cover buku design by Renee book |
by Alexander Mering
Pergantian kepemimpinan era Soekarno ke Soeharto tidak
hanya menyisakan sejarah kelam Indonesia tetapi juga mengubah 180 derajat
paradigma pembangunan yang terjadi di Indonesia. Soekarno dengan Permesta
(Perencanaan Pembangunan Semesta) yang membangun dari demokrasi terpimpin
dengan mengutamakan pada jiwa bangsa yang merdeka dan mandiri sebagai suatu
bangsa. Di era Soeharto semua diubah dengan paradigma pembangunan yang
mengedepankan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Paradigma ini
mengabaikan jiwa manusia Indonesia yang merdeka kembali pada mental
ketergantungan pada negara-negara maju (pemenang perang dunia ke-II).
Pada era tersebut dimulailah babak rekontruksi sosial
dimana perbedaan, kekayaan tradisional kita bahkan kearifan lokal nusantara
nyaris tidak diberi tempat dan bahkan disingkirkan atas nama pembangunan (teori
W.W Rostow1))
yang dijalankan oleh regim pada saat itu. Pembangunan sosial, politik, ekonomi,
dan budaya Indonesia dirancang mengikuti kriteria Barat modern, yaitu bahwa
kesuksesan ekonomi diciptakan mengikuti pemikiran kapitalisme. Paradigma
ini ternyata berdampak sangat parah terhadap kondisi bangsa Indonesia dimana
sentralisasi pembangunan tidak menumbuhkembangkan nilai-nilai tradisonal
sebagai pengetahuan dan kekayaan intelektual bangsa ini, melainkan membunuh apa
yang menjadi ciri khas kepribadian bangsa Indonesia.
Di era itu pula penghancuran identitas kultural—termasuk
Masyarakat Adat, hak-hak tradisionalnya dan basis-basis sumber daya
alam—dilakukan secara terstruktur dan masif oleh negara atas nama pembangunan
tadi. Padahal sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia lahir justru di
atas alas budaya, agama, suku, dan nilai-nilai adat-istiadat yang berbeda-beda.
Sebagaimana semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang negara kita,
Garuda Pancasila, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Pengalaman dari penerapan teori pertumbuhan ekonomi yang
berharap adanya trickle down effect,2) tidak
serta-merta dapat memperbaiki taraf hidup seluruh rakyat Indonesia. Emil
Salim yang juga merupakan salah seorang arsitek ekonomi Orde Baru mengakui
bahwa pembangunan Indonesia selama 30 tahun terakhir sama sekali tidak menuju
kepada pembangunan yang berkelanjutan. Melainkan bergantung pada ekstraksi dan
ekploitasi Sumber Daya Alam (SDA),3) yang
keberhasilannya pun hanya dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi dan
meningkatnya investasi asing. Sementara dampak yang ditimbulkannya,
seperti kerusakan lingkungan, masyarakat di sekitar lokasi ekstrasi dan
eksploitasi SDA yang tereksklusi yang menjadi korban, sama sekali tak
diperhatikan.
Karenanya tentu tidak mudah memperbaiki keadaan yang
sudah terlanjur. Dan kehadiran Program Peduli yang diinisiasi oleh Pemerintah
Indonesia bersama organisasi masyarakat sipil beberapa tahun silam merupakan
satu upaya untuk menjangkau setiap warga negara yang tadinya mengalami
peminggiran, yang menjadi korban pembangunan dan lemah posisinya secara sosial,
ekonomi, politik dan budaya tadi. Baik yang karena perbedaan ras, agama, etnik,
kelas sosial, posisi geografis, maupun karena mereka masih menjalankan adat
istiadat warisan nenek moyangnya. Salah satunya adalah kelompok masyarakat adat
lokal dan terpencil yang masih bergantung pada SDA5).
Program Peduli dirancang khusus untuk membantu kelompok
yang tereksklusi tadi. Yaitu sebagai upaya agar tidak ada ada yang tertinggal,
dan memastikan terjadinya inklusi sosial bagi kelompok marginal dan terabaikan.
Sehingga mereka pun bisa mendapatkan hak-haknya sebagaimana warga negara
lainnya, khususnya pada akses layanan dasar (termasuk bantuan sosial),
pemberdayaan dan penerimaan sosial serta turut mendorong kebijakan yang
inklusif.
