Surat Cinta dari Gorottai

Surat Cintai dari Mentawai, Surat Cinta dari Gorottai, Traveling Mentawai, Surat Cinta, Narative Reporting, Alexander Mering, Traveler Kampung
Anak  Gorottai pergi ke sekolah by Mering

Oleh: Alexander Mering


Adinda tercinta, kutulis surat ini saat hujan rintik di Kampung Gorottai yang sendu. Sebuah pemukiman orang Mentawai yang kini menjadi kelabu, terbungkus mendung, bayangan pohon pinang yang berjejer rapat-rapat seperti tiang gaib yang berasal dari suatu tempat, di suatu waktu yang entah kapan di masa lalu.

Kutulis surat ini untukmu dengan rasa rindu. Dari kursi panjang, di pojok ulau Uma1) keluarga Sirisurak,2) penjaga rimba di pinggir Sungai Terekan, Desa Malancan, Siberut Utara, Kabupaten Mentawai, Provinsi Sumatera Barat.
Disinilah aku Adinda, tersandera cuaca buruk setelah menempuh perjalanan berjam-jam dalam gigil, dihajar badai dan hujan. Tapi syukurlah kami berhasil tiba dengan selamat setelah seharian bergumul di lumpur, melintasi derasnya sungai yang konon kerap dihiasai seringai Silambuk alai.3)
Adinda yang kuncita, Gorottai hanyalah pemukiman tak bertuan yang bahkan tak bisa ditemukan dalam peta. Sebab meski bangsa ini sudah lebih dari 70 tahun merdeka, tapi sejak jaman orde lama hingga hari aku datang, kampung ini tetap saja terpencil dan tereksklusi. Menurut warga, kampung mereka bahkan tak diakui lagi sebagai bagian dari desa Malancan, sejak tahun 2012.
Alasannya tentu sangat administrative, yaitu karena Gorottai tidak memenuhi syarat untuk diakui sebagai satuan pemukiman ala pemerintah Indonesia yang disebut dusun. Dimana penduduknya hanya tersisa 35 jiwa saja! 
Secara geografis letak Kampung Gorottai memang paling terisolir di ujung desa. Belakangan kampung ini juga sering terendam banjir. Tak hanya menyebabkan ladang, tanaman dan ternak mereka musnah, tata letak kampung pun jadi porak poranda diganyang air pasang. 
Dari cerita warga yang kucatat kemarin, sedikitnya ada 6 unit rumah hanyut dan bergerser hingga puluhan meter saat banjir Desember 2013. Satu rumah tersangkut di atas jalan rabat beton buatan PNPM Mandiri Pedesaan4). Mungkin jalan inilah satu-satunya jejak baik pemerintah Indonesia di Kampung Gorotai sejak era reformasi. Sedangkan di masa Soeharto berkuasa, mereka hidup dalam depresi dam tekanan seperti halnya orang Dayak di Kalimantan. Bahkan mena-tato5) tubuhnya sendiri pun mereka takut.
Jejak tato Mentawai yang masih kita temukan hari ini adalah lantaran ada diantara mereka yang nekad tetap menjalankan aturan adat dan tradisi nenek moyang mereka secara diam-diam. Seperti orang Sakuddei yang tak sudi  menyerah ketika dipaksa pindah ke barasi,6) yaitu desa-desa ala Pemerintah Indonesia sekitar tahun 1960-an.
Bagi suku Mentawai tato bukanlah sekadar rajah di kulit atau lukisan, tapi tato adalah perlambang status sosial atau profesi. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tato bagi suku Mentawai juga dianggap pakaian abadi yang akan dibawa ketika mereka meninggal kelak.7) Namun di era 80-an dulu hampir seluruh wilayah Indonesia dihantui kasus pembunuhan oleh penembak misterius,8) sasarannya antara lain adalah orang bertato.
Hal itulah yang menyebabkan Justinus Goiran—seorang sikerei9) di Gorottai— tak ada bekas atau pun tanda tubuhnya pernah dirajah. 
“Ancaman pemerintah membuat kami takut menjalankan budaya dan tradisi, maka tak ada warga kami disini yang bertato,” kata Goiran sambil menyulut sebatang rokok.
Aku termenung. Di luar uma, hujan masih juga tak reda-reda.
