1999
Sekali lagi terdengar olehku kau menyanyikan
lagu tua itu pada sebuah mikrofon rusak
disalah satu bangkai panggung pementasan
setahun yang lalu, ya. Setelah semuanya usai
kau tulis menjadi kenangan:
happy-happy New Year Baby!
Korek, 1 Januari 1999
MEMO CLANDESTIN DALAM SURAT
Wajah itu hanyalah bayang-bayang kabur
yang terlalu sering melintas bagai hantu-hantu
yang begitu pucat, dingin tanpa asal dan
alamat yang dituju.
Sintang, 6 Januari 1999
DURASI DOA
Bapa,
Seperti pagi yang telah menjadi santri bagi-mu
dalam kukuk ayam serta pelepah nangka
yang gelisah ingin mengucapkan salam;
“Selamat Pagi Bapa”,
seperti juga setiap pagi kuhidangkan sarapan
bagimu dalam doaku “Bapa Kami”, Amin.
Lundang, 12 Januari 1999
PONTIANAK
Hanya saja kota ini terlalu sepi
saat-saat aku melintas, ingin mengatakan cinta
atau tugu paralon yang masih saja lumpuh
oleh tatapan kita, bagai sejarah yang indah
yang memaksaku untuk kembali mengenangmu
hanya saja kota ini telah menjadi sepi
menjadi kubur dan sajak,
menjadi kenang-kenangan terakhir sebelum pergi.
Lundang, 14 Januari 1999
15 JANUARI DIBAWAH POHON KARET MATI
Yang pulang pun telah menjadi bayang-bayang
bagi yang pergi.
Lundang, 15 Januari 1999
INMEMORIAM LAKI-LAKI PERBATASAN
Batu-batu yang pernah kau pakukan didinding dada lelaki itu telah meleleh menjadi air putih bening, mengalir, mericik menuruni ngarai-ngarai bathinnya yang sepi,
kepada sebuah telaga yang selalu meluap oleh kasih sayang damai
yang terhampar indah direlung doa lelaki perbatasan
yang mengetuk-ngetuk kembali
pintu cinta itu untuk kembali.
Baning, 13 Agustus 1999
RINGAS INDUK
Disini,
kami memang merasa lebih dekat dengan matahari,
dan kami tidak boleh mencaplok angan-angan terlalu
banyak, demikianlah kami_mencoba mengenang engkau
dengan satu saja pikiran:_dengan atau pun tanpa
engkau, kami pasti mati.
Lobang hitam puncak ringas induk, 28 Januari 1999
MAAFKANLAH AKU, KALAU AKU JUGA CLANDESTIN ITU
Aku yang menjadi kaku,
berdarah-darah bersama-Mu,
sajak-sajak bisu dalam lubang pahatan tangan-Mu,
aku menjadi kelu, lelah bersama cinta,
kerinduan dan doa panjang
seorang lelaki bernama Wisnu.
Bernayau 1, 1 Pebruari 1999
MALAM SEBELUM AKU DILAHIRKAN MENJADI PERKARA
Apa yang ingin dikatakan kepada kenangan,
kepada serombongan fikiran yang tiba-tiba lewat
dalam gua.
Kecuali kata maaf serta ucapan selamat tinggal
yang abadi.
Lubang baru ringas induk, 4 Pebruari 1999
WISNU 26 th
Barangkali juga engkau ingin mengatakan
selamat pagi disini. Juga memberi ucapan
selamat ulang tahun untuk seorang lelaki
yang begitu lelah, begitu kelu dari sejarah ke sejarah
yang telah membawanya kembali, terbanting dalam
tabung takdir dan waktu yang tak pernah benar-benar
terkejar, berlari.
Barangkali juga tidak seperti
yang tengah aku pikirkan tentang engkau
di atas ketinggian bumi ini,_dimana aku pernah
merasa lebih dekat matahari.
Selamat pagi Tuhan, 26 tahun aku menanti
dengan cemas dan gelisah yang hampir abadi.
Selamat pagi Jesus, selamat pagi.
Puncak ringas induk, 5 Pebruari 1999
KECUALI “0” minus
Kecuali kalau dada itu cuma kereta
yang meluncur cepat, dingin kaku dan
tanpa aba-aba.
menukik tajam bagai panah ke lambung--rahim sejarah yang berdarah-darah,
menyerah ke dalam perhentian cinta, takdir, dan
air mata abadi.
kecuali kalau dada itu cuma kertas putih
kosong dan sepenggal sajak tentang
cinta, takdir dan air mata abadi
Baning 6 Pebruari 1999
Ex-LAGU BARU
Sikat gigi, terbang tinggi
naik turun diatas awan,
mari-mari bunuh diri
nyanyikan lagu di pemakaman.
Pontianak(P. Kapuas Besar), 9 Pebruari 1999
ANATOMI PERKAWINAN WISNU
Kekasihku,
kupinjam hatimu, tanganmu, mata
dan seluruh tubuhmu untuk mengatakan rindu,
kupinjam juga sayap ruhmu
untuk membawa semua cinta kepada
dada yang abadi.
Korek, 14 Pebruari 1999
DURASI DOA 2X24 JAM X2
Bapa di surga,
sungguh pada hari ini, Engkau telah
membabtis kami dengan ruh abadi,
dan air mata kami sendiri
Korek, 15 Pebruari 1999
DURASI PERPANJANGAN WAKTU MEMINJAM DARI TUHANMU
Hanya cinta, ya sungguh barangkali hanya cinta
yang akan mampu membuat engkau dapat melihat,
merasakan dan mensyukuri semua dengan semua
akan kerinduan semua.
Pontianak, 28 Pebruari 1999
ORATOR CLANDESTIN
Hari-hari yang melesat dengan deras di keningmu,
mengingatkan aku bahwa masih ada dunia yang belum
terjamah disini, dunia yang begitu dekat dengan kita
menyongsong separoh dari cerita dan usia yang entah
pergi kemana.
Hari-hari mengalir, dingin menjadi fosil batu
yang barangkali kita rindukan, itu.
dan ia sudah mengirim bebrapa pucuk surat penuh catatan.
Tercetak tebal dalam sejarah yang pernah kita jelajah
dalam sisa purnama.
Berkubung, 10 Maret 1999
DOA CLANDESTIN MODERN
Tuhan, terpaksa aku melubungai bumi-Mu,
Memahat impian dalam gelap,
membelah setiap keping persoalan dalam gua-gua buatan,
Mencipta lorong cita-cita yang dalam dan disini pun
Aku masih mencoba mencintai-Mu
Berkubung, 17 Maret 1999
BUKANKAH GERIMIS SELALU BEGITU?
Akur rindu, Lidia
Meliris gerimis sore ini menjadi dawai doa
Dan nyanyian, menjadi sajak yang sempurna untukmu.
Aku rindu, Lidia sungguh.
Aku ingin meniti alur-alur biru yang basah dalam perkawinanku
menua sulur-sulur cinta yang kekal di dadamu
Dalam hening gerimis yang sunyi sendu
Bernayau, 19 Maret 1999
DILARANG PARKIR DI ATAS AWAN
Adalakah yang masih engkau sembunyikan disini
Dalam keping-keping hening batu hitam ziarah kepada kemusnahan dan dukamu
Dari akar-akar yang terbantun penuh penyesalan, berlari menjadi impian dan cerita.
Aku juga mencoba membayangkan sisa kepurbaan yang terjamah oleh angan-angan dan persoalan dalam bising dan kertak kepala pahat yang menyayat-nyayat dalam gua sampai sekarang.
Ringas Induk, 22 Maret 1999
SERAMBI AMPAR KEDANG KOSONG
Bulan sepertiga, berdarah-darah ingin mengatakan
Cinta, memahatkan khyalan-khayalan kecil
Pada sebuah serambi pertemuan, sajak tentang
Tuhan dan air mata
Ampar Kedang, 24 Maret 1999
DILARANG PARKIR DEKAT MATAHARI
Hamparan dunia telah mencegahku untuk pergi kemana-mana, menahan beratus-ratus keinginan yang berebut keluar dari liang persembunyian di sana,
Dekat sebuah ingatan dan kesadaran akan sebuah sejarah yang begitu indah dan juga tua
Terpasung di dalam beratus-ratus prasangka kecil akan tuhan
Dan derita yang meluncur begitu deras bersama waktu ke dalam sebuah pusaran
Abadi menuju kesuatu tempat yang entah dimana
Bernayau, 25 Maret 1999
OPEL 12 KILO: Clandestin
Barangkali itulah sebabnmya
Mereka selalu berlomba-lomba mencari gua,
Mengebor bumi, mencari matahari yang lain lagi
Berkali-kali itulah sebabnya mereka selalu terbiasa
Terbang, menerobos begitu banyak lamunan
Mereka kepada dinding-dinding batu disitu,
Menerobos semakin jauh ke pusat angan-angan mereka,
Mencari tuhan yang lain,_barangkali itulah sebabnya mereka terbiasa berdoa dengan mata pahat, dengan tungkai palu yang setiap saat selalu siap mencetak surga,_begitu banyak sajak duka, dan barangkali itulah sebabnya
Air mata itu abadi......
Semadak, 6 April 1999
Anatomi Angin Pegunungan Persi I
Kadang-kadang pun hanya angin yang menerobos menemaniku ke dalam hening lubang batu yang bersuit-suit panjang bagai nyanyian
Sajak terpanjang yang berkisah tentang jejak cahaya, sebuah harapan untuk segera pulang dan bercerita,
Air mata Lidia, air mata Lidia, air mata
Ringas Induk, 17 April 1999
Anatomi Angin Pegunungan Persi II
Tetapi dari mana angin datang
Dan kemana ia pergi
Yang menyebabkan pohon-pohon tumbang
Membunuh orang-orang yang kami cintai
Muran Susur, 18 April 1999
Anastomi Angin Pegunungan Persi III
Angin pegunungan bagai panah,_melesat ke setiap arah,_ dalam kabut yang membalut wajah kami dari luka dan cinta
Meski kami sudah rebah di atas tanah ini:
Sunyi
Berkubung, 19 April 1999
Anatomi Angin Pegunungan Persi IV
Kadang-kadang angin pun berunding ingin menghempaskan pohon-pohon,
Ingin mengguncang puncak-puncak gunung
Yang pernah menghianati persahabatan mereka
Kadang-kadang terfikirkan bahwa itu pun sia-sia, mereka sudah terlalu lama bersama
Dalam sajak dan nyanyian
__puisi abadi dalam damai serambi pertemuan bumi__kampung halaman
Ringgas, 25 April 1999
Anatomi Ayah Indonesia Pasca Revolusi
Ayah pernah menjajah sekumpulan anak-anak muda, menggenggam rotan belati dan menyesah kami kedalam hutan belantara. Ayah masih sangat muda waktu sudirman di tangkap. Sering kali ayah inginjadi tentara, berhari-hari Ayah sakit karena ingin selalu masuk hutan. Ayah tidak lagi mengajar saat itu. Bagi ayah sekolah adalah markas, ayah telah menjadi fenomena peranag, seringkali ayah mengigau menjadi pahlawan (itulah sebabnya ayah mengidam-idamkan senjata). Beberapakali ayah di tangkap dan dipukuli, tapi ayah tak pernah jera, malahan ayah kelihatan semakin gagah dalam seragamnya. Setiap malam ibu hanya bisa menangis melihat ayah berdarah-darah tapi ayah tak peduli, ia semakin rajin kesekolah melati_menggembalakan sepasukan pramuka, berkemah, menggali tanah, menulusuri jejak dan membunuh setiap orang yang pernah memaksa mereka menyerah diwaktu muda. Ayah begitu gigih membela tanah airnya, dari PRRI sampai dis integrasi. Ayah sudah berpuluh-puluh kali di bunuh sebagai contoh bagi yang membangkang. Tetapi ayah selalu saja lahir menjadi potret berseragam, menjadi guru, menggenggam rotan dan belati. Setelah ibu mengandungkan kembali ayah,
Ayah semakin banyak membelah, melahirkan beraneka ragam jenis ayah, ayah yang selalu ingin menjadi atau, merdeka selalu. Demikianlah ayah pernah menjajah dirinya sendiri disitu. Abadilah ayah, abadilah ayah.
Abadi.
Baning 8 Mei 1999
ALAIKA LIDIA
Kepada sesuatu yang tidak menjelaskan apa-apa
Telah kuletakkan kepercayaanku untuk terus mencintaimu,
Selama-lamanya,
Lidia.
25 Mei 1999
Ambique of Pohon Ara
Yang kamu lihat adalah angin yang berlari,
Jejak yang mengisahkan sekawanan burung
Pohon-pohon yang memberi pengertian pada bulan
Buah-buah pengetahuan tanpa rasa
Dan yang kamu lihat
Adalah segala-galanya,
Dunia tanpa tangkai, tanpa cabang-cabang
Atau batang yang mungkin bisa menjelaskan
Sebuah cerita tentang sebuah masa lalu
Yang tak berayah, tak berbunda.
(Ampar Kedang) Ringas, 1 Juni 1999
INMEMORIAM CACINIT,
Tuhan, suatu hari kelak
Barangkali aku akan rindu kepada
Bukit-bukit batu itu.
Kepada beratus-ratus gua pahatan
Di kedalaman perut bumi-Mu.
Barangkali akupun akan rindu
Kepada warna-warna tenda itu,
Kepada irama pahat dan kertak palu
Yang membuat aku selalu teringat
Akan dikau.
: ngilu.
Lubang Ampar Kedang, 8 Juni 1999
GERONTOLOGI MANUAL
Tuhan Jesus,
Mengapa hidup hanya membuat kami
Merindukan kematian berkali-kali,
Mengapa ?
Baning, 10 Juni 1999
Catalog Istri I
Bila selalu saja ada yang kau pikirkan
Tentang fenomena seorang kekasih
Saat-saat tubuh masih terbalut seragam putih
Dan cinta adalah seorang pahlawan
Cetaklah nostalgia itu sebanyak-banyaknya
Sebagai kenang-kenangan
Supaya boleh juga ia menjadi sajak,
Menjadi suami dan anak-anak yang barangkali
Sepanjang tahun akan brlari-lari, akan kau
Baca sebagai kisah peperangan terpanjang.
Baning, 11 Juni 1999
Catalog Istri II
Ketika ia menjadi suami, ia mulai belajar menulis puisi,
menumpahkan tintah pada kertas setiap hari
sekedar memberanikan diri untuk mngatakan
keinginannya kepada kenangan-kenangan kabur
akan seorang perempuan yang sekarang
Di sebutnya sebagai istri (tercinta).
Baning, 16 Juni 1999
Rembulan Dalam Kaca
Nasehatilah rembulan, sebab ia sering merayu awan-awan
Yang pulang menjelang sore di setiap senja.
Nasehatilah rembulan,
sebab terlalu sering ia kedapatan menggagahi malam menjelang pagi dari kota ke kota.
Nasehatilah rembulan, supaya jangan ia kehilangan keindahan.
Nasehatilah rembulan, supaya ia tetap layak dirindukan
Seperti nyanyian atau iklan di layar-layar kaca
Sintang 26 Juni 1999
Rembulan dalam Karung
Belilah rembulan supaya kota ini jangan kehilangan cahaya,
Supaya kita bisa berjalan-jalan sepanjang malam,
Memotret langit dengan beratus-ratus lensa.
Supaya kita jangan kehilangan ilham saat-saat
Ingin menulis sajak
Belilah rembulan sebab lisrik sering padam ketika
Anak-anak masih ingin membaca
Belilah rembulan tapi bukan karena iklan-iklan
di TV itu yang memujinya dan belilah rembulan
supaya karung-karung di gudang itu penuh
Dengan sebuah nama;
Pontianak (diatas motor Dinasty Ptk – Sui Ambawang)
28 Juni 1999
Angsa Putih dan Nyanyian Lamanya
Tidak mudah untuk menemukan danau itu
Kembali setelah bertahun-tahun ia pergi
Dan perjalanan telah melumpuhkan ingatan.
Tanah yang kehitam-hitaman, hanya
Cakrawala yang masih biru disitu,
Luput dari cuaca, tahun-tahun yang melaju
Bersama musim diatas lembah
Dan burung-burung yang terbang
Entah kemana.
Korek, 29 Juni 1999
Bulan Dalam Kardus
Seperti biasanya cahaya merambat, menyusup
Kedalam tirai : jendela dan kereta yang
Merayap perlahan-lahan membawa berkardus-kardus
Rembulan keluar kota menyusup kedalam kabut
Seperti biasanya, toh tinggal kertas-kertas
Kwitansi itu yang lupa kau tanada tangani
Ketika kardus-kardus itu dimuat kembali
Keatas truck dan alamat sudah tercatat rapi
Seperti biasanya, kita tinggal menunggu ratusan
Bulan instan yang berguguran dari langit.
