gadis Jawa…?”
Bodo amat! Aku tak peduli pada celoteh mereka. Niatku
sudah tak goyah. Tekadku sudah bulat. Maka aku telpon Juli Sianturi,
Communication Officer USAID IFACS yang sudah setahun bertugas di Papua. Aku
memohon bantuannya untuk memastikan tiket pesawat, hotel, mobil, dan
bla..bla..bla….
“Tapi awas lo Om, jangan sekali-kali minum air kelapa
saat tiba di sana?” celoteh teman itu lagi.
Busyet nih orang, gak bisa lihat teman senang apa!? Dia
bilang kalau menenggak air kelapa saat di Papua, dijamin langsung kena penyakit
malaria. Akai!
Tapi seperti yang sudah kubilang tadi, aku benar-benar sudah
tak peduli. Bila perlu aku akan bawa sekantong pil kina. Karena aku sudah terlalu lama menunda, aku
hanya mau bertemu Sarmi, titik!
Maka 26 Oktober 2014
sore, dengan perasaan yang tak terlukiskan kugendong backpack berisi laptop dan kamera.
Karena secara teknis, semua sesuai rencana, tiket sudah di tangan tinggal
terbang, saja.
Akomodasi dan pejemputan pun sudah dipersiapkan, hmm…
hampir sempurna, kecuali tentu saja masih harus transit dulu di Jakarta.
Biasa…, Jakarta punya kuasa!
***
Sarmi adalah kabupaten yang terletak pinggir laut,
tepatnya di pantai barat Papua, sekitar 300 km berkendaraan dari Jaya Pura, Ibukota Provinsi Papua.Nama
Sarmi merupakan singkatan dari nama
suku-suku besar di sana, yakni Sobey, Armati, Rumbuai, Manirem, dan Isirawa.
Keberadaan mereka telah lama menjadi perhatian antropolog
Belanda, Van Kouhen Houven, yang kemudian memberikan nama Sarmi, demikian tulis
Wikipedia Bahasa indonesia.
Singkatan Sarmi sebenarnya belum mencerminkan suku-suku
yang ada mengingat di wilayah ini terdapat 87 bahasa yang dipergunakan
sehari-hari. Sarmi dulu adalah sebuah distrik yang cantik, tak kalah dari Raja
Ampat yang memang sudah termasyur ke seluruh dunia.
Kabupaten yang berpenduduk lebih dari 30.000 jiwa ini
memiliki pantai dan pulau-pulau yang mengetarkan hati, terbentang sepanjang
laut, meliputi area di pulau utama dan 15 kepulauan lain yang juga merupakan
bagian dari lembah sungai Mambramo dan meluas ke pedalaman Pegunan Foja.
USAID-IFACS mencatat hampir semua bagian bentang alam ini
tidak berkembang dan ditutupi petak-petak hutan yang sudah tumbuh lama dan
masih utuh, namun konsesi pengusahaan kayu, kelapa sawit dan pertambangan telah
diberikan di sebagian besar kawasan seluas 35.587 km2 ini.
“95 persen bentang alam Sarmi masih tertutup hutan.
Sebagian besar adalah hutan rawa,” kata Forest
Specialist USAID IFACS Kabupaten Sarmi, I Wayan Nuarsa suatu hari, saat
kami bertemu di Jakarta.
Dia mengatakan, lembaga tempatnya bekerja berusaha
membantu masyarakat Sarmi melindungi kawasan yang mereka anggap masih memiliki
Nilai Konservasi Tinggi (NKT) melalui program
yang disebut Community Conservation & Livelihood Agreements (CCLA).
Sejak 2011 hingga sekarang tak kurang dari 17 CCLA di
wilayah Bonggo dan Distrik Pantai Timur sudah dibuat atas dukungan USAID IFACS yang bermitra dengan LSM Lokal.
USAID IFACS adalah
program dari pemerintah Amerika Serikat untuk membantu pemerintah
Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari degradasi dan
hilangnya hutan.
Kesepakatan konservasi atau CCLA tadi direcanakan, dibuat
dan ditandatangani masyarakat bersama
pemuka dan tokoh adat setempat. Jadi
tidak salah kalau kabupaten ini
benar-benar ingin mengembangkan sektor ekowisata, mengingat potensi
alamnya yang masih cukup melimpah.
Wayan benar, dari beberapa literatur yang sempat kubaca,
hutan Sarmi—sebagaimana hutan Papua lainnya—sangat kaya keragaman hayati dan
tinggi endemisitasnya.
Saat melintasi jalan umum di hari pertama aku datang, di
kiri dan kanan jalan tampak pohon kayu besi tinggi dan kokoh, sementara burung Kakak
Tua Raja dan burung beo sesekali melintas di atas kepala saat kami memasuki
perbatasan.
Di muara sungai dan pesisir, pohon bakau yang menjadi ciri khas Sarmi tumbuh rapat.
