Ketika kursi dan meja belum bermetamorfosa menjadi aneka
bentuk dan rupa dalam kebudayaan manusia, homo sapiens—di awal-awal
kehidupannya di planet bumi ini—hanya mengenalnya dalam rupa seonggok batu atau
sepotong log kayu yang biasa dipakai untuk duduk.
Saya pun tergoda membayangkan seperti apakah wujud sepenggal
puisi pada zaman itu? Jangan-jangan hanya berupa selarik cahaya yang bekerdap
di balik gelap, atau sekadar desis semesta yang belum mengejawantah menjadi
kata-kata hingga kelak aksara ditemukan.
Karenanya tak mudah untuk kami mendefinisikan puisi di buku
berjudul Seringai Kunang-kunang ini. Meski sudah banyak teori atau karya ilmiah
yang pernah dikemukakan para ahli mengenai puisi, tetapi tetap saja toch itu
hasil konvensi literasi atau kesepakatan yang dibuat para anak cucu homo
sapiens tadi? Demikian juga halnya dengan evolusi bentuk (design), makna dan
fungsi meja-kursi yang terus berubah, seturut berkembangnya kebudayaan,
rancangan idea, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Terlepas dari kisruh literasi dan perdebatan para pakar,
penyair, dan seniman (terutama di Indonesia) mengenai karya mana yang pantas
disebut puisi atau tidak, izinkanlah kami dari penerbit Allsysmedia
mengumpulkan serpihan frasa, penggalan kalimat hingga paragraf milik Wisnu
Pamungkas yang terserak di internet, klipingan koran maupun sobekan buku
diary-nya yang dimakan rayap.
Dari ribuan judul puisi yang pernah ditulis oleh Wisnu
Pamungkas dari tahun 90-an hingga 2021, kami menemukan lebih dari 148 puisi
yang memiliki kesamaan tema, atau setidak-tidaknya memuat kata kunci yang sama
yaitu #kunang-kunang. Puisi-puisi inilah yang kami terbitkan menjadi buku untuk
dipersembahkan kepada para pembaca yang budiman, dan kami beri judul Seringai
Kunang-kunang.
Sebenarnya ada berbagai tema dan gaya penulisan yang Wisnu
Pamungkas tampilkan saat mencipta karya sastra, sehingga sangat diperlukan
kehati-hatian dan ketelitian ekstra dalam pengelompokan atau mengkurasi
puisi-puisinya tersebut.
Merujuk kepada sajak-sajak dalam buku antologi puisi ini,
apabila dilihat dari time frame waktu penulisannya kami menyimpulkan bahwa
Wisnu Pamungkas nyaris tak pernah berhenti menulis. Bahkan tetap konsisten
untuk tema dan kata kunci tertentu, meski pun untuk keseluruhan karyanya
terdapat tema dan gaya yang beraneka ragam, namun ia tetap konsisten menulis
puisi dengan tema dan kata kunci yang sama selama 25 tahun! Salah satunya
adalah naskah-naskah puisi di dalam buku ini.
Sebagaimana proses kreatif para penyair, setiap karya juga
mengalami proses “evolusi” seiring meningkatnya kapasitas dan pengalaman sang
penulis. Demikian juga halnya dengan karya-karya Wisnu Pamungkas ini. Besar
kemungkinan hal tersebut dimulai sejak project pertamanya di bidang literasi
yang ia cetuskan tahun 1996 silam yaitu, ”menulis satu puisi satu hari atau
mati!”
Maka tak heranlah jika saat ini puisi Wisnu Pamungkas sudah
ribuan jumlahnya. Sebab sejak masa-masa awal proses kreatifnya sebagai penulis
dia menciptakan lebih dari 365 judul puisi dalam setahun.
Sebagai catatan, Wisnu Pamungkas tidak hanya menulis puisi,
tetapi juga beragam karya lainnya. Beberapa diantaranya telah diterbitkan oleh
media lokal, nasional bahkan luar negeri, terutama untuk karya jurnalistik,
esai, cerpen dan sejumlah karya ilmiah. Ia juga seorang peneliti, perupa,
creative design, web master dan communications specialist.
Ketika mempublikasikan karya sastra sejak di awal karirnya,
ia konsisten menggunakan nama pena Wisnu Pamungkas. Sedangkan untuk karya
ilmiah, jurnalistik dan lain sebagainya ia menggunakan identitasnya yang
seorang jurnalis. Walau pun belum pernah menerbitkan buku puisinya sendiri,
namun karya-karya Wisnu Pamungkas telah banyak diterbitkan bersama-sama karya
penulis lain di Indonesia.
Pekerjaannya yang seorang jurnalis, blogger dan travel
writer telah membawanya melenting ke banyak tempat di bumi ini. Mulai dari
kampung-kampung paling terpencil di nusantara hingga ke kota-kota besar di
dunia. Nah, dari tempat-tempat itulah puisi-puisi dalam buku ini terlahir.
Terlepas dari kualitas dan kedalaman pemaknaannya, seluruh
puisi yang ditulis oleh Wisnu Pamungkas di buku ini adalah kristalisasi frasa,
bunyi dan makna yang berasal dari pengalaman puitika yang dipersonifikasikannya
sebagai kunang-kunang yang berkelindan dengan absurditas hidup yang retak,
terbelah, sendu dan menyakitkan. Ia menganggap dirinya tak lebih dari
kunang-kunang luka, pungguk yang hanya bisa sesengguk, karena cinta tak lebih
dari tahi kucing kering yang pesing dan anyir seperti nanah.
Betapa pun sederhananya proses kurasi yang kami lakukan
untuk buku Seringai Kunang-kunang ini, kami sungguh berharap tiap-tiap naskah
dapat Anda nikmati sesuai tempat yang pantas, seikut takdirnya. Kami percaya
bahwa tiap-tiap karya bahkan setiap penggal bait puisi pun memiliki takdirnya
sendiri-sendiri.
Oleh sebab itu naskah-naskah ini tidak lagi tersaji
berdasarkan urutan waktu secara linier meski hampir dalam setiap puisi
tercantum keterangan tempat dan waktu, dimana dan kapan karya tersebut
diciptakan.
Dilihat dari aspek penyajiannya, puisi-puisi karya Wisnu
Pamungkas di buku ini belum ada yang terlihat menyimpang dari pakem puisi-puisi
kontemporer pada umumnya. Bahkan tidak ada yang menyerupai bentuk puisi mantra
Sutardji Calzoum Bachri.
Tidak ada bentuk yang spesial, kecuali pandangan Wisnu
Pamungkas sendiri yang beranggapan bahwa puisi adalah sebuah proses sekaligus
peristiwa pembebasan makna dari tanda, dari kata-kata dan moksa bahasa. Karena
itu menurut dia puisi tidak harus taat menggorok dirinya sendiri, agar menjadi
sempurna, bahkan ketika bunyi dan kata-kata menolak bersekutu dengan tata suara
untuk bersenada dengan makna yang paling liar sekaligus hierophany.
Jika semua puisi dalam buku ini diperas, maka sari patinya
adalah kunang-kunang dalam bentuk dan makna yang seluas-luasnya. Cahaya sejuta
puisi mungkin tidak akan pernah seterang matahari, tetapi cahanya tetap akan
berkerdip di suatu malam yang sunyi. Puisi yang hebat takan pernah lekang oleh
ruang dan waktu. Bukankah puisi yang matang akan menjadi dirinya sendiri,
berkelindan, berjumpalitan bersama pembacanya dari waktu ke waktu, bahkan
ketika kita sudah berlalu dari dunia ini.
Bogor, April 2022
Penerbit
Allsysmedia