Pontianak 2 Juli 1999
Exs – Provokator Mr.
Plastik-plastik itu sudah terlanjur dicetak,
Diberi warna agar tamu-tamu tidak
Kehilangan selera,
Musik pun sudah digelar dalam ruangan
Penuh bau farfum dan pesta
Lampu-lampu itu beberapa kali
Muncul tenggelam dan muncul kembali,
Menyusun kalimat yang menghasut, memanas
Manaskan suasana :
Hidup Mega !
Hidup Mega !
Ledo, Juli 1999
Aku Mengoreksi Kebahagiaan
Hanya sebatas garis tipis,
Kebahagiaan itu telah membanting-banting dirinya,
Merobek tabir-tabir sunyi yang sudah 20 tahun
Lebih membungkus kesadaranya untuk mengerti,
Hanya sebatas garis tipis.
Entah bagaimana kebahagiaan itu tiba-tiba menyeruak,
Menerobos masuk kedalam relung-relung kosong di pusat
Dasar jiwanya.
Hanya sebatas garis tipis,
Barangkali ia memang tak sanggup menerimanya sebagai
Suatu paket hadiah yang teramat besar
Dan berbahaya,
Cinta atau dosakah ?
Entah.
Baning, 10 Agustus 1999
Catalog Istri III
Istri terkadang seperti buli-buli yang penuh terisi,
harum bagai kaleng-kaleng
farfum, _ dingin
dan berkilat-kilat bagai belati.
Jetak, 15 Agustus 1999
Karena Besok Kamu Pasti Kesana Juga
Aku mencintaimu Clara,
Seperti bulan yang menepi pada kaki-kaki bukit,
Dalam kabut,
Seperi ketika untuk pertama kali aku mencintaimu
Aku mencintaimu Clara, seperti juga Manuel
dan Don Bosco yang telah di terjang peluru
Saat membebaskanmu di kaki Ramelau itu.
Seperti juga Dominggas yang telah menyerahkan
Kepalanya untuk menebusmu.
Aku mencintaimu Clara seperti juga aku telah
Mencintai semua Clara yang setiap saat terlahir,
datang dan menghilang di timur Lorosai itu
Aku mencintaimu Clara dan barangkali
terlalu aku mencintaimu dalam kematian dan hidup
Aku hanya tahu bahwa aku mencintaimu dan masih...
Sintang, 20 Agustus 1999
Aku Mengoreksi Hujan
Hujan membuat bumi ini seperti perawan,
Sendu dalam potongan-potongan waktu
Yang perlahan-lahan gugur,_ runtuh
Menyentuh damai keheningan semesta
Yang abadi.
Pontianak, 28 Agustus 1999
Aku Mengoreksi Slogan-Slogan
Sesunggunya slogan-slogan itu adalah
Tidak perlu seandainya kita tidak sedang mabuk
Mengubah kelamin menjadi banci,
Majemuk seperti lonte, berputar-putar aneh
Dalam suatu persenggamaan panjang dengan
Republik ini,
Sesungguhnya slogan-slogan itu adalah tidak perlu
Sama sekali.
Sintang , 8 September 1999
Aku Mengoreksi Awan
Awan adalah kebohongan, tirai yang menutupi habis adegan
Demi adegan,
Bulan yang bersenggama diudara _ melahirkan
Gerimis september yang celaka,
Awan adalah kebohongan,
Nasip yang terkulai pada penantian dan sepi,
Ranting pun menjadi hening _ saat ia pulang dan
Bercerita kembali, sunyi Asriyadi
: sunyi.
Baning, 15 September 1999
Aku Mengoreksi Buah-Buahan
Buah langsat dari Punggur telah
Membuat ia begitu bangga, biar busuk
Bagi pedagang harganya bisa lebih dari
Sekilo bawang, ia jadi ingin menanamkan
Modal, disitu ia juga menanam kebencian.
Hati-hati; langsat bisa jadi bangsat di jaman
Sekarang
Barangkali itulah juga sebabnya durian di Pahauman
Terkadang sedikit, terkadang juga banyak
Oarang-orang menghilang kedalam hutan, pernah,
Itu pernah,_ Singkawang-Tebas-Samalantan-
Begitu menyakitkan,
Hati-hati ;
Durian walaupun enak bisa mengganggu pernapasan,
Duriannya tajam mematikan.
Sayang, sungguh sayang buah-buahan enak
hanya bisa di jadikan angin-angan di jaman sekarang.
Baning, 16 September 1999
AKU MENGOREKSI KOLAM
Ingin sekali mereka membuat kolam
Menguras air, lalu menyanyikan lagu selamat datang
Tentu sia-sialah merumuskan ikan,
Hakikat air yang dituang dari bejana,
Tentu sia-sialah semuanya,
Tentu sia-sialah semuanya,
Ingin sekali mereka membuat kolam,
Membunuh keinginan untuk pergi,
Lalu menyanyikan lagu selamat pagi,
Meski tak sanggup mereka merumuskan hakikat ikan
Hakikat air yang getir,beku saat di telan.
Sia-sialah semuanya.
Sia-sialah semuanya
Sintang, 21 September 1999
AKU MENGOREKSI JAKARTA
Bulan bila bercadar hanya menampakkan
Benjolan-benjolan datar, hilang dalam ilalang _
sejarah yang menumpahkan darah _
Logam dan secarik kertas rahasia.
: tanah air, tanah air adalah kerikil
yang mencair, menjadi serbuk
dan air mata.
Sintang, 24 September 1999
TERRA INCOGNITA
Aku sangat tidak berminat melihat
Mereka yang telah membakar hangus nurani rakyat, ya
Aku sangat tak berminat ketika kebohongan itu mencaplok
Habis indonesia,
Dada mereka menjadi bolong, tinggal keadilan berputar-putar
diudara, merdeka, melonglong tanpa suara,
Barangkali indonesia hanya sehari menonton dirinya sendiri
Yang menggelepar di televisi, ingin menyanyikan pengakuan
Ya, aku sangat tak berminat melihatnya
Disini : distorsi _ demokrasi disekap dalam tabung _
Dicetak menjadi germo, menjadi gundik mereka yang
Berbisik-bisik ketika indonesia di paksa menyerah setiap
Hari, setiap pagi di televisi, diperkosa berita-berita
Diatas meja diantara mimbar-mimbar dan aku semakin
Bersungguh-sungguh sangat tidak berminat melihat
Tanah air mengalir _ cair seperti timah yang tumpah
Kedalam api _ mereka begitu bangga melihat rakyat
Terkerat-kerat dari hari kesehari. Aku sudah melihatnya
Dan semakin sungguh-sungguh tak berminat melihat apa-apa.
Sintang, 28 Oktober 1999
DEFINISI AYAH
Barangkali ia hanyalah seorang ayah
Yang berubah-rubah menjadi perabot, menjadi kardus atau
Apa saja, ayah yang selalu saja sekolah, belajar dan olah raga,
Tapi nyatanya ayah tak pernah benar-benar selesai membaca,
Padahal seorang ayah seharusnya sudah memiliki ijasah,
Memiliki rumah, uang di bank dan bekerja
_ tapi ia hanya sebuah keranjang sampah, miskin dan
menderita : ataukah ia telah bersalah menginginkan kisah
ayah-ayah lain, ayah-ayah yang begitu tenang, damai
dan bahagia _ atau barangkali ia hanyalah seorang
ayah yang mencoba menjadi abdi,menjadi sesuatu
yang tenang dirahang bayang-bayang cahaya.
Baning, 30 Oktober 1999
LINDU INGAR GAGAS KENISAH HENING TAPA
(Lindu kenisah hening tapa)
Gari-garis gerimis terputus,mengelupas di atas kaca,
Terkerat bersama tirai di jendela
Setelah engkau melintas _ tinggal jejak dan aroma _
Yang terkemas dalam selembar kertas
Menarik-narik aku untuk kembali membaca.
Sementara angin menukik, memanggil-manggil
Ganjil sebuah nama.
Baning, 1 November 1999
SENTIMENTIL AYAH
Ayah selalu berdoa, memecah-mecah rotinya
Sendiri mengucap syukur serta bernyanyi
Di antara altar tua dan tangga
Yang selalu mengantar ayah
Kekeheningan abadi.
Baning, 3 November 1999
HIRARKI AYAH
Anak telah begitu saja menobrak dinding ayah,
Mencetuskan ide-ide untuk merdeka,
Anak begitu saja menghambur ke dalam jagat
Yang melilit-lilit pusar ayah,
Menyeretnya ke dalam hening, kedalam kuda-kuda
Waktu yang siap menghentak
Ketika kita semua lengah,
Tenggelam semakin jauh
Kedalam setiap upacara.
Baning, 3 November 1999
SILSILAH AYAH
I
Inilah sililah ayah :
Ayah memperanakan ayah, memperanakan ayah,
Memperanakan ayah, memperanakan,
Memperanakan ayah, memperanakan ayah,
Memperanakan ayah, dan seterusnya.
II
Ayah memperanakan ayah, memperanakan ibu,
Memperanakan ayah dan ibu, memperanakan aku,
Memperanakan dia, memperanakan mereka,
Memperanakan mantera.
III
Ayah memperanakan anak, memperanakan cucu,
Memperanakan cicict, memperanakan buyut,
Memperanakan bangkai-bangkai yang hanyut
Sampai ke muara.
IV
Ayah memperanakan anak, memperanakan anak kandung,
Memperanakan anak tiri, memperanakan anak haram jadah
Memperanakan darah dan air mata.
V
Ayah memperanakan sekolah, memperanakan perkantoran,
Memperanakan jbatan-jabatan, memperanakan proyek-proyek,
Milyaran rupiah memperanakan dana, memperanakan kebocoran,
Memperanakan pengangguran, memperanakan demonstran,
Memperanakan peluru dan gas air mata.
VI
Ayah memperanakan sejarah, memperanakan sajak,
Memperanakan penderitaan, memperanakan apa saja
Yang kemudian menurunkan keturunan-keturunan aneh
Yang tak lagi memahami bahasa manusia.
(mungkin ayah lupa mencatatnya).
Baning, 4 November 1999
VIRTUAL AYAH
Belum lagi kukenal wajahmu, tetapi telah sangat
Membuat aku rindu, setengah mati aku rindu _ ingin
Berlari juga aku menyongsongmu, memeluk sosok yang
Memanggilku. “ayah” _ tapi entah kamu sudah
Sampai dimana anakku?...atau aku menulis surat saja
Dulu supaya aku mengetahui tanggal berapa kelak kamu
Akan datang, biar ayah tidak kikuk, ya biar ayah tidak
Selalu gelisah dalam sembahyang.
Baning, 10 November 1999
AYAH KEMBALI MEMBACA KACA
Ayah menanti disitu, melihat kesetiap sudut,
Melihat-lihat beling yang dibuang dan kedalam kaca,
Mencoba menterjemahkan bayang-bayang yang bergerak,
Ayah masih menanti saat-saat yang tepat untuk menyapanya,
Menepuk-nepuk bahu dan mengatakan cinta,
Bersamanya ayah ingin sekali membaca, berlari,
Barangkali juga hanya sekedar untuk menulis sepucuk surat,
Hampir setahun ayah menanti, melihat-lihat lagi
Papan pengumuman , membaca kaca-kaca pecah,
tintah yang tertumpah mengukirkan sebuah nama :
baning, 11 November 1999
ASAL-USUL AYAH
Jika kamu bertanya :
Dari mana ayah datang? ayah datang dari koran,
dari email, dari modem atau dari dalam hutan.
Ayah lahir begitu saja ketika ibu nonton iklan
Obat perangsang. namun ayah adalah sosok yang ramah,
Ia tak pernah lengah untuk tersenyum saat mengulurkan
Lengannya untuk berjabat tangan: “apa kabar?”,
(terasa waktu pun memanjang, ayah adalah sebuah
panorama yang hilang ditelan berita dan cerita iklan,
yang membengkak mendesak-desak ayah untuk membeli
tiket, memesan oleh-oleh untuk dibawa pulang)
tapi ayah selalu terlambat untuk hadir dan menghilang.
Baning, 12 November 1999
WWW. AYAH. COM
Begitu ingin ayah memelukmu mengucapkan selamat datang
Dan kamu malu-malu menceritakan persoalanmu,
Barangkali ayah pernah dan masih mungkin akan masih
Menyakiti hatimu.
Maafkanlah ayah, karena ayah lengah, terkadang ayah
Tak lebih juga dari sesosok makhluk yang mudah gelisah.
Begitu ingin ayah mengajakmu berdoa di kapel tua itu
Menyaksikan burung-burung pulang,
Meninggalkan bayang-bayang pada jalan setapak,
Di suatu sore, begitu ingin ayah menceritakan padamu
Bahwa cinta selalu begitu saja sudah dilahirkan dan dibunuh.
Baning, 13 November 1999
NOVENA AYAH
Ayah ingin sekali rebah dan mati
Kalau sandainya kamu tidak datang, yang selalu
Mengingatkan ayah untuk bedoa dan sembahyang,
Bapa dimana pun engkau adanya,
Berkatilah Lindu anak-Mu, berkatilah juga hari
Kelahirannya dan masa depan kami bersama,
Apabila engkau berkenan biarkanlah ia engkau pilih
Menjadi saksi bagi-Mu, bimbinglah ia
Dalam kuasa roh kudus-Mu, dan berikanlah juga
Kepada kami kedua orang tuanya berkat dalam
Mendampinginya dengan cinta,terjadilah menurut
Kehendakmu bagi kami sekarang dan selama-lamanya. Amin.
Baning, 14 November 1999
AYAH DIGITAL
Biarlah ia berjalan-jalan sejenak
saat kota telah sepi, Saat kabut dinihari mulai gugur
bagai kristal menyentuh lampu.
Biarlah ayah akan menemukan kamu diantara
Ruang dan sekat-sekat waktu dimana baru saja
Engkau akan mengetuk-ngetuk dan ayah telah lama ingin
Melihat seseorang berdiri disitu, tersenyum-senyum; _
Pasti ia pernah membayangkan itu,
Menyimpannya dalam dada, (sangat lama)di sebuah
Ruang tunggu sampai cerita itu diulang.
Terbang menjadi seekor kupu-kupu :
Baning, 16 November 1999
SELAMAT DATANG ANAKKU
Hari itu tak kutau kau datang mengetuk-ngetuk
Pintu dada ayah, menjinjing tas plastik putih
Menyodorkan sebuah alamat seperti orang yang tersesat,
“selamat siang ayah !
“pernahkah kita bertemu sebelumnya?”
entahlah...
Tanjungpuri, 17 november 1999
Catatan : Kelahiran Lindu jam 19.10 WIB hari Rabu.
AYAH VIRTUAL
Dengan malas ayah memproklamirkan negaranya
Didepan layar monitor dan segelas kopi dingin yang
Tinggal setengahnya.
Ayah menekan beberapa tombol menghubungi beberapa rekannya
Entah di pulau lain, di laut, di dalam hutan atau di angkasa
Ayah membaca teks proklamasi itu seperti membaca rekening
Tagihan listrik, ayah hanya mengenakan sarung saat
Melahirkan negaranya yang menyeruak bagai tunas diantara
Slogan-slogan perdamaian dan pucuk-pucuk senjata,
Ayah menguap dari tempat duduknya: apa boleh buat
Ia sudah tercatat sebagai presiden utopia yang pertama.
Selamat untuk ayah.....
Baning, 19 November 1999
MEMPAWAH
Melintasi sungaimu,
Aku teringat sesuatu yang pernah hilang disitu
Bersenyawa dengan udara, menjadi serbuk-serbuk
Waktu yang pergi _ tua dalam kertas catatan
Dan ingatan kepadamu serta tanah amanah yang
Pernah memberi tempat dan alamat untuk dituju
Mempawah, 26 November 1999
SINGKAWANG : CATATAN AYAH YANG HILANG
Keputusan itu telah memaksa ayah untuk menunggu,
Menggeliat dalam kepompong takdir memanjang,
Jalan-jalan yang hilang membuat ayah ingin sekali
Pulang dan menjelaskan semuanya kepadamu
Barangkali juga hanya sekali saja ayah memotretnya
Meluangkan saat-saat tanpa mengeluh,
Ayah menyusuri kota dalam gerimisdan sisa cahaya saja
Yang terkemas menjadi sekedar oleh-oleh ayah
(tak akan lagi daun-daun itu larah saat ayah melangkah
meninggalkan kota).
Singkawang, 27 November 1999
PELECEHAN FORMULIR
Sebenarnya ayah bisa saja menolak menjadi Bupati
Karena sama sekali ayah tidak terlibat G 30 S/PKI,
Tapi sanggupkah ayah membela diri di kertas
Formulir yang mereka sodorkan.