Wayan mencatat, hutan bakau terbesar di Sarmi adalah di delta Sungai Membramo.
“Sarmi cantik bukan?”kata Acun menyadarkan aku yang
sedang mabuk oleh pesona Sarmi.
“Cantik dan kaya, sayangnya yang kaya hanya pendatang
seperti kalian, hahaha…,” selorohku pada Acun. Acun adalah driver taksi yang bertugas
menjemput dan mengantarku ke Sarmi. Dia satu dari sekian banyak perantau asal
Makasar yang mengadu nasib ke Papua. Para perantau seperti Acun biasanya hidup lumayan
disini meski hanya menjadi driver taxi.
“Ya, asal pandai-pandailah bergaul dan membawa diri,”
kata Acun.
Tanpa diminta, Acun menceritakan seluk-beluk Papua
termasuk Sarmi. Mulai dari kisah yang indah hingga yang berdarah-darah dan kehidupan
hedonis yang banyak menjebak orang
papua. Dari isu keamanan hingga tempat esek-esek, dimana orang bebas saling tular-menularkan
penyakit HIV/AID.
Karena penat aku pun terlelap. Sayup-sayup masih
terdengar olehku cerita Acun tentang polisi dan OPM yang sebulan lalu tembak-menembak
di jalan yang sedang kami lewati. Ah, masa bodohlah dengan 'drama lama' itu, yang penting aku akan segera tiba
di Sarmi!
***
Salah satu sudut Pantai Sarmi. Photo by Mering |
Walau Yohan Rubiyantoro, mantan wartawan Kontan, di
Kompasiana setahun yang lalu pernah menulis bahwa Sarmi adalah bekas daerah
merah, sekali lagi aku tetap tak peduli. Dan hanya butuh waktu kurang dari 7 jam kami
sudah tiba di kabupaten bersejarah itu.
Aku menemukan pantai yang sedang sunyi, kecuali kibasan angin
yang membuat rambut siapa saja pasti menjadi kusut.
Beberapa nelayan menceburkan dirinya ke ombak, gelombang
yang memukul-mukul batu karang, melahirkan suara semesta yang mengingatkanku
pada sejarah panjang yang pernah ditulis
para misionaris, jauh sebelum tanah Papua menjadi milik ini republik.
Julia Sianturi menyambutku gembira, di malam pertama aku tiba di Sarmi. Kami adalah rekan sejawat yang sekali-sekala bertemu di kantor pusat,
di Jakarta. Julia dan staff USAID IFACS Sarmi menjamuku makan ikan bakar yang
leszat malam itu. Ohya, laut Sarmi
adalah rumah berbagai jenis ikan laut, karena terumbu karangnya yang
bagus-bagus.
Keesokan harinya setelah mampir di kantor dan bertemu
Regional Manager (RM) USAID IFACS Sarmi, Yupen A. Ledang, aku dan Juli langsung
berkeliling kota Sarmi naik ojek.
“Nah kalau ojek di sini gampang dicari, mereka punya
semacam koprasi,” terang Juli.
Sorenya dia memperkenalkan aku kepada Kepala Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sarmi, Melianus Aiwui, SE. MM yang tengah mempersiapkan tenda untuk pertemuan diskusi tematik esok pagi dengan tema “Ekowisata di Wilayah Sarmi Mendukung Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim”.
Sorenya dia memperkenalkan aku kepada Kepala Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sarmi, Melianus Aiwui, SE. MM yang tengah mempersiapkan tenda untuk pertemuan diskusi tematik esok pagi dengan tema “Ekowisata di Wilayah Sarmi Mendukung Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim”.
Acara ini adalah gawainya Forum Multi Pihak (FMP) Sarmi
bekerjasama dengan USAID IFACS, tokoh
masyarakat, tokoh adat dan tentu saja Pemerintah Kabupaten Sarmi.
Melianus tampak tangkas mengatur para pegawainya. Dalam
sekejab kami sudah menjadi akrab, dan dia menerangkan aneka obyek-objek pariwisata di
kabupaten tersebut. Antara lain Monumen Yamagata yang terletak di pusat Kota, Monumen ini di bangun
oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Yamagata Jepang.
Yang kedua adalah Pantai Sarmi, di sepanjang pesisir Kota
Sarmi, selain berenang dan menikmati pemandangan Laut, para wisatawan juga
dapat memanfaatkan deburan ombak Pantai Sarmi untuk berselancar, demikian juga
Pantai Holmafen.
Wisata sejarah di Sarmi juga termasuk landasan pacu PD II tentara Sekutu, Batu
Amrafati dan Warkumfati di Pulau Wakde, rangka pesawat Jepang di Karfasia,
markas besar tentara Jepang di Amsira, makam tentara Jepang PD II di Sarmi,
area perkebunan tentara Jepang di Minindawar, Tugu Yamagata di Sarmi, Batu
Tere-tere, Duya, Anwe, Kesyan dan Tworut di Beneraf.