Adinda yang kucinta, dan selalu kurindukan. Kini jumlah warga Gorottai semakin hari semakin menipis. Banyak diantara mereka yang memilih pindah keluar kampung untuk mengubah nasib. Namun demikian tetap saja ada di antaranya yang bolak-balik ke Gorottai. Sebab disinilah tanah-air leluhur mereka, tempat mereka memanen manau,10) pinang, pisang, durian, sagu, ulat sagu dan berbagai kebutuhan lainnya.
Selain Suku Mentawai dari fam Sirisurak, di kampung ini juga terdapat fam Saririka. Mereka hidup bersama dari zaman baheula, diikat tali persaudaraan semesta rimba. Sedangkan kelompok fam lainnya tersebar hampir di seluruh perut Siberut. Suku-suku ini sejak awal hidup dari mencari ikan, berburu, meramu dan memanen sagu, selain menanam pinang, menjual kopra dan mencari rotan di hutan.  Mereka juga sama-sama memelihara babi yang dilepas bebas, tak jauh dari pemukiman.
Meski dilepas, selama kami di Kampung ini, babi-babi tersebut jarang menampakan diri, kecuali saat dipanggil tuannya untuk makan dengan cara memukul kentongan bambu.  Kentongan yang sama juga akan dipukul untuk memanggil babi-babi tadi ketika akan ditangkap dan disembelih guna keperluan upacara adat atau pesta nikah.
Adinda tercinta, adinda terkasih. Aku tahu engkau tak mungkin suka memelihara babi.  Padahal menurutku anak-anak babi yang kotor dan berlumpur itu tampak lucu ketika berjalan sambil menggeleng-gelengkan kepala di dalam hujan rintik. Seperti juga orang-orang melanesia di Papua, seperti juga suku Boti di Timor Tengah Selatan, suku-suku tertua di Kalimantan dan Sumatera, hidup dan kebudayaan orang Mentawai juga tak dapat dipisahkan dari babi.
Tapi itulah yang kutemukan di sini, adinda. Saat kunjungaku bersama 4 wartawan nasional yang ogah menyerah meski lelah dan menggigil karena harus masuk ke perut Siberut, kepulauan Mentawai yang terdalam dan nyaris tak dipedulikan oleh negara.
Kamu tahu sayang, betapa ingin aku menjemput dan membawamu ke sini sekarang, dan bukan hanya duduk menulis surat. Aku ingin mengajakmu berpetualang mencari ulat sagu, makan kapurun,11) gulai ayam kampung atau sup daging burung ngorun12) yang lezat.
Akan kupinjam perahu untukmu dari orang kampung. Atau kita naik pompong13) ke hulu, menyusuri tepian sungai Terekan yang penuh sesak oleh akar menjuntai, rimbunan totonan,14) dan rumpun bambu yang bercampur pakis pantai. Semakin ke hulu, semakin banyak babaen,15) popou-pou,16) pukpuk17) dan pokok sagu. Sayang bisa melihat biawak menyembulkan kepala dari balik semak-semak, atau burung murai yang bertengger di atas pohon.
Menurut warga Gorottai, 10 tahun lalu Sungai Terekan tak lebih dari 15 meter lebarnya.  Tapi sekarang sungai tersebut semakin tahun semakin melebar dan bertambah dangkal saja.  Kiri-kanan sungai erosi, longsor dan amblas akibat terjangan banjir dari hulu, sejak hutannya dibabat oleh perusahaan kayu. Karenanya sayang, jangan heran jika engkau temukan ada pohon kelapa tumbuh di tengah-tengah sungai yang lebarnya kini sudah mencapai 25 meter itu.
Adinda sayang, tersayang dan paling kusayang. Dalam dingin malam, aku sangat merindukan saat-saat menggenggam erat tanganmu. Di kursi kayu ini, kupejamkan mata sekadar mengingat sebuah rasa, betapa bahagianya jika dirimu ada di sampingku.
Kita akan berjalan menyusuri hutan, melewati rawa-rawa, melangkah gagah di lumpur tebal yang menyembunyikan duri-duri di dalamnya. Tak mengapa, walau titian licin saat melewati kebun durian yang batangnya empat kali lipat lebih besar dari pokok kelapa raksasa. Aku akan menggendongmu bila perlu agar tak terluka.
Aku juga membayangkanmu berjingkat-jingkat seperti anak rusa di semak-semak bersama ibu-ibu yang setiap sore mencari ulat sagu untuk makan malam bersama. Jika dirimu sungguh hadir disini, tentu perjalanan sengsara dari Kampung Gorottai lama ke Gorottai Baru18) juga tak akan terasa begitu berat dan menyiksa.