Nyarungkop, 28 November 1999
KONSPIRASI AYAH
Bagi yang mempercayai konspirasi ayah
Pasti telah merencanakan sebuah masa depan
Yang lebih baik, menyusun jadwal dan
Mempersiapkan hal-hal kecil lainnya untuk
Menyongsong kedatangan ayah
Bagi yang mempercayai konspirasi ayah
Tentu sudah lama membuat trik-trik
Persengkongkolan, mencoba berkomplot menaklukan
Takdir, mencekik mimpi setiap malam di atas
Kasur masing-masing sebab pasti ayah akan berputar-putar
diatasnya seperti mesin waktu yang menghitung kegagalan
: dunia terasa semakin tua dan sakit-sakitan di dalam
catatan harian ayah.
Korek, 30 November 1999
SKETSA KARTU NATAL AYAH
Potret hitam putih ayah masih di lemari
Ketika kamu datang menjelang natal
Untuk menjenguk ayah
Sepertinya ayah baik-baik saja,
Semakin tua dan mulai berdarah-darah.
Korek, 1 Desember 1999
LAGU INDONESIA UTOPIA
For more information : connect at : http/www.lindu.com
Ketik saja, maka akan terbaca dalam bingkai
Sebuah nama : HEDWIGIS NOVELLINDU HENING
“selamat datang di dunia kami;
Ada mama, ada papa; selamat pagi semuanya,
Selamat pagi indonesia, selamat pagi aceh,
Selamat pagi ambon, selamat pagi jakarta,
Selamat pagi pertikaian,” (enter)
.....kunyanayikan bagimu lagu indonesia raya, ya ?
Sintang, 4 Desember 1999
Presiden itu memberanikan diri memesan roti,
Aku merasa bersalah juga telah memperolok-olok dia
Tentang harga mentega dan terigu persis ketika
Gus dur muncul di TV Filipina ketika GAM
Mulai mengelar foster-foster.
KULTUS KEBANGUNAN YANG HILANG
Lagu-lagu kebangsaan itu,
sekarang lebih mirip sebuah sindiran,
sebuah spekulasi ringan yang akan
mengingatkan seseorang pada sejarah,
kepada 28 oktober dan yel-yel lainnya
di buku-buku pelajaran anak sekolah
lagu-lagu kebangsaan itu, sekarang hanya
terasa sebagai bunyi-bunyian biasa yang
tak lebih baik dari sebuah lagu dangdut
yang direkam di pita kaset.
“Indonesia tanah air siapa......?
Baning, 8 Desember 1999
WARTEL PASS 12
Kosongkan sore,
Biar angin bisa lewat menjemput daun mangga
Yang mulai merenggangkan tangan-tangan kecilnya,
Tapi sungguh keterlaluanlah hujan,ia menculik daun
Dan melarikannya ketempat yang jauh,angin begitu
Merana dan hanya bisa mencium jejaknya di tanah,
Sepanjang cerita sore begitu tenang, berjalan-jalan
Dihalaman, dalam ruangan mengitari rumah
Sintang, 10 Desember 1999
MITOS-MITOS FOTO COPY AYAH
Orang-orang akan melihatnya sebagai sebuah potret ayah
Bayang-bayang yang bergerak sepanjang ruang
Dalam jubah panjang menyentuh tanah (di taman)
Barangkali itu bukan seperti gambar ayah yang selalu
Dan sudah engkau idam-idamkan, tahun-tahun ayah
Adalah tombol-tombol dan layar monitor, perintah-perintah
Yang melahirkan sejarah di dalam tabung kaca
Semacam instrumen-instrumen kecil yang telah melahirkan
Jejak di Hanger.
Dan orang-orang akan melihatnya seperti potret ayah juga
Begitu indah dalam bingkai monitor, famlet gelap
Yang tersusun sangat padat dalam sebuah jaringan
Sistem di luar batas kemampuan engkau untuk menemukannya,
Ayah adalah merk latop yang di jual murah di mana-mana.
Baning, 13 Desember 1999
KULTUS PEMBEDAHAN AYAH
Sejarah membelah ayah,
memotong-motong semua persendian dari impian ayah,
nyanyikanlah mazmur bagi ayah yang telah di arak
dalam peti jenasah. Kasihan ayah ia harus pergi berlari
singgah dari rumah ke rumah.
Sejarah memang telah membelah ayah, menyeret-nyeret
tali impus ke kakus, seluruh tubuh ayah telah lumat
dalam loyang putih dan tirai, sejarah mencabik-cabik
ayah menjadi potongan-potongan, bertumpah-tumpah darah
ayah mengalir ke wastafel lewat selang kedalam liang
kematian ayah.
(semoga lekas sembuh ayah...)
sintang, 15 Desember 1999
SERIBU ULANG-ULI
Perahu-perahu menjadi cerita disitu,
Bergerak dalam alu-alur tak dikenal dan setiap orang
Seperti berlomba-lomba mendayungnya menjadi
Sesuatu yang teramat berkesan, kisah terpecah-pecah,
Bertumpah-tumpah menjelang penyebrangan dan
Pantai seperti muara, disitu pukat, jala di rentang,
Ditarik-tarik; berlari membenarkan letak alamat
yang di catat di atas warna kanfas 1000 ulang-uli.
Sintang, 17 Desember 1999
SINDROM AYAH
Ayah meludah dari jendela,
Ketika angin melintas mengebaskan tirai _
Sendu seperti waktu-waktu yang selalu
Lewat di situ mencari-cari wajah ayah
Di beranda yang kini telah menjadi
Semak belantara.
Sintang, 18 Desember 1999
Catatan Sisa Keberanian Ayah untuk Pulang
1
ayah pulang dalam keadaan bimbang,
merasa segala sesuatu telah hilang
tumpah menjadi bayang-bayang ayah yang lain,
2
ayah memerah dalam rona lampu yang
mengebaskan fikiran-fikiran jalang ayah
kepada dunia malam yang sepi; lara ayah, lara
semakin hari ayah kian gugup saja
menyiapkan sarapan di meja ketika waktu
tidak lagi berdetak memanggil namanya.
3
ayah pulang dalam keadaan yang teramat jingga.
(P. kapuas besar) Pontianak, 22 Desember 1999
NATAL AYAH
Telah kugantungkan kembali kaos kaki itu
Di slah satu ranting yang salah,
Yang selalu membuat aku terkenang akan
Kandang natal dan ziarah.
Korek, 25 Desember 1999
= 00
Lagi, aku menyeret-nyeret bangkai
Waktu itu kembali,
Setiap tahun, setiap tahun
Ketika ia pergi; menjadi kisah,
Menjadi fosil dan kenangan yang abadi
Korek, 1 Januari 2000
PAKET AYAH 1999
Berlari ayah,
Tak mau menyerah pada paket yang telah di kirim
Melewati batas tahun ke tahun perjuangan
Orang-orang yang berbondong-bondong menyerah
Orang-orang yang mengutak-atik kalender
Dan menarik diri dari peredaran
Sementara ayah masih di sini melompati magnit-magnit dan besi,
Gelisah dan sakit bersama bumi, ayah belajar menikmatinya;
Air mata dan kaca, nyeri dan pelatuk dosa yang berkali-kali membunuh ayah,
Memberi tali kekang pada moncong pikiran-pikiran sehat ayah, tapi ayah
Tak pernah menyerah pada krido takdir, konspirasi
Yang bertahun-tahun telah berusaha menjebak ayah,
Setiap hari, sampai ayah lelah
Tapi ayah masih berlari mencari pepohonan, mencari belukar,
Semak-semak sebentar untuk mengucapkan selamat tinggal,
Menerjang_berlari memberontak_kembali
Sintang, 5 Januari 2000
CERITA SEPI DAN KERINDUAN AYAH
Entah seperti apakah kerinduan ayah
Ketika gerimis dan senja bersama-sama menemui ayah,
Menceritakan sesuatu di beranda
Yang telah memisahkan engkau dari ayah di sebelah
Luar pagar halaman
Dan barangkali dapatkah kau rasakan
Dari dalam ayunan pematang-pematang penyusuan
Dari ibumu nun di radius diluar batas jangkauan
Mimpi ayah, di antara ribuan sungai yang telah
Menjadi sekat engkau dan aku.
Seperti apakah kerinduan yang kau rasakan itu.
Yang ayah dan engkau drita dari waktu ke waktu...?
Sintang, 11 Januari 2000
HUMA DIATAS BUKIT GEMBA
Dari dunia manakah engkau diterbangkan,
Betapa gaib perasaanmu
Memenuhi ruang dadaku
Mata yang memanah dunia
Dengan cinta,
Aduh, betapa aku lebur
Dalam teduh senyummu
Abadi aku, abadi
Dan kelu.
Pagi Bukit Gemba, 12 Januari 2000
RESTITUSI RINDU
Rindu ini Lidia,
Seperti roh yang ingin pulang dan bekerja,
dan memplitur setiap letak gejala
Dan malaikat yang berayun-ayun di udara
Membelokkan semua angan-angan
Pada keinginan untuk bersedada
Rindu itu kini
Hanya batu-batu yang tengadah
Dan berdoa.
(Malam) Bukit Gemba, 12 Januari 2000
DI BATU KUSIENG, SUATU HARI
Di atas batu itu,
Masih di atas batu itu
Aku menunggu sesuatu :
“terlalu lama aku ingin bicara
memahat ke abadian di dadamu”.
Batu Kusing (B. Gemba), 13 Januari 2000
LEGENDA BUKIT GEMBA SUATU HARI
Sangat di sayangkan bila legenda yang ku ingat tentangmu
Kini cuma peta, cuma ilalang dan gua-gua,
sejarah yang Terarah, berdarah-darah di ruang sekolah ;
hilang dalam bayang-bayang mengecil
duka dalam bisu peninggalan tanah leluhur
yang tinggal cerita,
Bukit Gemba, 14 Januari 2000
MESTINYA
Mestinya sepucuk surat sudah kutulis
Untuk siapa saja yang memiliki alamat
Yang masih menyimpan cinta dan
Kata-kata maaf.
Mestinya sepucuk surat sudah kutulis
Sebelum Ambon di rampok, NTB di fitnah
Dan semestinya....
Baning, 27 Januari 2000
RABIES CONINA PEDALAMAN
Kegilaan ini tekah semakin aneh,
Tambur kaleng dan derap langkah-langkah
yang nyaris menangis,
tapi siapa sudi menyerah ?
lalu siapa pula yang telah membakar kita ?
orang-orang pedalaman yang di lahirkan untuk
saling menyayang (siapakah yang mengajarkan kita
menulis Famlet, menggelar poster dan saling
memaki penuh kebencian ?)
atau apakah kita sudah hilang
menjadi serpihan logam dan belerang,
dendam telah melahirkan
potret begitu banyak orang yang bergerak
menuju takdir, kisah perlawanan dan perang.
Sintang, 22 Januari 2000
KISAH SENGSARA AYAH I
Aku sedang ke luar kota ketika beberapa
Pabrik didirikan, hutan di belakang rumahku
(dekat jendela dapur) telah habis di babat untuk
kepentingan kegiatan produksi pabrik-pabrik
tersebut, gelondongan dan debu dimana-mana
HPH telah mewabah kesetiap pelosok terdekat,
Merata di semua lini, hampir di setiap jengkal tanah.
Bahkan sampai keruang tamu yang baru selesai
Ku cet 3 hari yang lalu,
Ya, aku memang sedang keluar kota saat itu, ketika
Kapitalis-kapitalis itu bergerak mencaplok setapak
Demi setapak bumi kediamanku, merampok habis sisa-sisa
Kebahagiaanku, dan ketika aku kembali ke rumah
Aku menemukan takdir telah menjadi judas,
Mencium sebuah konspirai dan ia menyerahkan aku
Kepada kapitalis-kapitalis itu untuk diolok-olok,
Di siksa di depan setiap orang
Menjelang hari raya mereka memakukan aku
Di mana saja ; di simpang-simpang jalan,
Di super market, di kios-kios dan wc-wc
Umum di kota seperti sebuah Famplet atau
Papan iklan ikan sarden yang memang
Pada akhirnya hanya akan mengantarkan
Aku pada kematian dan kebangkitan
Yang tak ada henti-hentinya, tapi apakah
Artinya itu bagi para maling ayam yang juga
Di salipkan bersama-samaku
Ketika sekali lagi aku ingin keluar kota,
Ternyata waktu telah lama
Menghilang, lenyap bersama-sama takdir
Menuju ke sebuah dunia, ke suatu tempat
Yang entah di mana.
Sintang, 25 Januari 2000
EXSTRANES WISSEN AYAH
Bagi ayah, waktu telah lama terkatung-katung di langit,
Mencuat di koridor semesta, menjadi tugu
Ketika ayah menggenggam erat-erat
Tali kekang takdir yang berlari zig-zag
Bagaikan orang gila.
Bagi ayah....
Sintang, 25 Januari 2000
Teja Renung dan Getaran Ayah di Bawah Bulan
Sekali lagi bulan sepertiga itu tertancap di cakrawala,
Cahayanya berpedar di udara, pecah di celah dedaunan
Membiaskan warna semarak, _berserakan bagai serbuk
Timah putih keemas-emasan, gugur ke tengah-tengah
Alam, Menyiram semesta bagaikan sebuah lukisan
Memanjang yang menyentuh ke ujung-ujung mimpi.
Sintang, 26 Januari 2000
DUNIA AYAH SEBELUM TIDUR
Ada ritus-ritus yang memeleh ke dalam
Impian seorang ayah
Sebelum ia meletakkan kepalanya yang lelah
Ke atas bantal, dadanya yang selalu sepi,
Terhimpit langit-langit dan takdir
Yang mengintipnya dari celah-celah prisma
Cahaya dan biang-lala, larah.
Adakah yang terlupakan? Ketika ayah berdoa
Dalam kenangan, rindu yang terpenggal-penggal
Dalam surat, dalam secawan penuh kenyerian
Dimana duka dan cinta sama-saja, sama merah,
sama-sama berbahaya, sama-sama lara,
Sintang, 5 Pebruari 2000
SIAPA YANG MENGAJARI KAMU
Siapa yang mengajari kamu naik ke atas mimbar
Mengajari kamu membuat famlet
Dan menulis ratusan surat tanpa stempel,
Yang lalu kau kirim ke semua alamat, yang tak pernah
Tercatat dalam agenda para pembuat keputusan itu
Siapa yang mengajari kamu mengutuk setiap orang,
Mengutuk sekolah, gereja dan beberapa buah bank
Siapa yang mengajari kamu mengasah lidah, mengayunkan,
Pedang, menyembelih kejujuran ini, dalam
Hati yang menggelepar-gelepar
Hening dan pergi
Berdarah-darah di atas tanah, di dalam kereta,
Abadi dalam luka dan kenang-kenangan.
Siapa mengajari kamu berdoa
Sintang, 7 Pebruari 2000
DOA MASYARAKAT AYAH
Tuhan,
Mengapa kau siksa kami dalam ketidakpastian
Dan cinta. Ruh kami semakin lemah, Tuhan!
Membusuk dalam harapan-harapan yang tak pernah
Berubah menjadi kebahagiaan,
Cuma nanah yang mengalir dalam getir dan doa.
Sungai Durian, 10 Pebruari 2000
SURAT AYAH
Ayah hanya ingin mengatakan cinta,
Mendidik rindu menjadi Haunoman,
Surat-surat sudah ayah kirimkan dengan gugup
Dengan dada yang meluap oleh rasa bersalah.
Pertemuan itu barangkali adalah sebuah krido yang
Gagal di genggam, raib menjadi bayang-bayang
Setiap orang yang mencintai ayah.
Ayah hanya berusaha untuk pasrah, menggumuli takdir
Yang menyimpan begitu banyak belati dan kesah-kesah,
Ayah barangkali telah mengirim suatu yang salah...
(Sungai Durian) Sintang, 13 Pebruari 2000
Vallentine : 1 tahun perkawinan ayah
Patutkah kukenang cintamu, dalam kemiskinan dan rindu
Waktu yang telah menjadi belati,
Berkilat-kilat, dingin dan membenci
Patutkah kutuliskan bagimu, sepenggal sajak yang selalu
Kita kenang, ketika hari-hari di tangan kita semakin tua,
Tersaruk-saruk dalam luka menyusuri sepanjang jalan
Pulang.
Patutkah kukatakan kepadamu bahwa rasa sayang ini
Masih sebagaimana dahulu, ketika kita
Membujuk kupu-kupu menyampaikan salam dalam rindu
Terbungkus menjadi kepompong, kantong-kantong yang
Penuh dengan cinta merekah.
