Alexander Mering memamerkan piagam penghargaan MURI dan buku 100 Anak Tambang Indonesia saat launching pada 17 Agustus 2021 di Bogor. |
GUNUNG Salak begitu biru setelah hujan. Puncaknya terlihat
mengkilap dilumuri awan yang mirip buih shampoo menggumpal, seperti sebuah
lukisan. Saya sedang termangu menatap pemandangan itu dari jendela kantor,
ketika seorang lelaki nongol di pintu. Alexander Mering, nama pria itu. Dia
baru saja lulus program Pendidikan Reguler Angkatan XLI Lemhannas RI. Saya mengundangnya berdiskusi tentang rencana
penulisan buku biografi seorang tokoh tambang di Indonesia. Usai saya memaparkan rencana, dia lansung
menyeletuk.
“Jangan hanya satu tokoh dong, bagaimana kalau 100?”
Busyet! Kok dari satu menjadi 100 tokoh? Tapi terus terang ide Mering menantang adrenalin saya meskipun agak ragu. Dia memang pernah menulis sejumlah buku, karya jurnalistik dan sastra, tapi ia belum pernah menulis satupun buku biografi. Ini tetiba ingin menulis 100 orang pula dalam satu buku?
“Jadi bagaimana?”
Desaknya.
Belum sempat saya buka suara, Mering menyalak lagi.
“Bukankah abang telah melakukan banyak hal-hal gila selama ini? Jadi mengapa
takut melakukan hal gila sekali lagi? Nur Iskandar—salah satu sahabat
kita—pernah berkata, jika mengerjakan hal kecil capeknya sama dengan
mengerjakan yang besar, mengapa kita tak mengerjakan hal yang besar
sekalian?”
Saya terpesona. Dia menaruh kepercayaan yang sangat besar
kepada saya. Karena itu tak pakai lama, saya pun langsung menghubungi 100 orang
pemimpin perusahaan tambang di Indonesia satu per satu selama seminggu. Saya
ajak mereka agar mau membagikan pengalaman dan kisah hidup mereka lewat tulisan.
Kami menamakannya gerakan Anak Tambang menulis untuk Indonesia.
***
Dari kisah inilah bermula, terlahir buku 100 Anak Tambang
Indonesia yang berhasil terjual 17.845 kopi dalam dua minggu sebelum
diluncurkan pada tanggal 17 Agustus 2021 silam, di Bogor.
Meski total pekerjaan dilaksanakan selama 3 bulan, tetapi untuk menulis Naskah setebal 716 Halaman dari buku tersebut benar-benar 100 hari, yang juga pararel dikerjakan dengan riset, editing, design cover buku. Nyaris tanpa istirahat, bahkan tidur pun hanya sejam dua jam saja sehari.
Nur Iskandar, rekan sekaligus sahabat saya sejak masih di
Borneo Tribune dulu, bekerja secara pararel dari Pontianak. Sementara bang
Alwahono dengan sigap menghubungi para nara sumber dan calon pembeli buku.
Maka benarlah kata pepatah, bahwa proses tidak akan menghianati
hasil. Kerja keras team yang luar biasa yang didukung berbagai pihak,
termasuk para sponsorship telah membawa buku 100 Anak Tambang Indonesia meraih prestasi yang cukup membanggakan kami semua.
Tak hanya soal jumlah dan nilai yang berhasil di capai,
tetapi tercatatnya buku 100 Anak Tambang Indonesia ke dalam Musium Rekor Dunia-Indonesia
(MURI) untuk 2 rekor yang berbeda, yaitu untuk pertama kalinya 100 pimpinan
perusahaan tambang menulis buku, dan perusahaan tambang terbanyak yang membeli
buku 100 Anak Tambang Indonesia tersebut.
Ada banyak liputan media nasional tentang sukses buku 100
Anak Tambang Indonesia ini. Silahkan lihat jejak digitalnya di internet. Salah
satunya adalah artikel yang ditulis oleh Radio Republik Indonesia (RRI) ini.
Artikel terkait: Buku 100 Anak Tambang Indonesia Catatkan 2Rekor MURI
Tentang apa keistimewaan dan kelebihan buku 100 Anak Tambang Indonesia ini, anda silahkan baca dengan mengunjungi official website penerbit allsysmedia.com atau di landing page berikut ini.
SEdangkan untuk yang membeli buku inspiratif ini silahkan order langsung di anyarmart.com atau klik link berikut ini.
__________________________
[1]
Penggalan kisah Alwahono dalam buku 100 Tokoh K3 Indonesia, terbitan Allsysmedia,
17 Agusutus 22 silam.