Betapa bahagianya jika aku bisa berpetualang bersamamu sayang, sembari bercakap-cakap tentang hutan dan masa depan kita. Berbincang-bincang tentang kepak galak kailaba,19) tentang sepotong senja, kunang-kunang dan cinta. Tapi kasih sayang macam apakah yang layak kita bicarakan di tengah-tengah hutan Mentawai yang tak henti-hentinya diincar para penipu, spekulan dan pengusaha?20)
Ohya, disini mereka masih hidup tanpa listrik Adinda, tanpa signal internet atau pun parabola. Jika malam tiba—entah bahagiakah atau terpaksa—mereka menyalakan lampu minyak yang terbuat dari kaleng susu atau kaleng bekas minuman soda.
Sumbunya terbuat dari kain, berbahan bakar minyak solar yang mengepulkan asap hitam dan bisa membuat sawang lubang hidung kita. Hanya sekali-sekala saja keluarga Goiran menyalakan genzet untuk penerangan rumah mereka. Terutama jika ada pesta adat atau tamu yang datang dari luar kampung mereka. Sebab harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Gorottai bisa sampai Rp20.000 per liter, bayangkan saja!
Lukas dan Marianti—suami isteri yang rumahnya jadi tempat rombongan kami menginap—menggunakan lampu semprong untuk penerangan di rumahnya. Ini sedikit lebih baik ketimbang lampu yang terbuat dari kaleng bekas cocacola.  Dengan lampu ini Theresia Ratna dan Klara Marselina, kedua putri keluarga Marianti yang masih duduk di Sekolah Dasar (SD) bisa belajar setiap malam. Temaram cahaya lampu ini juga kemudian membantu para wartawan membuat liputan tentang keseharian murid-murid di Sekolah Uma.21) 
Ohya sayang, selama menginap di keluarga yang sederhana ini, kami dilayani layaknya anggota keluarga. Marianti adalah kader kesehatan yang membantu Yayasan Citra Mandiri Mentawai (CYMM)22) di Gorottai. Dia memahami berbagai jenis tanaman untuk dijadikan obat-obatan,  demikian juga Lukas, suaminya. Marianti selalu menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan tanpa membedakan ras, agama, suku dan bangsa. Suatu hari dia menunjukan kepadaku beberapa jenis tanaman obat yang tumbuh dekat rumah mereka, berikut kegunaan dan khasiatnya.
Hampir semua warga disini memiliki pengetahuan tentang obat-obatan yang berasal dari hutan, seakan-akan mereka pernah menjadi tabib junior sebelumnya.  Kalau saja engkau di sini sayang, pasti dirimu bisa belajar dari Marianti tentang obat-obatan, daun-daun magis dan ramuan Mentawai yang tak kalah hebat dari ramu-ramuan atau jamu dari Jawa.
Sebelum kami pulang, aku melihat bagaimana Marianti dan Lukas beraksi menolong wartawan Tribun News (Abdul Qodir alias Acos) yang kedua kakinya terserang gatal dan bercak-bercak merah menyala. 
Menurut Lukas itu bukan jenis penyakit medis, bukan pula penyakit gaib yang terlalu berbahaya. Tapi kulihat, itu barang cukup membuat sang wartawan sengsara menahan rasa gatal yang menggila.
Kepada kami Marianti bilang kalau Acos terkena penyakit Beura.23) Lukas meminta istrinya bergegas mengambil daun sigujuk simabo dan sigujuk simabulau24) ke halaman belakang rumah tetangga. Karena daun di belakang rumah mereka tersebut sudah habis dipetik beberapa hari sebelumnya.
Aku menguntit Marianti dari belakang sambil menyalakan kamera. Aku merekamnya sambil wawancara. Marianti memetik daun yang berwarna hijau dah merah, lantas bergegas pulang dan menyerahkan daun itu kepada suaminya. Lukas mencampur dan memanaskan daun itu di tungku perapian hingga lembar daun menjadi lembut dan layu.  Dalam keadaan panas-panas ramuan itu ditempelkan dan digosok-gosokan Lukas ke betis dan paha Acos. Wartawan Tiribune News itu pun menyeringai, meringis tak karu-karuan ekspresinya.