14 Pebruari 2000
Ayah Lindu Dalam Sebuah Virtualisasi Naskah
Ayah hilang dalam jaring-jaring memanjang
Menjelajah dan menggeledah setiap ruang, setiap impian
Dan bayang-bayang, sebelum benar-benar ayah merasa bersalah
Kepadamu
Ayah hilang dalam layar-layar telanjang
Hanyut di antara situs-situs kepompong,
Literatur dan sembahyang
Ayah mabuk dalam semak-semak dan mitos
Kebahagiaan ayah, diantara bahasa dan tombol-tombol
Yang telah memisahkan ayah dari cintamu.
Ayah hilang, beputar-putar dalam siklus yang panjang,
Menjelmakan apa saja bagimu; ayah hanya amanah yang menjadi
Bagian lain dari dagingmu dan darah,-masa lalu yang sempoyongan
Di ambang pintu, di meja makan dan di mana saja kau pernah
Bertemu ayah!
Ayah hilang, di luar jendela, menubruk tirai penuh gambar
Ayah menyelinap di sana diantara selusin mata
Ketika ayah berdarah-darah, menyibakkan pengelihatan
Yang menyeret-nyeret ayah ke layar-layar liar
Lalu melaminanting seluruh kehidupan ayah, ayah
Hilang, terpancung sebagai pecundang, tapi sungguh
Gagah ayah, sungguh gagah!
Barangkali ayah juga adalah naskah-naskah yang gagal
Dalam suratmu, E-mail yang telah terbunuh.
Ayah hilang setiap saat di antara kawat, takdir
dan energi yang salah.
Sungai Durian (Sintang), 17 Pebruari 2000
DIKOTOMI HEIGEMONIA AYAH
Ayah mengolah jiwa,
Belajar menanam benih-benih keberanian untuk menukik,
Membekuk kutu-kutu waktu dalam gua.
Ayah mengolah harapan
Mencoba menabur damai kesetiap letak
Doa dan ketulusan dalam nyanyian
Sang pembajak.
Ayah melupakan musim, sekali lagi melahirkan
Siasat, merawat luka dalam perban cintamu
Ayah melayang, berseru-seru memanggil takdir,
Bayang-bayang sejarah yang tersesat, entah dimana.
Sintang, 27 Pebruari 2000
IBU DIATAS TUNGKU
Abadi ibu di atas tungku, memangku seribu telur.
Sejarah yang pecah sejak adam berkhianat,
Malam-malam keluyuran dari Eden kediskotik
Abadi ibu, abadi di atas tombol-tombol waktu
Di antara kaca, liar dalam abjad yang melompat-lompat
Dari daftar ke daftar kematian para arwah.
Nanga Merakai, 4 Maret 2000
HUTAN
Hutan kita sisa cindra mata, sebuah angan-angan yang
Menukik dalam gong, secarik kertas untuk di baca.
Hutan kita tinggal kantong-kantong pembungkus lukisan,
Tinggal stiker-stiker yang di tempel; perangko dan
Tombol-tombol kaca
Hutan kita cuma skripsi, cuma layar; tegalan-tegalan
Yang menyimpan begitu banyak kisah dan kontrak,
Resep obat yang di telan beratus-ratus nyawa
Hutan cuma mantra, doa-doa menderu dalam
Angin yang mengusap air mata.
Engkirab, 7 Maret 2000
PERUBAHAN KAMPUNG HALAMAN AYAH
Apa yang kau lihat disitu,
Tinggal tebing tanpa asal,
Sungai ziarah yang jauh kedalam lubuk bening,-
Keruh riuh-redah darah-darah yang mengalir
Kedalam tubuh ayah, dalam tubuh persoalan dan
Kerinduan untuk pulang,
Menyusuri kembali jalan-jalan setapak,
Pohon-pohon yang tengadah, menulis kembali tentang
Sajak kampung halaman.
Seperti ketika kisah itu terutang memangku masa lalu,
Menuang sumpah atas tanah air, bumi
Di mana damai berderap pergi mencari ayah,
Mencari tempat yang tenang.
Danau Liut, 10 Maret 2000
PULANG (PULANG) PULANG!
Bayang-bayang ayah, menukik ke dalam sebuah rumah,
Ruang yang bercabang dalam mitos-mitos tentang
Kebahagiaan ayah,
Seorang ayah adalah gerimis, yang melukis wajah
Pelangi pada setiap sisi warna-warni gelisah dan
Papan iklan yang berdarah, persimpangan tanpa
Jawaban menuju rumah.
Ayah adalah....
Nanga Merakai, 12 Maret 2000
INDONESIA ASA 2000
Jika kamu menulis, menulislah seperti kamu menulis
Pesawat terbang, kereta api atau apa saja yang pernah
Melintas dalam fikiranmu. Sebab Indonesia kita ini
Bukan hanya HPH, bukan hanya kerusuhan atau
Bank-bank yang di likuidasi.
Indonesia juga titik peluh, bau cerutu, minyak tanah,
Pabrik susu atau kain tenun ikat dayak di pedalaman.
Ya, Indonesia sekali lagi bukan hanya peta, bukan
Hanya Kalimantan, bukan hanya Lombok dan Irian
Indonesia adalah bulu mata setiap orang,
Isi dada dan kelentit setiap orang, mereka
Yang menatap dalam kedengkian maupun cinta
Indonesia memang bukan hanya merk kecap,
Nama jalan atau sederet kalimat dalam daftar menu
Masakan, Indonesia adalah segala sesuatu
Dalam pedih dan kenikmatan =judul buku yang
Di tulis takdir yang gemetar di bawah todongan
Senapan.
Pontianak, 20 Maret 2000
RESTORASI AYAH
Bila istri mulai menulis sajak, berarti engkau telah
Menjadi ayah, sebab anak-anakmu lahir dan mengalir
Perlahan-lahan di lengannya yang berdarah. Anak-anak
Melompat dari rahim. Kejujuran, menangis mengutip
Bumi – diatas kertas – separoh dari keabadian yang
Mengutusmu, - mengutip langit – yang mengantarkan
Kamu kepada cintanya.
Istri seperti membagi-bagi jejak, merajah kisah
Dengan tintah dan air mata.
Barangkali anak-anak sudah lama ia cetak dalam
Benaknya. Engkau hanya perlu menunggu saat-saat
Ia menukik atau menggerutu,
Pontianak, 24 Maret 2000
ORANG DAYAK STIP
Ia selalu melawan langit, megancam cakrawala
Membidik udara dengan menyebarkan ratusan ribu
Famplet, menulis artikel nyaris tanpa tanda baca,
Semacam kisah, ia melahirkan teror,
Menyayat uart-urat syaraf, melemparkan pertengkaran
Yang memaksa setiap orang untuk terjebak
Ia sendirian,...
Ayah, ayah patutkah ia mengalah setelah
30 tahun lebih ia disuapi bara?
Dusun Beririk, 7 April 2000
REVITALISASI AYAH
Maka demikianlah hendaknya ayah
Menukah dengan naskah-naskah, ibu seperti
Tugu yang menanti di jamah oleh ayah,
Setiap malam ayah menuangkan tintah
Menjenguk kepada masa lalu, hening seperi
Tebing-tebing yang memisahkan ayah dengan
Cinta.
Ayah melahirkan beratus-ratus wajah,
Juga Tuhan yang seperti keping-keping logam
Ayah menukik dalam kisah-kisah itu
Memungut ibu yang tercecer di sana
Ayah juga membuat potret, merekam jejak
Ibu yang berlari di antara bianglala.
Maka demikianlah hendaknya ayah....
Sintang, 17 April 2000
HISTOGRAM AYAH DALAM BACAAN IBU
Bagaimanakah ayah harus menulis surat,
Mencetak undangan, mengirim kartu-kartu natal
Setiap tahun.
Saat ibu satu persatu tanggal dari jam tangan ayah
Dan ayah mulai teringat pada lagu-lagu keras
dalam lorong di bawah tanah
aku masih sangat kecil saat menemukan ayah yang
telah meleleh menjadi tintah menetes
di mana-mana setiap saat setiap hari sebanyak-banyaknya.
Bagaimanakah aku mengatakannya tanpa membaca.
Pontianak, 1 Mei 2000
SKETSATOLOGI AYAH
Bukankah ayah sudah memutuskan untuk membaca,
menulis banyak kisah tentang Tuhan dan sekutu-sekutunya
tapi ayah terjebak diantara selokan.
Mengais-ngais tanah, tersesat mencari jalan ke surga
Ayah memotret langit,
Membuat rekaman bukit, lalu orang-orang marah
Mendengar ayah berkhianat, menikah dengan dunia.
Ibu tidak di rumah saat itu, saat ayah menulis surat
Mengutip cinta untuk di kirimkan.
Terbelah-belah seluruh dada ayah, di kamar. Di dapur
Dan dimana saja.
Potret ayah di dinding pun menjadi semakin tua,
Ketika ibu mencium kematian ayah dalam saku jasnya.
Ayah mabuk ketika mengisahkan petualangan itu
Mengisahkan malam-malam terakhirnya bersama ibu,
Bersama prasangka-prasangka kecil yang dikiranya
Akan berakhir dan itu sungguh keterlaluan seperti
Pelatuk senapan yang setiap malam membuat ayah
Menyerah, ibu di ambang pintu menyeringai ingin
Menelan ayah mentah-mentah.
Menutup rapat-rapat semua celah-celah rumah
Supaya angin pun jangan berkisah,
Menuturkan penderitaan yang begitu kejam
Menyanyat-nyanyat ayah.
Akhirnya ayah tak percaya lagi pada sekolah
Pada rumah dan setiap air mata yang di kucurkan baginya.
Lanjing, 6 Mei 2000
STERIOTIPE AYAH
Siapakah ayah yang telah berani menjamah ibu, dalam
Kantong plastik suatu pagi, ibu ketika itu belum
Pernah memasak atau mencuci. Ayah di dapur ketika
Menemukan ibu membelah begitu saja di rak, di antara
Piring-piring, pecahan gelas seperi sebuah film
Yang menggoda ayah untuk terus mengikutinya.
Barangkali ibu saat itu hanya sebuah perkiraan ayah,
Terutama saat hari-hari ayah membeku dalam kulkas
Kertas tisu di situ juga sangat menggoda ayah untuk
Mengharapkan ibu, ayah terbelit kenang-kenangan,
Terjerat bayang-bayang ibu yang diam-diam juga
Ada di sana, menyaksikan peredaran darah ayah,
Menyaksikan ayah menyerah, mengiris bawang,
Memotong-motong kentang di celah-celah kaca.
Ibu barangkali tak pernah melihat ayah seceria itu
Saat ia mulai mencuci cetak fotonya dulu, yang
Terpenggal-penggal oleh kesulitan dan percintaan
yang sangat menohok ayah.
Betapa ayah bertapa, mengelupas menjadi gaib
Dan mantra,
Tapi siapakah ayah dalam pikiran ibu?
Nsaid, 17 Mei 2000
HIDUP DAN MITOLOGINYA
Hidup menjadi konteks yang sangat tidak enak,
menjadi semacam militanisasi ego sang pemilik
kekuatan, hidup hanya enak bila kita telah mati,
untuk merindukannya kembali sebagai kenang-kenangan.
Hidup hanya sebuah perjalanan kecil saja dalam upaya
Menuju totalitas kesempurnaan, hanya semacam
Penggalan hari libur atau mimpi yang sesekali terasa
Memberikan kesenangan, oleh sebab itu hidup tidak
Untuk di miliki oleh siapa-siapa. Karena hidup
Memiliki kehidupannya sendiri, memiliki kemerdekaannya
Sendiri dan hidup otonom dari keharusan-keharusan
Makhluk, karena makhluk hanya citra,
Hanya patner untuk bersama-sama pergi
Menuju sang yang Khalig, maha pencipta,
Tanah air sgala ssuatunya tempat segalanya berasal,
Berawal dan berakhir.
Uming, Mei 2000
KEMUNGKINAN KELAHIRAN
Bisakah sebuah sajak lahir di bawah teratak
Saat hujan turun menumbuk lantai marmer
Tergelincir menjadi kristal yang mengingatkan
Aku pada bulir-bulir airmata.
Bisakah sebuah sajak tanpa ayah
Tanpa dibuahi air dingin, angin dan musim
Yang pergi, menghilang entah kemana
Anak siapakah sajak, yang tergeletak
Berdarah-darah di atas kertas
Yatim dalam malam dingin, tertipu oleh
Waktu yang selalu mencetak begitu banyak
Figur ibu di dalam penjara.
Rumah Pak Albert Rufinus
Saat hujan, 30 Mei 2000
DUNIA ANTENA I
Ia keluar dari sejarah,
Menukik melampaui angan-angan, takdir dan
Perjanjian kita dengan waktu,
Ia melampaui segala sesuatu untuk menjadi
Abadi bersama Tuhan,
Menobatkan diri menjadi Pangeran
Meriap-riap menjadi hutan-hutan antena.
Siantan, 26 Juli 2000
IBU, AYAH DAN SANCA
Ibu kembali membaca sanca, di atas kertas tissu
Rumah sakit yang mengingatkannya kepada kematian
(ayah berkeliaran di sana, di antara sejumlah besar
daging yang berseleweran, terkatung-katung
mencari jalan pulang)
ibu kembali membaca sanca, menemukan ayah dalam
sepenggal surat nikah mereka yang memungut
anak-anak dalam keranjang sampah.
Ibu kembali membaca sanca, di dalam sebuah
Kwitansi merah,
Yang telah menobatkan ayah menjadi arca.
Korek, 28 Juli 2000
KWITANSI TERAKHIR DIWAJAH AYAH
Ayah tersenyum ketika menghadiri sebuah
Ceramah, ia mendengarkan hatinya yang
Bahagia setelah menikah.
Setelah ibu menjadi angin, gurun dan lembah
Ayah tersenyum saat pulang, singgah
Membeli sebuah bingkisan, melompat ke dalam
Rahim keseharian rumah, memeluk
Anak-anak dan mengisi kwitansi terakhir
Sebelum ia benar-benar rebah.
Ayah tersenyum......
Sungai Ambawang, 2 September 2000
REPORTASE
Katakanlah kita telah menjadi batu
Mengetuk-ngetuk pada tangkai kerumitan
Takdir yang memungutnya satu persatu
Pontianak, 25 September 2000
REPORTASE KOTA
Dikota ini jarang sekali ayah
Bertemu orang yang memiliki hati,
Hampir setiap orang kelihatan berjalan
Dengan dada yang kosong-melompong
Suara-suara yang keluar dari kerongkongan
Mereka terdengar aneh,
Seperti suara lempengan es yang di gergaji
Dan ayah melihat, tak satupun orang
Di kota ini yang mengenal dirinya sendiri.
Darat Skip, 6 Oktober 2000
REPORTASE TAKDIR
Di dalam kota
Ayah bergerak seperti orang asing kesurupan,
Mengunyah setiap persoalan
Yang tercampak ke dalam piringnya
Ayah terkadang harus merangkak untuk
Menuliskan takdir, memotret setiap
Pelosok kekejian,
Menyimpannya dalam sebuah sketssa.
Pontianak, 11 Oktober 2000
REPORTASE JEJAK
Ayah mewarnai jejak,
Melukis lekuk telapak pada tiap
Perjalanan yang menyeret-nyeret
Ayah kepada cinta dan kebencian
Ketika hujan ternyata ayah kehilangan
Semuanya, mencari penggalan kisah itu
Dalam kenang-kenangan.
Oktober 2000
PLAYSTATION DAN
Seperti ayah
Ia pun gugur meninggalkanmu
Ibu dan adik-adik yang terasing
Dari play station, menyentuh tombol-
Tombol pada dinding kelamin waktu
Yang merekah oleh rangsangan bumi,
Luka membiru.
Tanjung Pura, 11 Desember 2000
MITOS SEPOTONG DAGING UNTUK AYAH
Sepotong daging di atas meja telah mencegah
Ayah berdoa, mengurungkan sebagian
Dari kejujuran ayah untuk bahagia,
Sepotong daging dalam kulkas telah
Menggoda ayah untuk membekukan separoh
Dari tangannya yang di anggap bersalah
Bongkahan daging di balik sebuah Etalase
Di dalam kota telah membuat ayah
Mengurungkan seluruh niatnya
untuk menjadi seorang manusia.
Pospol Pasar Tengah, 12 Desember 2000
PERCOBAAN HARI KIAMAT
Langit berbusa,
Memberi jejak biru pada angin,
Pada pengelihatan semua orang
Dan pada burung-burung yang tersesat
Di cakrawala
Langit berbusa,
Ingin mengatakan risau,
Bumi tanpa Roh
Dan sepenggal doa
Pontianak, 25 Pebruari 2000
Sekali lagi terdengar olehku kau menyanyikan
lagu tua itu pada sebuah mikrofon rusak
disalah satu bangkai panggung pementasan
setahun yang lalu, ya. Setelah semuanya usai
kau tulis menjadi kenangan:
happy-happy New Year Baby!