“Tapi sayang belum banyak wisatawan yang tahu dan mau datang
ke sini,” celetuk Juli sambil membetulkan anak rambutnya yang acak-acakan
dihajar angin laut.
Selain yang disebutkan Melianus, Sarmi juga banyak
potensi wisata bahari. Antara lain Pulau Liki, Pulau Kosong, Pulau Armo, Pulau
Sarmi, Pulau Sawar, Pulau Wakde, Pulau Yamna, Pulau Anus, Pulau Podena, Pulau
Yarsun, Pulau Masi-Masi, gua di Tanjung Batu, Gua Kelelawar di Beneraf, air
terjun di Sewan, Safrom, Beneraf dan masih
banyak lagi.
Rasanya Senja cepat sekali merayap di pantai ini. Suara
serangga malam berbaur dengan debur ombak di antara bayangan pohon kelapa yang memesona
hingga membuatku enggan untuk beranjak.
***
Hutan Sarmi tampak dari Kantor Bupati. Photo by Mering |
Waktu memang bergerak cepat di Sarmi. Di kampung halamanku di Kalimantan Barat baru pukul 08.00 pagi, tapi di Sarmi sudah pukul 10.00 WIT.
Maka tak membuang waktu. aku pun langsung berkeliling, memotret puluhan bocah yang menghambur ke pantai untuk mandi dan bermain ombak. Sementara Mama Monika Seva sibuk menyusun tervo, yaitu kain tenun dari daun nipah (Nypa fruticans) khas Sarmi dan berbagai kerajinan tangan lainnya di meja yang disediakan panitia, di lokasi acara.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat memang tengah menggalakan sector pariwisata untuk menggerakan ekonomi masyarakat. Bahkan Bupati Sarmi, Drs. Mesak Manibor. M.MT berjanji akan menggelontorkan anggaran yang cukup besar untuk menghidupkan pariwisata Sarmi.
“Makan papeda yuk,” ajak Juli.
Karena lapar aku mengikutinya menuju warung dadakan yang dibuat ibu-ibu di bibir pantai tak jauh dari tenda udangan diskusi.
Papadeda adalah makanan khas papua yang terbuat dari sagu. Aku memilih ikan bakar dan daun papaya sebagai sayur dan lauknya. Saru porsi harganya Rp 25.000. Dari kecil, keluargaku memang sudah terbiasa makan sagu, karena bagi beberapa sub suku Dayak di Kalimantan Barat sagu adalah makan kedua mereka.
Sayangnya pemerintah Indonesia jaman Suharto dulu melakukan politik hegemoni pangan, seakan-akan jika tidak makan nasi orang belum dianggap sejahtera, apa karena Suharto tentara ya? Hmmm.
Papua adalah mutiara, dan Sarmi adalah satu dari sekian banyak serpihannya. Tapi sayang sebentar lagi nasib Sarmi juga tak akan jauh berbeda dari Kalimantan Barat dan Sumatera. Karna Sarmi juga sedang terancam ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tambang bersekala besar.
Gidion Yaas, adalah tokoh masyarakat Sarmi yang paling cemas. “Kalau hutan tiada, kemana kami mendapatkan air bersih,” protesnya di diskusi tematik yang dihadiri lebih dari 120 undangan.
Namun demikian, paling tidak Kabupaten Sarmi kini sudah memiliki dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang pembuatannya difasilitasi oleh USAID IFACS. Menurut Juli, apabila dokumen KLHS telah diinteritegrasikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten, maka pembangunan yang seperti yang dicemaskan Gidion dan warga Sarmi lainnya bisa diatasi.
Karena KLHS tak saja berguna untuk memastikan pembangunan benar-benar memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dengan Straegi Pembangunan Rendah Emisi (SPRE), tetapi juga akan menyelamatkan kawasan-kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi.
“Caranya ya antara lain dengan pembangunan di sektor ekowisata,” kata Juli menjelang kepulanganku ke Kalimantan.
Dua hari di Sarmi aku masih merasa tak puas hati. Terutama karena aku tak sempat bertandang ke pulau-pulau indah yang menyimpan banyak kisah misteri.
Sebelum menuju Kota Abepura, Acun dan Juli mengantarku ke Kantor DPRD dan Kantor Bupati Sarmi untuk memotret. Dari ketinggian tampak bukit dan lembah yang indah tersaput kabut pagi. Hutan dan laut Sarmi tak saja kaya biodiversity, tetapi juga mengandung nilai budaya, serta kearifan lokal nenek moyang yang tersimpan di balik belantara kayu besi, pohon matoa dan dendani.
Sekali lagi aku membuka SMS sang teman yang ternyata sejak setahun lalu sudah pindah dari Sarmi. Dari puncak balkon, kantor bupati Sarmi, kukirim SMS kepadanya dengan perasaan nyeri.
“Bro, Aku sedih jk Sarmi hrs jdi sprt Kalimantan!”
*Catatan perjalanan ke Sarmi tahun 2015