“Ini pasti gara-gara Acos sering buang angin sembarangan dan mengentuti kita,” canda Sapto Andika Candra, wartawan Republika.

“Hantu-hantunya tersinggung serta membalasnya dengan beura ,” selorohku sambil tertawa. 

Acos hanya cengegesan mendengar gurauan kami, tanpa komentar apa-apa.

Nah, setelah ditempali dan digosok dengan daun panas itu, rasa gatal Acos mulai mereda. Bintik-bintik merah pun berangsur-angsur menghilang, meski tetap ada bekasnya.

Tapi rasa lega itu tak bertahan lama, karena perawatan tak diteruskan lagi oleh Acos. Sebab siangnya kami sudah kembali ke Sikabaluan, ibukota kecamatan dan Acos lupa membawa itu ramuan. Malamnya Acos gatal lagi, garuk-garuk lagi dan kembali tersiksa.

Padahal malam-malam sebelumnya kami semua begitu gembira, tak terkecuali Acos. Di malam perpisahan dengan warga Gorootai, Goiran mengajari kami tarian kerei yang disebut turuk bilou.25)  
Dia mengenakan sebagian kostum kebesaran Sikerinya. Mulai dari laka,26) sabok27), luan28)  tanpa rumbai-rumbai bulu burung, tapi tetap lengkap dengan pamegak.29) Dia juga mengenakan tundak30) berwarna menyala di lehernya. Aku membayangkan, bagaimanakah rupa para sikerei Sakuddei yang dijumpai Rimar Schefold di tahun 60-an silam. Tentu pakaian dan pernak-pernik yang mereka pakai lebih meriah lagi.
Goiran bergerak mengelilingi ruangan ditingkahi suara gendang dari kulit ular yang dipukul berirama. Dia berputar-putar sambil menghentakan kaki yang melahirkan suara ritmis dan menegakan bulu roma.
Hmm, tapi mengapa hanya Acos yang terkena beura?
***
Adinda terkasih, yang kucinta dan kurindu. Aku teringat, betapa berat hatiku meninggalkan Gorottai enam bulan yang silam. Seperti aku selalu merindukanmu, begitu pula aku merindukan gemericik hujan dan akar-akar yang menjuntai sepanjang jalan setapak menuju pangkalan perahu. Seringkali aku termanggu, mengingat waktu yang terasa begitu cepat berlalu di Gorottai.

Tapi biarlah Adinda, setidaknya kini aku sudah merasa lega setelah mengetahui perkembangan terakhir yang terjadi disana. Pemukiman Gorottai Baru kini telah resmi dibuka. Seluruh warganya telah pindah ke wilayah itu. Jaraknya pun hanya sepeminum teh saja dari pangkalan perahu.

Aku gembira, karena Pemerintah Daerah Mentawai akhirnya menepati janji, Adinda.  Dari APBD Kabupaten, warga mendapat bantuan pembangunan rumah di kampung baru mereka, walau pun hanya separuh saja.