Korek, 1 Januari 1999
MEMO CLANDESTIN DALAM SURAT
Wajah itu hanyalah bayang-bayang kabur
yang terlalu sering melintas bagai hantu-hantu
yang begitu pucat, dingin tanpa asal dan
alamat yang dituju.
Sintang, 6 Januari 1999
DURASI DOA
Bapa,
Seperti pagi yang telah menjadi santri bagi-mu
dalam kukuk ayam serta pelepah nangka
yang gelisah ingin mengucapkan salam;
“Selamat Pagi Bapa”,
seperti juga setiap pagi kuhidangkan sarapan
bagimu dalam doaku “Bapa Kami”, Amin.
Lundang, 12 Januari 1999
PONTIANAK
Hanya saja kota ini terlalu sepi
saat-saat aku melintas, ingin mengatakan cinta
atau tugu paralon yang masih saja lumpuh
oleh tatapan kita, bagai sejarah yang indah
yang memaksaku untuk kembali mengenangmu
hanya saja kota ini telah menjadi sepi
menjadi kubur dan sajak,
menjadi kenang-kenangan terakhir sebelum pergi.
Lundang, 14 Januari 1999
15 JANUARI DIBAWAH POHON KARET MATI
Yang pulang pun telah menjadi bayang-bayang
bagi yang pergi.
Lundang, 15 Januari 1999
INMEMORIAM LAKI-LAKI PERBATASAN
Batu-batu yang pernah kau pakukan didinding dada lelaki itu telah meleleh menjadi air putih bening, mengalir, mericik menuruni ngarai-ngarai bathinnya yang sepi,
kepada sebuah telaga yang selalu meluap oleh kasih sayang damai
yang terhampar indah direlung doa lelaki perbatasan
yang mengetuk-ngetuk kembali
pintu cinta itu untuk kembali.
Baning, 13 Agustus 1999
RINGAS INDUK
Disini,
kami memang merasa lebih dekat dengan matahari,
dan kami tidak boleh mencaplok angan-angan terlalu
banyak, demikianlah kami_mencoba mengenang engkau
dengan satu saja pikiran:_dengan atau pun tanpa
engkau, kami pasti mati.
Lobang hitam puncak ringas induk, 28 Januari 1999
MAAFKANLAH AKU, KALAU AKU JUGA CLANDESTIN ITU
Aku yang menjadi kaku,
berdarah-darah bersama-Mu,
sajak-sajak bisu dalam lubang pahatan tangan-Mu,
aku menjadi kelu, lelah bersama cinta,
kerinduan dan doa panjang
seorang lelaki bernama Wisnu.
Bernayau 1, 1 Pebruari 1999
MALAM SEBELUM AKU DILAHIRKAN MENJADI PERKARA
Apa yang ingin dikatakan kepada kenangan,
kepada serombongan fikiran yang tiba-tiba lewat
dalam gua.
Kecuali kata maaf serta ucapan selamat tinggal
yang abadi.
Lubang baru ringas induk, 4 Pebruari 1999
WISNU 26 th
Barangkali juga engkau ingin mengatakan
selamat pagi disini. Juga memberi ucapan
selamat ulang tahun untuk seorang lelaki
yang begitu lelah, begitu kelu dari sejarah ke sejarah
yang telah membawanya kembali, terbanting dalam
tabung takdir dan waktu yang tak pernah benar-benar
terkejar, berlari.
Barangkali juga tidak seperti
yang tengah aku pikirkan tentang engkau
di atas ketinggian bumi ini,_dimana aku pernah
merasa lebih dekat matahari.
Selamat pagi Tuhan, 26 tahun aku menanti
dengan cemas dan gelisah yang hampir abadi.
Selamat pagi Jesus, selamat pagi.
Puncak ringas induk, 5 Pebruari 1999
KECUALI “0” minus
Kecuali kalau dada itu cuma kereta
yang meluncur cepat, dingin kaku dan
tanpa aba-aba.
menukik tajam bagai panah ke lambung--rahim sejarah yang berdarah-darah,
menyerah ke dalam perhentian cinta, takdir, dan
air mata abadi.
kecuali kalau dada itu cuma kertas putih
kosong dan sepenggal sajak tentang
cinta, takdir dan air mata abadi
Baning 6 Pebruari 1999
Ex-LAGU BARU
Sikat gigi, terbang tinggi
naik turun diatas awan,
mari-mari bunuh diri
nyanyikan lagu di pemakaman.
Pontianak(P. Kapuas Besar), 9 Pebruari 1999
ANATOMI PERKAWINAN WISNU
Kekasihku,
kupinjam hatimu, tanganmu, mata
dan seluruh tubuhmu untuk mengatakan rindu,
kupinjam juga sayap ruhmu
untuk membawa semua cinta kepada
dada yang abadi.
Korek, 14 Pebruari 1999
DURASI DOA 2X24 JAM X2
Bapa di surga,
sungguh pada hari ini, Engkau telah
membabtis kami dengan ruh abadi,
dan air mata kami sendiri
Korek, 15 Pebruari 1999
DURASI PERPANJANGAN WAKTU MEMINJAM DARI TUHANMU
Hanya cinta, ya sungguh barangkali hanya cinta
yang akan mampu membuat engkau dapat melihat,
merasakan dan mensyukuri semua dengan semua
akan kerinduan semua.
Pontianak, 28 Pebruari 1999
ORATOR CLANDESTIN
Hari-hari yang melesat dengan deras di keningmu,
mengingatkan aku bahwa masih ada dunia yang belum
terjamah disini, dunia yang begitu dekat dengan kita
menyongsong separoh dari cerita dan usia yang entah
pergi kemana.
Hari-hari mengalir, dingin menjadi fosil batu
yang barangkali kita rindukan, itu.
dan ia sudah mengirim bebrapa pucuk surat penuh catatan.
Tercetak tebal dalam sejarah yang pernah kita jelajah
dalam sisa purnama.
Berkubung, 10 Maret 1999
DOA CLANDESTIN MODERN
Tuhan, terpaksa aku melubungai bumi-Mu,
Memahat impian dalam gelap,
membelah setiap keping persoalan dalam gua-gua buatan,
Mencipta lorong cita-cita yang dalam dan disini pun
Aku masih mencoba mencintai-Mu
Berkubung, 17 Maret 1999
BUKANKAH GERIMIS SELALU BEGITU?
Akur rindu, Lidia
Meliris gerimis sore ini menjadi dawai doa
Dan nyanyian, menjadi sajak yang sempurna untukmu.
Aku rindu, Lidia sungguh.
Aku ingin meniti alur-alur biru yang basah dalam perkawinanku
menua sulur-sulur cinta yang kekal di dadamu
Dalam hening gerimis yang sunyi sendu
Bernayau, 19 Maret 1999
DILARANG PARKIR DI ATAS AWAN
Adalakah yang masih engkau sembunyikan disini
Dalam keping-keping hening batu hitam ziarah kepada kemusnahan dan dukamu
Dari akar-akar yang terbantun penuh penyesalan, berlari menjadi impian dan cerita.
Aku juga mencoba membayangkan sisa kepurbaan yang terjamah oleh angan-angan dan persoalan dalam bising dan kertak kepala pahat yang menyayat-nyayat dalam gua sampai sekarang.
Ringas Induk, 22 Maret 1999
SERAMBI AMPAR KEDANG KOSONG
Bulan sepertiga, berdarah-darah ingin mengatakan
Cinta, memahatkan khyalan-khayalan kecil
Pada sebuah serambi pertemuan, sajak tentang
Tuhan dan air mata
Ampar Kedang, 24 Maret 1999
DILARANG PARKIR DEKAT MATAHARI
Hamparan dunia telah mencegahku untuk pergi kemana-mana, menahan beratus-ratus keinginan yang berebut keluar dari liang persembunyian di sana,
Dekat sebuah ingatan dan kesadaran akan sebuah sejarah yang begitu indah dan juga tua
Terpasung di dalam beratus-ratus prasangka kecil akan tuhan
Dan derita yang meluncur begitu deras bersama waktu ke dalam sebuah pusaran
Abadi menuju kesuatu tempat yang entah dimana
Bernayau, 25 Maret 1999
OPEL 12 KILO: Clandestin
Barangkali itulah sebabnmya
Mereka selalu berlomba-lomba mencari gua,
Mengebor bumi, mencari matahari yang lain lagi
Berkali-kali itulah sebabnya mereka selalu terbiasa
Terbang, menerobos begitu banyak lamunan
Mereka kepada dinding-dinding batu disitu,
Menerobos semakin jauh ke pusat angan-angan mereka,
Mencari tuhan yang lain,_barangkali itulah sebabnya mereka terbiasa berdoa dengan mata pahat, dengan tungkai palu yang setiap saat selalu siap mencetak surga,_begitu banyak sajak duka, dan barangkali itulah sebabnya
Air mata itu abadi......
Semadak, 6 April 1999
Anatomi Angin Pegunungan Persi I
Kadang-kadang pun hanya angin yang menerobos menemaniku ke dalam hening lubang batu yang bersuit-suit panjang bagai nyanyian
Sajak terpanjang yang berkisah tentang jejak cahaya, sebuah harapan untuk segera pulang dan bercerita,
Air mata Lidia, air mata Lidia, air mata
Ringas Induk, 17 April 1999
Anatomi Angin Pegunungan Persi II
Tetapi dari mana angin datang
Dan kemana ia pergi
Yang menyebabkan pohon-pohon tumbang
Membunuh orang-orang yang kami cintai
Muran Susur, 18 April 1999
Anastomi Angin Pegunungan Persi III
Angin pegunungan bagai panah,_melesat ke setiap arah,_ dalam kabut yang membalut wajah kami dari luka dan cinta
Meski kami sudah rebah di atas tanah ini:
Sunyi
Berkubung, 19 April 1999
Anatomi Angin Pegunungan Persi IV
Kadang-kadang angin pun berunding ingin menghempaskan pohon-pohon,
Ingin mengguncang puncak-puncak gunung
Yang pernah menghianati persahabatan mereka
Kadang-kadang terfikirkan bahwa itu pun sia-sia, mereka sudah terlalu lama bersama
Dalam sajak dan nyanyian
__puisi abadi dalam damai serambi pertemuan bumi__kampung halaman
Ringgas, 25 April 1999
Anatomi Ayah Indonesia Pasca Revolusi
Ayah pernah menjajah sekumpulan anak-anak muda, menggenggam rotan belati dan menyesah kami kedalam hutan belantara. Ayah masih sangat muda waktu sudirman di tangkap. Sering kali ayah inginjadi tentara, berhari-hari Ayah sakit karena ingin selalu masuk hutan. Ayah tidak lagi mengajar saat itu. Bagi ayah sekolah adalah markas, ayah telah menjadi fenomena peranag, seringkali ayah mengigau menjadi pahlawan (itulah sebabnya ayah mengidam-idamkan senjata). Beberapakali ayah di tangkap dan dipukuli, tapi ayah tak pernah jera, malahan ayah kelihatan semakin gagah dalam seragamnya. Setiap malam ibu hanya bisa menangis melihat ayah berdarah-darah tapi ayah tak peduli, ia semakin rajin kesekolah melati_menggembalakan sepasukan pramuka, berkemah, menggali tanah, menulusuri jejak dan membunuh setiap orang yang pernah memaksa mereka menyerah diwaktu muda. Ayah begitu gigih membela tanah airnya, dari PRRI sampai dis integrasi. Ayah sudah berpuluh-puluh kali di bunuh sebagai contoh bagi yang membangkang. Tetapi ayah selalu saja lahir menjadi potret berseragam, menjadi guru, menggenggam rotan dan belati. Setelah ibu mengandungkan kembali ayah,
Ayah semakin banyak membelah, melahirkan beraneka ragam jenis ayah, ayah yang selalu ingin menjadi atau, merdeka selalu. Demikianlah ayah pernah menjajah dirinya sendiri disitu. Abadilah ayah, abadilah ayah.
Abadi.
Baning 8 Mei 1999
ALAIKA LIDIA
Kepada sesuatu yang tidak menjelaskan apa-apa
Telah kuletakkan kepercayaanku untuk terus mencintaimu,
Selama-lamanya,
Lidia.
25 Mei 1999
Ambique of Pohon Ara
Yang kamu lihat adalah angin yang berlari,
Jejak yang mengisahkan sekawanan burung
Pohon-pohon yang memberi pengertian pada bulan
Buah-buah pengetahuan tanpa rasa
Dan yang kamu lihat
Adalah segala-galanya,
Dunia tanpa tangkai, tanpa cabang-cabang
Atau batang yang mungkin bisa menjelaskan
Sebuah cerita tentang sebuah masa lalu
Yang tak berayah, tak berbunda.
(Ampar Kedang) Ringas, 1 Juni 1999
INMEMORIAM CACINIT,
Tuhan, suatu hari kelak
Barangkali aku akan rindu kepada
Bukit-bukit batu itu.
Kepada beratus-ratus gua pahatan
Di kedalaman perut bumi-Mu.
Barangkali akupun akan rindu
Kepada warna-warna tenda itu,
Kepada irama pahat dan kertak palu
Yang membuat aku selalu teringat
Akan dikau.
: ngilu.
Lubang Ampar Kedang, 8 Juni 1999
GERONTOLOGI MANUAL
Tuhan Jesus,
Mengapa hidup hanya membuat kami
Merindukan kematian berkali-kali,
Mengapa ?
Baning, 10 Juni 1999
Catalog Istri I
Bila selalu saja ada yang kau pikirkan
Tentang fenomena seorang kekasih
Saat-saat tubuh masih terbalut seragam putih
Dan cinta adalah seorang pahlawan
Cetaklah nostalgia itu sebanyak-banyaknya
Sebagai kenang-kenangan
Supaya boleh juga ia menjadi sajak,
Menjadi suami dan anak-anak yang barangkali
Sepanjang tahun akan brlari-lari, akan kau
Baca sebagai kisah peperangan terpanjang.
Baning, 11 Juni 1999
Catalog Istri II
Ketika ia menjadi suami, ia mulai belajar menulis puisi,
menumpahkan tintah pada kertas setiap hari
sekedar memberanikan diri untuk mngatakan
keinginannya kepada kenangan-kenangan kabur
akan seorang perempuan yang sekarang
Di sebutnya sebagai istri (tercinta).
Baning, 16 Juni 1999
Rembulan Dalam Kaca
Nasehatilah rembulan, sebab ia sering merayu awan-awan
Yang pulang menjelang sore di setiap senja.
Nasehatilah rembulan,
sebab terlalu sering ia kedapatan menggagahi malam menjelang pagi dari kota ke kota.
Nasehatilah rembulan, supaya jangan ia kehilangan keindahan.
Nasehatilah rembulan, supaya ia tetap layak dirindukan
Seperti nyanyian atau iklan di layar-layar kaca
Sintang 26 Juni 1999
Rembulan dalam Karung
Belilah rembulan supaya kota ini jangan kehilangan cahaya,
Supaya kita bisa berjalan-jalan sepanjang malam,
Memotret langit dengan beratus-ratus lensa.
Supaya kita jangan kehilangan ilham saat-saat
Ingin menulis sajak
Belilah rembulan sebab lisrik sering padam ketika
Anak-anak masih ingin membaca
Belilah rembulan tapi bukan karena iklan-iklan
di TV itu yang memujinya dan belilah rembulan
supaya karung-karung di gudang itu penuh
Dengan sebuah nama;
Pontianak (diatas motor Dinasty Ptk – Sui Ambawang)
28 Juni 1999
Angsa Putih dan Nyanyian Lamanya
Tidak mudah untuk menemukan danau itu
Kembali setelah bertahun-tahun ia pergi
Dan perjalanan telah melumpuhkan ingatan.
Tanah yang kehitam-hitaman, hanya
Cakrawala yang masih biru disitu,
Luput dari cuaca, tahun-tahun yang melaju
Bersama musim diatas lembah
Dan burung-burung yang terbang
Entah kemana.
Korek, 29 Juni 1999
Bulan Dalam Kardus
Seperti biasanya cahaya merambat, menyusup
Kedalam tirai : jendela dan kereta yang
Merayap perlahan-lahan membawa berkardus-kardus
Rembulan keluar kota menyusup kedalam kabut
Seperti biasanya, toh tinggal kertas-kertas
Kwitansi itu yang lupa kau tanada tangani
Ketika kardus-kardus itu dimuat kembali
Keatas truck dan alamat sudah tercatat rapi
Seperti biasanya, kita tinggal menunggu ratusan
Bulan instan yang berguguran dari langit.
