Jelai yang menjadi alat tukar purba by Kai Pilger |
Aku terkejut dari tidur, dan langsung menatap ke pintu
Kupikir dirimu berdiri
menjelma di sana
Tetapi ternyata bahkan chat atau SMS pun tiada
Aku pun sadar bahwa aku menanti sesuatu yang sia-sia
Di luar hujan sederas peluru
Dua batang pohon jati di halaman basah dan terguncang
Kukira dirimulah yang berteduh di situ
tetapi bahkan percakapan pun semakin jarang,
tersadarlah aku bahwa rindu yang kutanggung untukmu selama
ini sia-sia
Terlanjur kuberikan hatiku kepadamu
Beribu-ribu cawan perasaan sudah kutuang
sajak yang menggelegak dari sumur-sumur jiwaku
Dan kau siuman, tertawa meneguk bertahun-tahun lamanya
Tapi seakan-akan kau phobia tak merasa
Maka tersadarlah aku, cinta yang kuberikan kepadamu
adalah kesia-siaan
Kugenggam selendang bambu,
berkubik-kubik air mata kutuang di situ
berharap dengan demikian derita dan bisa ikut terhanyut
lalu aku akan tabah menerima luka
Tapi ternyata apa gunanya setia dan menangis
kalau kau tak peduli dan merasa, maka sia-sialah derita
Kulayari laut
Semua pelabuhan telah kulupakan selain gelombang
hanya engkaulah pulau tujuan. Dan kukira dirimu
menungguku di sana
membentangan tangan, akan memelukku dengan rindu
Tapi ternyata kamu hanyalah sila2)
yang bahkan tak memahami kesetiaan seorang budak
Maka musnahlah harapan, dan sia-sialah cinta
Terbanglah serombongan kunang-kunang malam itu
mengeluarkan aku dari kepungan cahaya
Kulihat engkau ada di ujung jalan
Bergegas memasang sayap untuk pergi
Dan tersadarlah aku, bahwa cinta adalah sistem
kepercayaan yang sia-sia
Kasih sayang paling tahi kucing sedunia.
Kalibata, 18 November 2018