Kini anak-anak juga sudah bisa sekolah, bahkan ketika musim hujan tiba pun tetap bersekolah, tanpa harus kuatir lagi rumah mereka ikut hanyut diseret banjir seperti tahun-tahun sebelumnya.

Sebelum kututup surat ini Adinda, aku ingin sampaikan satu lagi kabar gembira. Yaitu Barnabas Sareijen—yang terpilih kedua kalinya menjadi Kepala Desa Malancan—kini sudah melunak hatinya.
Dia akhirnya mau datang ke Gorottai, lantas menunjuk Ukra sebagai Dusun induk untuk kampung itu bernaung.

Tak hanya itu saja sayang, Barnabas juga memberikan bantuan, yaitu mengucurkan dana desa untuk membangun kampung bernama Gorottai yang pernah ia coret tersebut. Belakangan tersiar kabar ia mengundurkan diri dari jabatan kepala desa dengan alasan yang tak kuketahui.  Jalimin Saleleo, pengantinya melanjutkan perhatian Barnabas pada warga Gorootai.

“Jalimin bahkan sudah ke kota kabupaten, mengurus agar warga Gorottai mendapatkan PLTS31),” kata Reza Tasil, Project manager Program Peduli YCMM.

Adinda tersayang, yang tetap kusayang dan masih. Dari photo kiriman Reza Tasil, aku melihat asap dapur mengepul dari bumbung-bumbung rumah, bercampur sisa embun pagi yang masih basah di Gorottai (Baru). Tentu saja jika kita disana Adinda, akan kau dengar juga nyanyian burung dan pekik tupai, yang melenting dari ranting ke ranting mencari buah.


Gorotai-Jakarta, Agustus 2018


_____________

[1] Bagian depan rumah adat suku Mentawai yang terbuka mirip beranda. Uma selain berarti rumah adat juga bisa berarti suku

[2] Salah satu fam atau kelompok Suku Mentawai yang dominan di Siberut Utara

[3] Hantu berambut panjang jarang-jarang yang dipercayai warga Mentawai sebagai penunggu sungai

[4] Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan merupakan salah satu mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang digunakan PNPM Mandiri dalam upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan.  Program ini dikukuhkan secara resmi oleh Presiden RI pada 30 April 2007 di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

[5] Penelitian Ady Rosa berjudul ‘Fungsi dan Makna Tato Mentawai’ (2000) menyimpulkan, ada tiga fungsi tato bagi orang Mentawai. Dia juga menemukan sekitar 160 motif tato yang ada di Siberut.

[6] Sebuah kata plesetan orang Mentawai tahun 1960-an yang berasal dari kata dalam Bahasa Indonesia “Kebersihan”. Kata tersebut terkadang digunakan untuk menyebut pemukiman yang dibangun pemerintah Indonesia untuk memindah-mukimkan secara paksa orang Mentawai.

[7] Pada masa itu kepercayaan orang Mentawai, budaya tato, menajamkan gigi, berambut gondrong. menggunakan hiasan adat di kepala dan tinggal di Uma (rumah adat Mentawai) dilarang pemerintah Indonesia. Kisah selengkapnya bisa dibaca dalam buku Reimar Schefold (guru besar Antropologi Budaya Indonesia di Unievrsitas Leiden, Belanda) yang berjudul Aku dan orang Sakuddei. 

[8] Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo mengatakan jumlah korban dari peristiwa penembakan misterius tahun 1982 sampai 1985 mencapai 10 ribu orang. (https://nasional.tempo.co/read/420361/pengakuan-kentus-target-petrus-yang-selamat)

[9]  Kirei adalah semacam dukun sekaligus tabib orang Mentawai yang dipercaya dapat berhubungan dengan roh-roh dalam menjalankan proses pengobatan.

[10]  Nama sejenis rotan (calamus manan) yang banyak tumbuh di hutan Mentawai

[11]  Makanan dari tepung sagu dan kelapa yang dibungkus dengan daun sagu dan dipanggang di atas bara api.

[12]  Burung endemic di Kepulauan Mentawai, jenis burung Punai (green pigeon) dari keluarga family Columbidae.