Pontianak 2 Juli 1999
Exs – Provokator Mr.
Plastik-plastik itu sudah terlanjur dicetak,
Diberi warna agar tamu-tamu tidak
Kehilangan selera,
Musik pun sudah digelar dalam ruangan
Penuh bau farfum dan pesta
Lampu-lampu itu beberapa kali
Muncul tenggelam dan muncul kembali,
Menyusun kalimat yang menghasut, memanas
Manaskan suasana :
Hidup Mega !
Hidup Mega !
Ledo, Juli 1999
Aku Mengoreksi Kebahagiaan
Hanya sebatas garis tipis,
Kebahagiaan itu telah membanting-banting dirinya,
Merobek tabir-tabir sunyi yang sudah 20 tahun
Lebih membungkus kesadaranya untuk mengerti,
Hanya sebatas garis tipis.
Entah bagaimana kebahagiaan itu tiba-tiba menyeruak,
Menerobos masuk kedalam relung-relung kosong di pusat
Dasar jiwanya.
Hanya sebatas garis tipis,
Barangkali ia memang tak sanggup menerimanya sebagai
Suatu paket hadiah yang teramat besar
Dan berbahaya,
Cinta atau dosakah ?
Entah.
Baning, 10 Agustus 1999
Catalog Istri III
Istri terkadang seperti buli-buli yang penuh terisi,
harum bagai kaleng-kaleng
farfum, _ dingin
dan berkilat-kilat bagai belati.
Jetak, 15 Agustus 1999
Karena Besok Kamu Pasti Kesana Juga
Aku mencintaimu Clara,
Seperti bulan yang menepi pada kaki-kaki bukit,
Dalam kabut,
Seperi ketika untuk pertama kali aku mencintaimu
Aku mencintaimu Clara, seperti juga Manuel
dan Don Bosco yang telah di terjang peluru
Saat membebaskanmu di kaki Ramelau itu.
Seperti juga Dominggas yang telah menyerahkan
Kepalanya untuk menebusmu.
Aku mencintaimu Clara seperti juga aku telah
Mencintai semua Clara yang setiap saat terlahir,
datang dan menghilang di timur Lorosai itu
Aku mencintaimu Clara dan barangkali
terlalu aku mencintaimu dalam kematian dan hidup
Aku hanya tahu bahwa aku mencintaimu dan masih...
Sintang, 20 Agustus 1999
Aku Mengoreksi Hujan
Hujan membuat bumi ini seperti perawan,
Sendu dalam potongan-potongan waktu
Yang perlahan-lahan gugur,_ runtuh
Menyentuh damai keheningan semesta
Yang abadi.
Pontianak, 28 Agustus 1999
Aku Mengoreksi Slogan-Slogan
Sesunggunya slogan-slogan itu adalah
Tidak perlu seandainya kita tidak sedang mabuk
Mengubah kelamin menjadi banci,
Majemuk seperti lonte, berputar-putar aneh
Dalam suatu persenggamaan panjang dengan
Republik ini,
Sesungguhnya slogan-slogan itu adalah tidak perlu
Sama sekali.
Sintang , 8 September 1999
Aku Mengoreksi Awan
Awan adalah kebohongan, tirai yang menutupi habis adegan
Demi adegan,
Bulan yang bersenggama diudara _ melahirkan
Gerimis september yang celaka,
Awan adalah kebohongan,
Nasip yang terkulai pada penantian dan sepi,
Ranting pun menjadi hening _ saat ia pulang dan
Bercerita kembali, sunyi Asriyadi
: sunyi.
Baning, 15 September 1999
Aku Mengoreksi Buah-Buahan
Buah langsat dari Punggur telah
Membuat ia begitu bangga, biar busuk
Bagi pedagang harganya bisa lebih dari
Sekilo bawang, ia jadi ingin menanamkan
Modal, disitu ia juga menanam kebencian.
Hati-hati; langsat bisa jadi bangsat di jaman
Sekarang
Barangkali itulah juga sebabnya durian di Pahauman
Terkadang sedikit, terkadang juga banyak
Oarang-orang menghilang kedalam hutan, pernah,
Itu pernah,_ Singkawang-Tebas-Samalantan-
Begitu menyakitkan,
Hati-hati ;
Durian walaupun enak bisa mengganggu pernapasan,
Duriannya tajam mematikan.
Sayang, sungguh sayang buah-buahan enak
hanya bisa di jadikan angin-angan di jaman sekarang.
Baning, 16 September 1999
AKU MENGOREKSI KOLAM
Ingin sekali mereka membuat kolam
Menguras air, lalu menyanyikan lagu selamat datang
Tentu sia-sialah merumuskan ikan,
Hakikat air yang dituang dari bejana,
Tentu sia-sialah semuanya,
Tentu sia-sialah semuanya,
Ingin sekali mereka membuat kolam,
Membunuh keinginan untuk pergi,
Lalu menyanyikan lagu selamat pagi,
Meski tak sanggup mereka merumuskan hakikat ikan
Hakikat air yang getir,beku saat di telan.
Sia-sialah semuanya.
Sia-sialah semuanya
Sintang, 21 September 1999
AKU MENGOREKSI JAKARTA
Bulan bila bercadar hanya menampakkan
Benjolan-benjolan datar, hilang dalam ilalang _
sejarah yang menumpahkan darah _
Logam dan secarik kertas rahasia.
: tanah air, tanah air adalah kerikil
yang mencair, menjadi serbuk
dan air mata.
Sintang, 24 September 1999
TERRA INCOGNITA
Aku sangat tidak berminat melihat
Mereka yang telah membakar hangus nurani rakyat, ya
Aku sangat tak berminat ketika kebohongan itu mencaplok
Habis indonesia,
Dada mereka menjadi bolong, tinggal keadilan berputar-putar
diudara, merdeka, melonglong tanpa suara,
Barangkali indonesia hanya sehari menonton dirinya sendiri
Yang menggelepar di televisi, ingin menyanyikan pengakuan
Ya, aku sangat tak berminat melihatnya
Disini : distorsi _ demokrasi disekap dalam tabung _
Dicetak menjadi germo, menjadi gundik mereka yang
Berbisik-bisik ketika indonesia di paksa menyerah setiap
Hari, setiap pagi di televisi, diperkosa berita-berita
Diatas meja diantara mimbar-mimbar dan aku semakin
Bersungguh-sungguh sangat tidak berminat melihat
Tanah air mengalir _ cair seperti timah yang tumpah
Kedalam api _ mereka begitu bangga melihat rakyat
Terkerat-kerat dari hari kesehari. Aku sudah melihatnya
Dan semakin sungguh-sungguh tak berminat melihat apa-apa.
Sintang, 28 Oktober 1999
DEFINISI AYAH
Barangkali ia hanyalah seorang ayah
Yang berubah-rubah menjadi perabot, menjadi kardus atau
Apa saja, ayah yang selalu saja sekolah, belajar dan olah raga,
Tapi nyatanya ayah tak pernah benar-benar selesai membaca,
Padahal seorang ayah seharusnya sudah memiliki ijasah,
Memiliki rumah, uang di bank dan bekerja
_ tapi ia hanya sebuah keranjang sampah, miskin dan
menderita : ataukah ia telah bersalah menginginkan kisah
ayah-ayah lain, ayah-ayah yang begitu tenang, damai
dan bahagia _ atau barangkali ia hanyalah seorang
ayah yang mencoba menjadi abdi,menjadi sesuatu
yang tenang dirahang bayang-bayang cahaya.
Baning, 30 Oktober 1999
LINDU INGAR GAGAS KENISAH HENING TAPA
(Lindu kenisah hening tapa)
Gari-garis gerimis terputus,mengelupas di atas kaca,
Terkerat bersama tirai di jendela
Setelah engkau melintas _ tinggal jejak dan aroma _
Yang terkemas dalam selembar kertas
Menarik-narik aku untuk kembali membaca.
Sementara angin menukik, memanggil-manggil
Ganjil sebuah nama.
Baning, 1 November 1999
SENTIMENTIL AYAH
Ayah selalu berdoa, memecah-mecah rotinya
Sendiri mengucap syukur serta bernyanyi
Di antara altar tua dan tangga
Yang selalu mengantar ayah
Kekeheningan abadi.
Baning, 3 November 1999
HIRARKI AYAH
Anak telah begitu saja menobrak dinding ayah,
Mencetuskan ide-ide untuk merdeka,
Anak begitu saja menghambur ke dalam jagat
Yang melilit-lilit pusar ayah,
Menyeretnya ke dalam hening, kedalam kuda-kuda
Waktu yang siap menghentak
Ketika kita semua lengah,
Tenggelam semakin jauh
Kedalam setiap upacara.
Baning, 3 November 1999
SILSILAH AYAH
I
Inilah sililah ayah :
Ayah memperanakan ayah, memperanakan ayah,
Memperanakan ayah, memperanakan,
Memperanakan ayah, memperanakan ayah,
Memperanakan ayah, dan seterusnya.
II
Ayah memperanakan ayah, memperanakan ibu,
Memperanakan ayah dan ibu, memperanakan aku,
Memperanakan dia, memperanakan mereka,
Memperanakan mantera.
III
Ayah memperanakan anak, memperanakan cucu,
Memperanakan cicict, memperanakan buyut,
Memperanakan bangkai-bangkai yang hanyut
Sampai ke muara.
IV
Ayah memperanakan anak, memperanakan anak kandung,
Memperanakan anak tiri, memperanakan anak haram jadah
Memperanakan darah dan air mata.
V
Ayah memperanakan sekolah, memperanakan perkantoran,
Memperanakan jbatan-jabatan, memperanakan proyek-proyek,
Milyaran rupiah memperanakan dana, memperanakan kebocoran,
Memperanakan pengangguran, memperanakan demonstran,
Memperanakan peluru dan gas air mata.
VI
Ayah memperanakan sejarah, memperanakan sajak,
Memperanakan penderitaan, memperanakan apa saja
Yang kemudian menurunkan keturunan-keturunan aneh
Yang tak lagi memahami bahasa manusia.
(mungkin ayah lupa mencatatnya).
Baning, 4 November 1999
VIRTUAL AYAH
Belum lagi kukenal wajahmu, tetapi telah sangat
Membuat aku rindu, setengah mati aku rindu _ ingin
Berlari juga aku menyongsongmu, memeluk sosok yang
Memanggilku. “ayah” _ tapi entah kamu sudah
Sampai dimana anakku?...atau aku menulis surat saja
Dulu supaya aku mengetahui tanggal berapa kelak kamu
Akan datang, biar ayah tidak kikuk, ya biar ayah tidak
Selalu gelisah dalam sembahyang.
Baning, 10 November 1999
AYAH KEMBALI MEMBACA KACA
Ayah menanti disitu, melihat kesetiap sudut,
Melihat-lihat beling yang dibuang dan kedalam kaca,
Mencoba menterjemahkan bayang-bayang yang bergerak,
Ayah masih menanti saat-saat yang tepat untuk menyapanya,
Menepuk-nepuk bahu dan mengatakan cinta,
Bersamanya ayah ingin sekali membaca, berlari,
Barangkali juga hanya sekedar untuk menulis sepucuk surat,
Hampir setahun ayah menanti, melihat-lihat lagi
Papan pengumuman , membaca kaca-kaca pecah,
tintah yang tertumpah mengukirkan sebuah nama :
baning, 11 November 1999
ASAL-USUL AYAH
Jika kamu bertanya :
Dari mana ayah datang? ayah datang dari koran,
dari email, dari modem atau dari dalam hutan.
Ayah lahir begitu saja ketika ibu nonton iklan
Obat perangsang. namun ayah adalah sosok yang ramah,
Ia tak pernah lengah untuk tersenyum saat mengulurkan
Lengannya untuk berjabat tangan: “apa kabar?”,
(terasa waktu pun memanjang, ayah adalah sebuah
panorama yang hilang ditelan berita dan cerita iklan,
yang membengkak mendesak-desak ayah untuk membeli
tiket, memesan oleh-oleh untuk dibawa pulang)
tapi ayah selalu terlambat untuk hadir dan menghilang.
Baning, 12 November 1999
WWW. AYAH. COM
Begitu ingin ayah memelukmu mengucapkan selamat datang
Dan kamu malu-malu menceritakan persoalanmu,
Barangkali ayah pernah dan masih mungkin akan masih
Menyakiti hatimu.
Maafkanlah ayah, karena ayah lengah, terkadang ayah
Tak lebih juga dari sesosok makhluk yang mudah gelisah.
Begitu ingin ayah mengajakmu berdoa di kapel tua itu
Menyaksikan burung-burung pulang,
Meninggalkan bayang-bayang pada jalan setapak,
Di suatu sore, begitu ingin ayah menceritakan padamu
Bahwa cinta selalu begitu saja sudah dilahirkan dan dibunuh.
Baning, 13 November 1999
NOVENA AYAH
Ayah ingin sekali rebah dan mati
Kalau sandainya kamu tidak datang, yang selalu
Mengingatkan ayah untuk bedoa dan sembahyang,
Bapa dimana pun engkau adanya,
Berkatilah Lindu anak-Mu, berkatilah juga hari
Kelahirannya dan masa depan kami bersama,
Apabila engkau berkenan biarkanlah ia engkau pilih
Menjadi saksi bagi-Mu, bimbinglah ia
Dalam kuasa roh kudus-Mu, dan berikanlah juga
Kepada kami kedua orang tuanya berkat dalam
Mendampinginya dengan cinta,terjadilah menurut
Kehendakmu bagi kami sekarang dan selama-lamanya. Amin.
Baning, 14 November 1999
AYAH DIGITAL
Biarlah ia berjalan-jalan sejenak
saat kota telah sepi, Saat kabut dinihari mulai gugur
bagai kristal menyentuh lampu.
Biarlah ayah akan menemukan kamu diantara
Ruang dan sekat-sekat waktu dimana baru saja
Engkau akan mengetuk-ngetuk dan ayah telah lama ingin
Melihat seseorang berdiri disitu, tersenyum-senyum; _
Pasti ia pernah membayangkan itu,
Menyimpannya dalam dada, (sangat lama)di sebuah
Ruang tunggu sampai cerita itu diulang.
Terbang menjadi seekor kupu-kupu :
Baning, 16 November 1999
SELAMAT DATANG ANAKKU
Hari itu tak kutau kau datang mengetuk-ngetuk
Pintu dada ayah, menjinjing tas plastik putih
Menyodorkan sebuah alamat seperti orang yang tersesat,
“selamat siang ayah !
“pernahkah kita bertemu sebelumnya?”
entahlah...
Tanjungpuri, 17 november 1999
Catatan : Kelahiran Lindu jam 19.10 WIB hari Rabu.
AYAH VIRTUAL
Dengan malas ayah memproklamirkan negaranya
Didepan layar monitor dan segelas kopi dingin yang
Tinggal setengahnya.
Ayah menekan beberapa tombol menghubungi beberapa rekannya
Entah di pulau lain, di laut, di dalam hutan atau di angkasa
Ayah membaca teks proklamasi itu seperti membaca rekening
Tagihan listrik, ayah hanya mengenakan sarung saat
Melahirkan negaranya yang menyeruak bagai tunas diantara
Slogan-slogan perdamaian dan pucuk-pucuk senjata,
Ayah menguap dari tempat duduknya: apa boleh buat
Ia sudah tercatat sebagai presiden utopia yang pertama.
Selamat untuk ayah.....
Baning, 19 November 1999
MEMPAWAH
Melintasi sungaimu,
Aku teringat sesuatu yang pernah hilang disitu
Bersenyawa dengan udara, menjadi serbuk-serbuk
Waktu yang pergi _ tua dalam kertas catatan
Dan ingatan kepadamu serta tanah amanah yang
Pernah memberi tempat dan alamat untuk dituju
Mempawah, 26 November 1999
SINGKAWANG : CATATAN AYAH YANG HILANG
Keputusan itu telah memaksa ayah untuk menunggu,
Menggeliat dalam kepompong takdir memanjang,
Jalan-jalan yang hilang membuat ayah ingin sekali
Pulang dan menjelaskan semuanya kepadamu
Barangkali juga hanya sekali saja ayah memotretnya
Meluangkan saat-saat tanpa mengeluh,
Ayah menyusuri kota dalam gerimisdan sisa cahaya saja
Yang terkemas menjadi sekedar oleh-oleh ayah
(tak akan lagi daun-daun itu larah saat ayah melangkah
meninggalkan kota).
Singkawang, 27 November 1999
PELECEHAN FORMULIR
Sebenarnya ayah bisa saja menolak menjadi Bupati
Karena sama sekali ayah tidak terlibat G 30 S/PKI,
Tapi sanggupkah ayah membela diri di kertas
Formulir yang mereka sodorkan.