Inklusi sosial disini dapat diartikan sebagai sebuah
proses membangun hubungan sosial dan menghormati individu serta komunitas,
sehingga mereka yang termarginalkan dan mengalami prasangka dapat
berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial,
politik, budaya, serta memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber
daya (untuk memenuhi kebutuhan dasar) dalam rangka menikmati standar
kesejahteraan yang dianggap layak di dalam kelompok masyarakat yang
bersangkutan.5)
Dalam kerangka besar itulah Program Peduli yang
dilaksanakan Kemitraan/Partnership Governace Reform sejak tahun 2014 dengan
bekerjasama 14 CSO lokal di 13 Provinsi dan 21 Kabupaten/kota di
Indonesia—berupaya mendorong terjadinya inklusi sosial di dalam semua wilayah
program kerjanya.
Dalam pelaksanaan program tersebut, tak cuma data dan
angka yang berseleweran dalam keseharian dan kehidupan para pelaku program ini,
tetapi juga beraneka ragam kisah dan cerita turut merwarnai. Mulai dari cerita
fasilitator lapangan yang horor, yang membuat terpingkal-pingkal sampai kisah
yang membuat berlinangan air mata. Termasuk kisah inspiratif dari orang-orang
kecil yang tentu tak pernah diperhitungkan di negeri bernama Indonesia.
Karena itu cerita dalam buku ini mencoba merekam jejak
mereka, yaitu para pelaku inklusi sosial, para kader, champion lokal, dan
orang-orang marginal yang selama ini tereksklusi dan tersingkirkan oleh proses
pembangunan tadi.
“Jika kau melihat bintang-bintang di malam hari, itulah
mereka. Terlihat tidak bergerak, tetapi itu hanya di matamu. Sejatinya mereka
sedang beraktivitas. Bintang-bintang di Boti, baik yang berkonde maupun yang
tidak, sama-sama berjuang menerangi kampung dengan sinarnya yang redup...,”
tulis Denimars Sailana dari Yayasan Tanpa Batas ketika berkisah tentang Suku
Adat Boti yang hidup di dekat perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Timor
Leste.
Orang-orang yang diceritakan dalam buku ini tak ubahnya
bintang kecil yang timbul tenggelam di cakrawala malam tanpa ada yang
menghiraukannya. Mereka adalah orang-orang yang sepi dari apresiasi dan
publikasi. Media-media nasional terlalu disibukan oleh antrian iklan dan berita
politik, sementara sosial media lebih banyak mem-posting hoaks, khutbah-khutbah
dan sumpah-serapah dari pada kisah-kisah kemanusian.
Maka kehadiran buku yang berisi 23 cerita ini adalah
sebuah ikhtiar kami dalam menghadirkan kisah-kisah manusia yang selama ini
luput dari perbincangan para politikus ibu kota, para pelaku media dan gosip di
kafe-kafe Jakarta. Cerita ini berasal dari 15 pelosok
desa/kelurahan di 10 provinsi, dan ditulis oleh 9 pelaku Program
Peduli-Kemitraan.
Jakarta, Desember 2018
1) Lihat teori pertumbuhan five-stage
scheme, dimana Rostow menyatakan kemajuan ekonomi
akan terjadi bila masyarakat tradisional beralih ke kapitalisme modern.
2) Pemerintah percaya apabila terjadi
akumulasi kapital di kalangan kelas atas atau pusat, maka orang-orang di bawah akan “kecipratan”
kekayaan ini, misalnya penyerapan tenaga
kerja.
3) Lihat kata pengantar Email Salim untuk buku The
Politics and Economics of Indonesia Natural Resources (Resosudarmo,et all ;
2005). Bandingkan juga dengan hasil studi Studi
AKATIGA (2010) mengenai PNPM Perdesaan yang menyajikan gambaran
investasi pembangunan yang menghasilkan manfaat yang tidak adil dan merata.
4) Menjadi Judul Program yang dijalankan oleh Kemitraan,
sebagai salah satu pilar dari Program Peduli.
5) Inklusi
Sosial, Sebuah
Pemikiran Awal dari Pengalaman
Peduli, Bambang Ertanto Cahyo Dewa, 2017.
Untuk membaca seluruh isi buku ini, silahkan download di link berikut ini.
Untuk membaca seluruh isi buku ini, silahkan download di link berikut ini.
Mantap.. 👍👏🙏
ReplyDelete