[13] Jenis perahu panjang yang menjadi transportasi utama sungai-sungai di Mentawai, biasanya digerakan dengan mesin bermotor dibuntutnya.

[14]  Kecombrang (Etlingera elatior)

[15] Jenis pohon rambutan hutan dari suku lerak-lerakan atau Sapindaceae

[16] Rumpun berbuku-buku mirif tebu berukuran kecil yang banyak tumbuh di sepanjang sungai pedalaman Mentawai

[17] Pisang hutan berukuran kecil, kokoh yang manis rasanya yang banyak tumbuh di hutan-hutan kepulauan Mentawai.

[18] Tempat relokasi pemukiman warga Gorottai yang baru. Secara administratif berada di wilayah dusun Ukra, Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utra, Kabupaten Mentawai

[19]  Burung rangkong atau hornbill (B. rhinoceros) yang endemic di sepanjang pulau borneo dan Sumatera. Burung ini jenis burung yang setia hanya pada satu pasangan, dan baru berganti pasangan saat salah satunya mati.

[20] Bahkan pada tahun 1974 stasiun televise Ingris, Granada  pernah melakukan pengambilan gambar untuk film dokumenter tentang masyarakat Mentawai yang  terancam oleh kegiatan penebangan kayu untuk kepentingan komersial.

[21] Sekolah SD komunitas yang dibangun oleh warga Gorottai bekerjasama dengan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (CYMM) untuk membantu pendidikan di kampung tersebut pada tahun 2015. Uma sendiri bisa mengandung makna suku, atau dalam aspek tertentu bisa bermakna rumah adat khas Mentawai.

[22] Lembaga yang melaksanakan program inklusi sosial di Kabupaten Mentawai. Program ini didanai oleh Kemitraan (Partnership for Governance Reform) lewat Program Pedul di bawah EO The Asia Foundation 2014-2018 dan koordinasi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia.

[23] Jika dierjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti terkena bau/aroma hantu atau roh jahat. Secara kasat mata gejalanya seperti penyakit gatal-gatal dengan bitnik-bintik merah terang di kulit, kepercayaan orang metanwai kalau tak diobati segera akan menjangkit ke sekujur badan. 

[24] Tetumbuhan jenis umbi-umbian family Lengkuas (Alpinia galanga). Daun sigujuk simabo dan sigujuk simabulau ini biasa digunakan Sikerei dalam melakukan praktik pengobatan yang berkaitan dengan roh-roh, salah satunya untuk mengobati orang yang terkena penyakit Beura. 

[25] Tarian Sikerei yang menggambarkan monyet yang mandi cahaya matahari terbit

[26] Bagian terpenting dari kostum Sikerei berupa kain merah panjang yang dibelitkan di pinggangnya menyerupai sabuk

[27] Kain penutup depan Sikerei bagian pinggang ke bawah yang dianggap paling sakral

[28] Ikat kepala berwarna putih, bergaris-garis horizontal merah, hitam selang-seling dengan kombinasi garis yang lebih kecil vertical berwarna kuning hitam dengan asesoris rumbai-rumbai bulu burung di atasnya.

[29] Botol kecil berisi ramuan yang selalu diikatkan di belakang luan, berfungsi untuk menyadarkan sikerei dari kesurupan dengan cara diciumkan di hidungnya.

[30] Kalung beberapa lingkaran berberwarna merah menyala yang dikenakan Sikerei. 

[31] Singkatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya

2 Comments

Thank you*

  1. Membaca cerita ini, ingatanku melayang ke Dusun Rogdok. 21 tahun silam aku mengunjungi Bapak Selester, Kepala Desa Madobak. "Oningku Joko, aku sibara ka Jakarta", ucapku kala itu.

    ReplyDelete
  2. Wah... ternyata Mas Joko Waluyo sudah melanglang buana sampai ke pelosok Mentawai. Mentawai memang selalu memberi sebuah perasaan yang tak bisa kita dapatkan dimana pun di dunia... karena itu Rimar Schefold jatuh cinta pada Mentawai....

    ReplyDelete

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more