Nyarungkop, 28 November 1999
KONSPIRASI AYAH
Bagi yang mempercayai konspirasi ayah
Pasti telah merencanakan sebuah masa depan
Yang lebih baik, menyusun jadwal dan
Mempersiapkan hal-hal kecil lainnya untuk
Menyongsong kedatangan ayah
Bagi yang mempercayai konspirasi ayah
Tentu sudah lama membuat trik-trik
Persengkongkolan, mencoba berkomplot menaklukan
Takdir, mencekik mimpi setiap malam di atas
Kasur masing-masing sebab pasti ayah akan berputar-putar
diatasnya seperti mesin waktu yang menghitung kegagalan
: dunia terasa semakin tua dan sakit-sakitan di dalam
catatan harian ayah.
Korek, 30 November 1999
SKETSA KARTU NATAL AYAH
Potret hitam putih ayah masih di lemari
Ketika kamu datang menjelang natal
Untuk menjenguk ayah
Sepertinya ayah baik-baik saja,
Semakin tua dan mulai berdarah-darah.
Korek, 1 Desember 1999
LAGU INDONESIA UTOPIA
For more information : connect at : http/www.lindu.com
Ketik saja, maka akan terbaca dalam bingkai
Sebuah nama : HEDWIGIS NOVELLINDU HENING
“selamat datang di dunia kami;
Ada mama, ada papa; selamat pagi semuanya,
Selamat pagi indonesia, selamat pagi aceh,
Selamat pagi ambon, selamat pagi jakarta,
Selamat pagi pertikaian,” (enter)
.....kunyanayikan bagimu lagu indonesia raya, ya ?
Sintang, 4 Desember 1999
Presiden itu memberanikan diri memesan roti,
Aku merasa bersalah juga telah memperolok-olok dia
Tentang harga mentega dan terigu persis ketika
Gus dur muncul di TV Filipina ketika GAM
Mulai mengelar foster-foster.
KULTUS KEBANGUNAN YANG HILANG
Lagu-lagu kebangsaan itu,
sekarang lebih mirip sebuah sindiran,
sebuah spekulasi ringan yang akan
mengingatkan seseorang pada sejarah,
kepada 28 oktober dan yel-yel lainnya
di buku-buku pelajaran anak sekolah
lagu-lagu kebangsaan itu, sekarang hanya
terasa sebagai bunyi-bunyian biasa yang
tak lebih baik dari sebuah lagu dangdut
yang direkam di pita kaset.
“Indonesia tanah air siapa......?
Baning, 8 Desember 1999
WARTEL PASS 12
Kosongkan sore,
Biar angin bisa lewat menjemput daun mangga
Yang mulai merenggangkan tangan-tangan kecilnya,
Tapi sungguh keterlaluanlah hujan,ia menculik daun
Dan melarikannya ketempat yang jauh,angin begitu
Merana dan hanya bisa mencium jejaknya di tanah,
Sepanjang cerita sore begitu tenang, berjalan-jalan
Dihalaman, dalam ruangan mengitari rumah
Sintang, 10 Desember 1999
MITOS-MITOS FOTO COPY AYAH
Orang-orang akan melihatnya sebagai sebuah potret ayah
Bayang-bayang yang bergerak sepanjang ruang
Dalam jubah panjang menyentuh tanah (di taman)
Barangkali itu bukan seperti gambar ayah yang selalu
Dan sudah engkau idam-idamkan, tahun-tahun ayah
Adalah tombol-tombol dan layar monitor, perintah-perintah
Yang melahirkan sejarah di dalam tabung kaca
Semacam instrumen-instrumen kecil yang telah melahirkan
Jejak di Hanger.
Dan orang-orang akan melihatnya seperti potret ayah juga
Begitu indah dalam bingkai monitor, famlet gelap
Yang tersusun sangat padat dalam sebuah jaringan
Sistem di luar batas kemampuan engkau untuk menemukannya,
Ayah adalah merk latop yang di jual murah di mana-mana.
Baning, 13 Desember 1999
KULTUS PEMBEDAHAN AYAH
Sejarah membelah ayah,
memotong-motong semua persendian dari impian ayah,
nyanyikanlah mazmur bagi ayah yang telah di arak
dalam peti jenasah. Kasihan ayah ia harus pergi berlari
singgah dari rumah ke rumah.
Sejarah memang telah membelah ayah, menyeret-nyeret
tali impus ke kakus, seluruh tubuh ayah telah lumat
dalam loyang putih dan tirai, sejarah mencabik-cabik
ayah menjadi potongan-potongan, bertumpah-tumpah darah
ayah mengalir ke wastafel lewat selang kedalam liang
kematian ayah.
(semoga lekas sembuh ayah...)
sintang, 15 Desember 1999
SERIBU ULANG-ULI
Perahu-perahu menjadi cerita disitu,
Bergerak dalam alu-alur tak dikenal dan setiap orang
Seperti berlomba-lomba mendayungnya menjadi
Sesuatu yang teramat berkesan, kisah terpecah-pecah,
Bertumpah-tumpah menjelang penyebrangan dan
Pantai seperti muara, disitu pukat, jala di rentang,
Ditarik-tarik; berlari membenarkan letak alamat
yang di catat di atas warna kanfas 1000 ulang-uli.
Sintang, 17 Desember 1999
SINDROM AYAH
Ayah meludah dari jendela,
Ketika angin melintas mengebaskan tirai _
Sendu seperti waktu-waktu yang selalu
Lewat di situ mencari-cari wajah ayah
Di beranda yang kini telah menjadi
Semak belantara.
Sintang, 18 Desember 1999
Catatan Sisa Keberanian Ayah untuk Pulang
1
ayah pulang dalam keadaan bimbang,
merasa segala sesuatu telah hilang
tumpah menjadi bayang-bayang ayah yang lain,
2
ayah memerah dalam rona lampu yang
mengebaskan fikiran-fikiran jalang ayah
kepada dunia malam yang sepi; lara ayah, lara
semakin hari ayah kian gugup saja
menyiapkan sarapan di meja ketika waktu
tidak lagi berdetak memanggil namanya.
3
ayah pulang dalam keadaan yang teramat jingga.
(P. kapuas besar) Pontianak, 22 Desember 1999
NATAL AYAH
Telah kugantungkan kembali kaos kaki itu
Di slah satu ranting yang salah,
Yang selalu membuat aku terkenang akan
Kandang natal dan ziarah.
Korek, 25 Desember 1999
= 00
Lagi, aku menyeret-nyeret bangkai
Waktu itu kembali,
Setiap tahun, setiap tahun
Ketika ia pergi; menjadi kisah,
Menjadi fosil dan kenangan yang abadi
Korek, 1 Januari 2000
PAKET AYAH 1999
Berlari ayah,
Tak mau menyerah pada paket yang telah di kirim
Melewati batas tahun ke tahun perjuangan
Orang-orang yang berbondong-bondong menyerah
Orang-orang yang mengutak-atik kalender
Dan menarik diri dari peredaran
Sementara ayah masih di sini melompati magnit-magnit dan besi,
Gelisah dan sakit bersama bumi, ayah belajar menikmatinya;
Air mata dan kaca, nyeri dan pelatuk dosa yang berkali-kali membunuh ayah,
Memberi tali kekang pada moncong pikiran-pikiran sehat ayah, tapi ayah
Tak pernah menyerah pada krido takdir, konspirasi
Yang bertahun-tahun telah berusaha menjebak ayah,
Setiap hari, sampai ayah lelah
Tapi ayah masih berlari mencari pepohonan, mencari belukar,
Semak-semak sebentar untuk mengucapkan selamat tinggal,
Menerjang_berlari memberontak_kembali
Sintang, 5 Januari 2000
CERITA SEPI DAN KERINDUAN AYAH
Entah seperti apakah kerinduan ayah
Ketika gerimis dan senja bersama-sama menemui ayah,
Menceritakan sesuatu di beranda
Yang telah memisahkan engkau dari ayah di sebelah
Luar pagar halaman
Dan barangkali dapatkah kau rasakan
Dari dalam ayunan pematang-pematang penyusuan
Dari ibumu nun di radius diluar batas jangkauan
Mimpi ayah, di antara ribuan sungai yang telah
Menjadi sekat engkau dan aku.
Seperti apakah kerinduan yang kau rasakan itu.
Yang ayah dan engkau drita dari waktu ke waktu...?
Sintang, 11 Januari 2000
HUMA DIATAS BUKIT GEMBA
Dari dunia manakah engkau diterbangkan,
Betapa gaib perasaanmu
Memenuhi ruang dadaku
Mata yang memanah dunia
Dengan cinta,
Aduh, betapa aku lebur
Dalam teduh senyummu
Abadi aku, abadi
Dan kelu.
Pagi Bukit Gemba, 12 Januari 2000
RESTITUSI RINDU
Rindu ini Lidia,
Seperti roh yang ingin pulang dan bekerja,
dan memplitur setiap letak gejala
Dan malaikat yang berayun-ayun di udara
Membelokkan semua angan-angan
Pada keinginan untuk bersedada
Rindu itu kini
Hanya batu-batu yang tengadah
Dan berdoa.
(Malam) Bukit Gemba, 12 Januari 2000
DI BATU KUSIENG, SUATU HARI
Di atas batu itu,
Masih di atas batu itu
Aku menunggu sesuatu :
“terlalu lama aku ingin bicara
memahat ke abadian di dadamu”.
Batu Kusing (B. Gemba), 13 Januari 2000
LEGENDA BUKIT GEMBA SUATU HARI
Sangat di sayangkan bila legenda yang ku ingat tentangmu
Kini cuma peta, cuma ilalang dan gua-gua,
sejarah yang Terarah, berdarah-darah di ruang sekolah ;
hilang dalam bayang-bayang mengecil
duka dalam bisu peninggalan tanah leluhur
yang tinggal cerita,
Bukit Gemba, 14 Januari 2000
MESTINYA
Mestinya sepucuk surat sudah kutulis
Untuk siapa saja yang memiliki alamat
Yang masih menyimpan cinta dan
Kata-kata maaf.
Mestinya sepucuk surat sudah kutulis
Sebelum Ambon di rampok, NTB di fitnah
Dan semestinya....
Baning, 27 Januari 2000
RABIES CONINA PEDALAMAN
Kegilaan ini tekah semakin aneh,
Tambur kaleng dan derap langkah-langkah
yang nyaris menangis,
tapi siapa sudi menyerah ?
lalu siapa pula yang telah membakar kita ?
orang-orang pedalaman yang di lahirkan untuk
saling menyayang (siapakah yang mengajarkan kita
menulis Famlet, menggelar poster dan saling
memaki penuh kebencian ?)
atau apakah kita sudah hilang
menjadi serpihan logam dan belerang,
dendam telah melahirkan
potret begitu banyak orang yang bergerak
menuju takdir, kisah perlawanan dan perang.
Sintang, 22 Januari 2000
KISAH SENGSARA AYAH I
Aku sedang ke luar kota ketika beberapa
Pabrik didirikan, hutan di belakang rumahku
(dekat jendela dapur) telah habis di babat untuk
kepentingan kegiatan produksi pabrik-pabrik
tersebut, gelondongan dan debu dimana-mana
HPH telah mewabah kesetiap pelosok terdekat,
Merata di semua lini, hampir di setiap jengkal tanah.
Bahkan sampai keruang tamu yang baru selesai
Ku cet 3 hari yang lalu,
Ya, aku memang sedang keluar kota saat itu, ketika
Kapitalis-kapitalis itu bergerak mencaplok setapak
Demi setapak bumi kediamanku, merampok habis sisa-sisa
Kebahagiaanku, dan ketika aku kembali ke rumah
Aku menemukan takdir telah menjadi judas,
Mencium sebuah konspirai dan ia menyerahkan aku
Kepada kapitalis-kapitalis itu untuk diolok-olok,
Di siksa di depan setiap orang
Menjelang hari raya mereka memakukan aku
Di mana saja ; di simpang-simpang jalan,
Di super market, di kios-kios dan wc-wc
Umum di kota seperti sebuah Famplet atau
Papan iklan ikan sarden yang memang
Pada akhirnya hanya akan mengantarkan
Aku pada kematian dan kebangkitan
Yang tak ada henti-hentinya, tapi apakah
Artinya itu bagi para maling ayam yang juga
Di salipkan bersama-samaku
Ketika sekali lagi aku ingin keluar kota,
Ternyata waktu telah lama
Menghilang, lenyap bersama-sama takdir
Menuju ke sebuah dunia, ke suatu tempat
Yang entah di mana.
Sintang, 25 Januari 2000
EXSTRANES WISSEN AYAH
Bagi ayah, waktu telah lama terkatung-katung di langit,
Mencuat di koridor semesta, menjadi tugu
Ketika ayah menggenggam erat-erat
Tali kekang takdir yang berlari zig-zag
Bagaikan orang gila.
Bagi ayah....
Sintang, 25 Januari 2000
Teja Renung dan Getaran Ayah di Bawah Bulan
Sekali lagi bulan sepertiga itu tertancap di cakrawala,
Cahayanya berpedar di udara, pecah di celah dedaunan
Membiaskan warna semarak, _berserakan bagai serbuk
Timah putih keemas-emasan, gugur ke tengah-tengah
Alam, Menyiram semesta bagaikan sebuah lukisan
Memanjang yang menyentuh ke ujung-ujung mimpi.
Sintang, 26 Januari 2000
DUNIA AYAH SEBELUM TIDUR
Ada ritus-ritus yang memeleh ke dalam
Impian seorang ayah
Sebelum ia meletakkan kepalanya yang lelah
Ke atas bantal, dadanya yang selalu sepi,
Terhimpit langit-langit dan takdir
Yang mengintipnya dari celah-celah prisma
Cahaya dan biang-lala, larah.
Adakah yang terlupakan? Ketika ayah berdoa
Dalam kenangan, rindu yang terpenggal-penggal
Dalam surat, dalam secawan penuh kenyerian
Dimana duka dan cinta sama-saja, sama merah,
sama-sama berbahaya, sama-sama lara,
Sintang, 5 Pebruari 2000
SIAPA YANG MENGAJARI KAMU
Siapa yang mengajari kamu naik ke atas mimbar
Mengajari kamu membuat famlet
Dan menulis ratusan surat tanpa stempel,
Yang lalu kau kirim ke semua alamat, yang tak pernah
Tercatat dalam agenda para pembuat keputusan itu
Siapa yang mengajari kamu mengutuk setiap orang,
Mengutuk sekolah, gereja dan beberapa buah bank
Siapa yang mengajari kamu mengasah lidah, mengayunkan,
Pedang, menyembelih kejujuran ini, dalam
Hati yang menggelepar-gelepar
Hening dan pergi
Berdarah-darah di atas tanah, di dalam kereta,
Abadi dalam luka dan kenang-kenangan.
Siapa mengajari kamu berdoa
Sintang, 7 Pebruari 2000
DOA MASYARAKAT AYAH
Tuhan,
Mengapa kau siksa kami dalam ketidakpastian
Dan cinta. Ruh kami semakin lemah, Tuhan!
Membusuk dalam harapan-harapan yang tak pernah
Berubah menjadi kebahagiaan,
Cuma nanah yang mengalir dalam getir dan doa.
Sungai Durian, 10 Pebruari 2000
SURAT AYAH
Ayah hanya ingin mengatakan cinta,
Mendidik rindu menjadi Haunoman,
Surat-surat sudah ayah kirimkan dengan gugup
Dengan dada yang meluap oleh rasa bersalah.
Pertemuan itu barangkali adalah sebuah krido yang
Gagal di genggam, raib menjadi bayang-bayang
Setiap orang yang mencintai ayah.
Ayah hanya berusaha untuk pasrah, menggumuli takdir
Yang menyimpan begitu banyak belati dan kesah-kesah,
Ayah barangkali telah mengirim suatu yang salah...
(Sungai Durian) Sintang, 13 Pebruari 2000
Vallentine : 1 tahun perkawinan ayah
Patutkah kukenang cintamu, dalam kemiskinan dan rindu
Waktu yang telah menjadi belati,
Berkilat-kilat, dingin dan membenci
Patutkah kutuliskan bagimu, sepenggal sajak yang selalu
Kita kenang, ketika hari-hari di tangan kita semakin tua,
Tersaruk-saruk dalam luka menyusuri sepanjang jalan
Pulang.
Patutkah kukatakan kepadamu bahwa rasa sayang ini
Masih sebagaimana dahulu, ketika kita
Membujuk kupu-kupu menyampaikan salam dalam rindu
Terbungkus menjadi kepompong, kantong-kantong yang
Penuh dengan cinta merekah.
14 Pebruari 2000
Ayah Lindu Dalam Sebuah Virtualisasi Naskah
Ayah hilang dalam jaring-jaring memanjang
Menjelajah dan menggeledah setiap ruang, setiap impian
Dan bayang-bayang, sebelum benar-benar ayah merasa bersalah
Kepadamu
Ayah hilang dalam layar-layar telanjang
Hanyut di antara situs-situs kepompong,
Literatur dan sembahyang
Ayah mabuk dalam semak-semak dan mitos
Kebahagiaan ayah, diantara bahasa dan tombol-tombol
Yang telah memisahkan ayah dari cintamu.
Ayah hilang, beputar-putar dalam siklus yang panjang,
Menjelmakan apa saja bagimu; ayah hanya amanah yang menjadi
Bagian lain dari dagingmu dan darah,-masa lalu yang sempoyongan
Di ambang pintu, di meja makan dan di mana saja kau pernah
Bertemu ayah!
Ayah hilang, di luar jendela, menubruk tirai penuh gambar
Ayah menyelinap di sana diantara selusin mata
Ketika ayah berdarah-darah, menyibakkan pengelihatan
Yang menyeret-nyeret ayah ke layar-layar liar
Lalu melaminanting seluruh kehidupan ayah, ayah
Hilang, terpancung sebagai pecundang, tapi sungguh
Gagah ayah, sungguh gagah!
Barangkali ayah juga adalah naskah-naskah yang gagal
Dalam suratmu, E-mail yang telah terbunuh.
Ayah hilang setiap saat di antara kawat, takdir
dan energi yang salah.
Sungai Durian (Sintang), 17 Pebruari 2000
DIKOTOMI HEIGEMONIA AYAH
Ayah mengolah jiwa,
Belajar menanam benih-benih keberanian untuk menukik,
Membekuk kutu-kutu waktu dalam gua.
Ayah mengolah harapan
Mencoba menabur damai kesetiap letak
Doa dan ketulusan dalam nyanyian
Sang pembajak.
Ayah melupakan musim, sekali lagi melahirkan
Siasat, merawat luka dalam perban cintamu
Ayah melayang, berseru-seru memanggil takdir,
Bayang-bayang sejarah yang tersesat, entah dimana.
Sintang, 27 Pebruari 2000
IBU DIATAS TUNGKU
Abadi ibu di atas tungku, memangku seribu telur.
Sejarah yang pecah sejak adam berkhianat,
Malam-malam keluyuran dari Eden kediskotik
Abadi ibu, abadi di atas tombol-tombol waktu
Di antara kaca, liar dalam abjad yang melompat-lompat
Dari daftar ke daftar kematian para arwah.
Nanga Merakai, 4 Maret 2000
HUTAN
Hutan kita sisa cindra mata, sebuah angan-angan yang
Menukik dalam gong, secarik kertas untuk di baca.
Hutan kita tinggal kantong-kantong pembungkus lukisan,
Tinggal stiker-stiker yang di tempel; perangko dan
Tombol-tombol kaca
Hutan kita cuma skripsi, cuma layar; tegalan-tegalan
Yang menyimpan begitu banyak kisah dan kontrak,
Resep obat yang di telan beratus-ratus nyawa
Hutan cuma mantra, doa-doa menderu dalam
Angin yang mengusap air mata.
Engkirab, 7 Maret 2000
PERUBAHAN KAMPUNG HALAMAN AYAH
Apa yang kau lihat disitu,
Tinggal tebing tanpa asal,
Sungai ziarah yang jauh kedalam lubuk bening,-
Keruh riuh-redah darah-darah yang mengalir
Kedalam tubuh ayah, dalam tubuh persoalan dan
Kerinduan untuk pulang,
Menyusuri kembali jalan-jalan setapak,
Pohon-pohon yang tengadah, menulis kembali tentang
Sajak kampung halaman.
Seperti ketika kisah itu terutang memangku masa lalu,
Menuang sumpah atas tanah air, bumi
Di mana damai berderap pergi mencari ayah,
Mencari tempat yang tenang.
Danau Liut, 10 Maret 2000
PULANG (PULANG) PULANG!
Bayang-bayang ayah, menukik ke dalam sebuah rumah,
Ruang yang bercabang dalam mitos-mitos tentang
Kebahagiaan ayah,
Seorang ayah adalah gerimis, yang melukis wajah
Pelangi pada setiap sisi warna-warni gelisah dan
Papan iklan yang berdarah, persimpangan tanpa
Jawaban menuju rumah.
Ayah adalah....
Nanga Merakai, 12 Maret 2000
INDONESIA ASA 2000
Jika kamu menulis, menulislah seperti kamu menulis
Pesawat terbang, kereta api atau apa saja yang pernah
Melintas dalam fikiranmu. Sebab Indonesia kita ini
Bukan hanya HPH, bukan hanya kerusuhan atau
Bank-bank yang di likuidasi.
Indonesia juga titik peluh, bau cerutu, minyak tanah,
Pabrik susu atau kain tenun ikat dayak di pedalaman.
Ya, Indonesia sekali lagi bukan hanya peta, bukan
Hanya Kalimantan, bukan hanya Lombok dan Irian
Indonesia adalah bulu mata setiap orang,
Isi dada dan kelentit setiap orang, mereka
Yang menatap dalam kedengkian maupun cinta
Indonesia memang bukan hanya merk kecap,
Nama jalan atau sederet kalimat dalam daftar menu
Masakan, Indonesia adalah segala sesuatu
Dalam pedih dan kenikmatan =judul buku yang
Di tulis takdir yang gemetar di bawah todongan
Senapan.
Pontianak, 20 Maret 2000
RESTORASI AYAH
Bila istri mulai menulis sajak, berarti engkau telah
Menjadi ayah, sebab anak-anakmu lahir dan mengalir
Perlahan-lahan di lengannya yang berdarah. Anak-anak
Melompat dari rahim. Kejujuran, menangis mengutip
Bumi – diatas kertas – separoh dari keabadian yang
Mengutusmu, - mengutip langit – yang mengantarkan
Kamu kepada cintanya.
Istri seperti membagi-bagi jejak, merajah kisah
Dengan tintah dan air mata.
Barangkali anak-anak sudah lama ia cetak dalam
Benaknya. Engkau hanya perlu menunggu saat-saat
Ia menukik atau menggerutu,
Pontianak, 24 Maret 2000
ORANG DAYAK STIP
Ia selalu melawan langit, megancam cakrawala
Membidik udara dengan menyebarkan ratusan ribu
Famplet, menulis artikel nyaris tanpa tanda baca,
Semacam kisah, ia melahirkan teror,
Menyayat uart-urat syaraf, melemparkan pertengkaran
Yang memaksa setiap orang untuk terjebak
Ia sendirian,...
Ayah, ayah patutkah ia mengalah setelah
30 tahun lebih ia disuapi bara?
Dusun Beririk, 7 April 2000
REVITALISASI AYAH
Maka demikianlah hendaknya ayah
Menukah dengan naskah-naskah, ibu seperti
Tugu yang menanti di jamah oleh ayah,
Setiap malam ayah menuangkan tintah
Menjenguk kepada masa lalu, hening seperi
Tebing-tebing yang memisahkan ayah dengan
Cinta.
Ayah melahirkan beratus-ratus wajah,
Juga Tuhan yang seperti keping-keping logam
Ayah menukik dalam kisah-kisah itu
Memungut ibu yang tercecer di sana
Ayah juga membuat potret, merekam jejak
Ibu yang berlari di antara bianglala.
Maka demikianlah hendaknya ayah....
Sintang, 17 April 2000
HISTOGRAM AYAH DALAM BACAAN IBU
Bagaimanakah ayah harus menulis surat,
Mencetak undangan, mengirim kartu-kartu natal
Setiap tahun.
Saat ibu satu persatu tanggal dari jam tangan ayah
Dan ayah mulai teringat pada lagu-lagu keras
dalam lorong di bawah tanah
aku masih sangat kecil saat menemukan ayah yang
telah meleleh menjadi tintah menetes
di mana-mana setiap saat setiap hari sebanyak-banyaknya.
Bagaimanakah aku mengatakannya tanpa membaca.
Pontianak, 1 Mei 2000
SKETSATOLOGI AYAH
Bukankah ayah sudah memutuskan untuk membaca,
menulis banyak kisah tentang Tuhan dan sekutu-sekutunya
tapi ayah terjebak diantara selokan.
Mengais-ngais tanah, tersesat mencari jalan ke surga
Ayah memotret langit,
Membuat rekaman bukit, lalu orang-orang marah
Mendengar ayah berkhianat, menikah dengan dunia.
Ibu tidak di rumah saat itu, saat ayah menulis surat
Mengutip cinta untuk di kirimkan.
Terbelah-belah seluruh dada ayah, di kamar. Di dapur
Dan dimana saja.
Potret ayah di dinding pun menjadi semakin tua,
Ketika ibu mencium kematian ayah dalam saku jasnya.
Ayah mabuk ketika mengisahkan petualangan itu
Mengisahkan malam-malam terakhirnya bersama ibu,
Bersama prasangka-prasangka kecil yang dikiranya
Akan berakhir dan itu sungguh keterlaluan seperti
Pelatuk senapan yang setiap malam membuat ayah
Menyerah, ibu di ambang pintu menyeringai ingin
Menelan ayah mentah-mentah.
Menutup rapat-rapat semua celah-celah rumah
Supaya angin pun jangan berkisah,
Menuturkan penderitaan yang begitu kejam
Menyanyat-nyanyat ayah.
Akhirnya ayah tak percaya lagi pada sekolah
Pada rumah dan setiap air mata yang di kucurkan baginya.
Lanjing, 6 Mei 2000
STERIOTIPE AYAH
Siapakah ayah yang telah berani menjamah ibu, dalam
Kantong plastik suatu pagi, ibu ketika itu belum
Pernah memasak atau mencuci. Ayah di dapur ketika
Menemukan ibu membelah begitu saja di rak, di antara
Piring-piring, pecahan gelas seperi sebuah film
Yang menggoda ayah untuk terus mengikutinya.
Barangkali ibu saat itu hanya sebuah perkiraan ayah,
Terutama saat hari-hari ayah membeku dalam kulkas
Kertas tisu di situ juga sangat menggoda ayah untuk
Mengharapkan ibu, ayah terbelit kenang-kenangan,
Terjerat bayang-bayang ibu yang diam-diam juga
Ada di sana, menyaksikan peredaran darah ayah,
Menyaksikan ayah menyerah, mengiris bawang,
Memotong-motong kentang di celah-celah kaca.
Ibu barangkali tak pernah melihat ayah seceria itu
Saat ia mulai mencuci cetak fotonya dulu, yang
Terpenggal-penggal oleh kesulitan dan percintaan
yang sangat menohok ayah.
Betapa ayah bertapa, mengelupas menjadi gaib
Dan mantra,
Tapi siapakah ayah dalam pikiran ibu?
Nsaid, 17 Mei 2000
HIDUP DAN MITOLOGINYA
Hidup menjadi konteks yang sangat tidak enak,
menjadi semacam militanisasi ego sang pemilik
kekuatan, hidup hanya enak bila kita telah mati,
untuk merindukannya kembali sebagai kenang-kenangan.
Hidup hanya sebuah perjalanan kecil saja dalam upaya
Menuju totalitas kesempurnaan, hanya semacam
Penggalan hari libur atau mimpi yang sesekali terasa
Memberikan kesenangan, oleh sebab itu hidup tidak
Untuk di miliki oleh siapa-siapa. Karena hidup
Memiliki kehidupannya sendiri, memiliki kemerdekaannya
Sendiri dan hidup otonom dari keharusan-keharusan
Makhluk, karena makhluk hanya citra,
Hanya patner untuk bersama-sama pergi
Menuju sang yang Khalig, maha pencipta,
Tanah air sgala ssuatunya tempat segalanya berasal,
Berawal dan berakhir.
Uming, Mei 2000
KEMUNGKINAN KELAHIRAN
Bisakah sebuah sajak lahir di bawah teratak
Saat hujan turun menumbuk lantai marmer
Tergelincir menjadi kristal yang mengingatkan
Aku pada bulir-bulir airmata.
Bisakah sebuah sajak tanpa ayah
Tanpa dibuahi air dingin, angin dan musim
Yang pergi, menghilang entah kemana
Anak siapakah sajak, yang tergeletak
Berdarah-darah di atas kertas
Yatim dalam malam dingin, tertipu oleh
Waktu yang selalu mencetak begitu banyak
Figur ibu di dalam penjara.
Rumah Pak Albert Rufinus
Saat hujan, 30 Mei 2000
DUNIA ANTENA I
Ia keluar dari sejarah,
Menukik melampaui angan-angan, takdir dan
Perjanjian kita dengan waktu,
Ia melampaui segala sesuatu untuk menjadi
Abadi bersama Tuhan,
Menobatkan diri menjadi Pangeran
Meriap-riap menjadi hutan-hutan antena.
Siantan, 26 Juli 2000
IBU, AYAH DAN SANCA
Ibu kembali membaca sanca, di atas kertas tissu
Rumah sakit yang mengingatkannya kepada kematian
(ayah berkeliaran di sana, di antara sejumlah besar
daging yang berseleweran, terkatung-katung
mencari jalan pulang)
ibu kembali membaca sanca, menemukan ayah dalam
sepenggal surat nikah mereka yang memungut
anak-anak dalam keranjang sampah.
Ibu kembali membaca sanca, di dalam sebuah
Kwitansi merah,
Yang telah menobatkan ayah menjadi arca.
Korek, 28 Juli 2000
KWITANSI TERAKHIR DIWAJAH AYAH
Ayah tersenyum ketika menghadiri sebuah
Ceramah, ia mendengarkan hatinya yang
Bahagia setelah menikah.
Setelah ibu menjadi angin, gurun dan lembah
Ayah tersenyum saat pulang, singgah
Membeli sebuah bingkisan, melompat ke dalam
Rahim keseharian rumah, memeluk
Anak-anak dan mengisi kwitansi terakhir
Sebelum ia benar-benar rebah.
Ayah tersenyum......
Sungai Ambawang, 2 September 2000
REPORTASE
Katakanlah kita telah menjadi batu
Mengetuk-ngetuk pada tangkai kerumitan
Takdir yang memungutnya satu persatu
Pontianak, 25 September 2000
REPORTASE KOTA
Dikota ini jarang sekali ayah
Bertemu orang yang memiliki hati,
Hampir setiap orang kelihatan berjalan
Dengan dada yang kosong-melompong
Suara-suara yang keluar dari kerongkongan
Mereka terdengar aneh,
Seperti suara lempengan es yang di gergaji
Dan ayah melihat, tak satupun orang
Di kota ini yang mengenal dirinya sendiri.
Darat Skip, 6 Oktober 2000
REPORTASE TAKDIR
Di dalam kota
Ayah bergerak seperti orang asing kesurupan,
Mengunyah setiap persoalan
Yang tercampak ke dalam piringnya
Ayah terkadang harus merangkak untuk
Menuliskan takdir, memotret setiap
Pelosok kekejian,
Menyimpannya dalam sebuah sketssa.
Pontianak, 11 Oktober 2000
REPORTASE JEJAK
Ayah mewarnai jejak,
Melukis lekuk telapak pada tiap
Perjalanan yang menyeret-nyeret
Ayah kepada cinta dan kebencian
Ketika hujan ternyata ayah kehilangan
Semuanya, mencari penggalan kisah itu
Dalam kenang-kenangan.
Oktober 2000
PLAYSTATION DAN
Seperti ayah
Ia pun gugur meninggalkanmu
Ibu dan adik-adik yang terasing
Dari play station, menyentuh tombol-
Tombol pada dinding kelamin waktu
Yang merekah oleh rangsangan bumi,
Luka membiru.
Tanjung Pura, 11 Desember 2000
MITOS SEPOTONG DAGING UNTUK AYAH
Sepotong daging di atas meja telah mencegah
Ayah berdoa, mengurungkan sebagian
Dari kejujuran ayah untuk bahagia,
Sepotong daging dalam kulkas telah
Menggoda ayah untuk membekukan separoh
Dari tangannya yang di anggap bersalah
Bongkahan daging di balik sebuah Etalase
Di dalam kota telah membuat ayah
Mengurungkan seluruh niatnya
untuk menjadi seorang manusia.
Pospol Pasar Tengah, 12 Desember 2000
PERCOBAAN HARI KIAMAT
Langit berbusa,
Memberi jejak biru pada angin,
Pada pengelihatan semua orang
Dan pada burung-burung yang tersesat
Di cakrawala
Langit berbusa,
Ingin mengatakan risau,
Bumi tanpa Roh
Dan sepenggal doa
Pontianak, 25 Pebruari 2000