Seringai Kunang-kunang: Kembara ke Dasar Keindahan Bahasa dan Makna


Oleh:  Zainal Abidin Suhaili (Abizai)*

Menelusuri puisi-puisi Wisnu Pamungkas dalam kumpulan puisi Seringai Kunang-kunang ini, membawa pembaca menggembara   ke dasar keindahan bahasa dan makna.  Penyair bijak dan mahir menggunakan kata-kata, imej, tanda, kreativiti, pengalaman dan imaginasi sebagai wadah untuk menumbuhkan makna. Puisi-puisi yang dihasilkan oleh penyair bukan lahir daripada keinginan untuk sekadar bermain kata-kata. Ia menjelma  daripada renungan dan penghayatannya  yang hadir sebagai individu, anggota masyarakat setelah melihat, mendengar, merasa dan menjiwai  pelbagai peristiwa serta suasana lalu mencernakannya dalam bentuk kata-kata.  Mewakili perasaan, pemikiran, pengalaman, kritikan, pandangan dan harapan dan impian penyair sendiri.

Kemahiran menulis puisi ditimba oleh Wisnu Pamungkas melalui  proses penulisan dan pengalaman  yang panjang dan berterusan. Pertembungan  penyair dengan pelbagai peristiwa yang kecil dan besar sekitar diri, masyarakat, negara dan dunia, membangkitkan rasa empati, simpati dan kritis. Daya kritis dan penghayatannya terhadap sesuatu yang ada di sekeliling menjadi luas, tajam dan mendalam dan dijalinkan menjadi kekuatan bait-bait puisi.

Melalui imej kunang-kunang, kupu-kupu, enggang, elang, garuda, bulan, ayah, ibu dan lain-lain lagi dapat ditangkap pelbagai suara manusia yang membawa beragam rasa. Melalui puisi “Kunang-kunang Rimba”, menjelma suara masyarakat pribumi yang merintih di tanah sendiri: 


Ke mana Ayah, ketika Ibu menjadi janda

di tahun pertama anak-anak bermain di semak-semak,

berkhayal tentang sepasang sayap,

tawaf bersama kunang-kunang sebelum gelap

 


Kemana ayah, ketika ibu pergi mencari cahaya,

adik-adik berusaha merangkak di tanah tumpah Indonesia,

menjalar di sungai-sungai beracun kelapa sawit 


Rintihan dan pertanyaan terus kedengaran tentang harapan, kemajuan, keadilan dan pembangunan di tanah Borneo setelah sekian lama kemerdekaan bertandang. Dalam puisi “Empepat Borneo”, penyair mengungkapkan :

 


Di manakah kau sembunyikan bulan

saat sayap telah berubah menjadi baling-baling pesawat terbang,

suluh yang mengepulkan asap, lidah para penipu

yang begitu fasih menyanyikan lagu kebangsaan

 


Di mana engkau sembunyikan bulan,

sehingga kami tak bisa lagi menari atau menangis

untuk kampung halaman,

dalam gelap rudapaksa negara tanpa pahlawan

 


Dimanakah engkau sembunyikan cahaya

setelah sekian lama negara ini merdeka dari penjajah 

 


Suara yang terkurung dan tertindas juga muncul sebagai kunang-kunang yang dilarang terbang dan menyimpan harapan dan impian. Menerusi puisi “Dilarang Menjadi Kunang-kunang, penyair menulis:

 


Meski menjadi kunang-kunang,

di pulau ini kau tak diizinkan terbang, apalagi menyimpan sayap

yang diwariskan kepada cucu dan anak-anak

sebab sungai, hutan dan gunung bukan lagi sebuah ruang,

duka beku padang ilalang dan menjadi dongeng terlarang

untuk para ular beludak.

 


Puisi-puisi yang dihasilkan oleh Wisnu Pamungkas bukan tempelan terhadap sesuatu isu atau perkara semata-mata tetapi meresap jauh ke dalam persoalan dan budaya masyarakat setempat. Hal ini dapat dapat dijejaki melalui puisi “Jejak Upacara Enggang.”:

 


Setelah upacara,

engkau mengebaskan tangkai bunga,

merapal mantra, meruapkan kata-kata di atas daun savang

Karena sejak lama kepak garuda dari Jakarta


mematuk huma dan kubur para leluhur,

menerbitkan surat di atas tanah dan rimba

untuk menjerat mereka yang kau bela dengan doa dan sajak

 


Setelah upacara,

pun engkau masih menggugat nasib, hulu sungai yang dituba,

menyongsong selongsong yang mengepung hidup orang-orang Dayak

 


Membaca puisi-puisi Wisnu Pamungkas memberikan pengalaman baharu kepada para pembaca. Ia merupakan ungkapan fikiran dan perasaan penyair dalam menciptakan sebuah dunia berdasarkan pengalaman lahir dan batin yang dilaluinya. Berupaya menyampaikan sesuatu dengan cara yang lain serta berbeza daripada kebiasaan. Lewat puisi “Kunang-kunang Jogja”, penyair memperkata secara jujur tentang pengalaman yang biasa melalui sudut pandangan dan pengucapan yang luar biasa kerana setiap pengalaman memiliki keunikan dan sejarahnya tersendiri:

 


Aku tak sudi mengatakan cinta kepada Jogja

karena Srikandi telah bertolak ke ibu kota

yang tinggal hanya situs dan mitos-mitos

beberapa anak muda mabuk di pojok

tapi merasa pernah menjadi Arjuna

 


Di Jogja nyaris tak ada yang hidup tergesa-gesa,

aku ngobrol dengan waktu di alun-alun semalaman

mendengarkan pengamen meraung-raung,

melonglong, meneriakan rasa sakitnya menjadi orang Indonesia

 


Aku tak sudi mengatakan cinta kepada Jogja

karena para penyair telah disumpah menuliskan sajak

biar para pedagang menjadi wayang, menjual dongeng kepada turis

sampai kita temukan surga di balutan batik dan lekuk keris.

 


Fikiran dan perasaan penyair bergumul hebat dengan realiti. Berjaya melepasi tahap saringan, renungan, penghayatan dan kematangan sehingga penyair menyedari dan memahami hakikat makna sebenar yang ingin diperkata. Segala pengalaman yang bersifat peribadi kemudian menjelma sebagai pengalaman objektif. Penyair berupaya menggali untuk menemui kedalaman, kejernihan dan kebijaksanaan setiap pengalaman. Melihat dan menghayati rahsia di sebalik suasana, perkara dan peristiwa. Penyair bukan sahaja membuat pembaca ‘merasai’ tetapi juga turut ‘merasakan’ apa yang disampaikan.


Satu lagi keistimewaan pada puisi-puisi Wisnu Pamungkas ialah ia dipersembahkan dengan irama dan nada yang sesuai, merdu dan tersusun tanpa mengabaikan jalinan makna.  Penyair bijak meraut dan mengukir suara dan irama. Kata-kata dimampat dan direnggang seperti lantunan alat muzik yang memburu ketepatan dan kemerduan bunyi dalam puisi. Cuba hayati keindahan dan kemerduan puisi “Picung Kasarung” ini : 


Kalau bukan karena bulan, sudah lama kubekuk pungguk

kuterbangkan juga sepasukan belalang, 

dengan benang dan jarum sepucuk tapi hidup macam apakah yang akan kita jalani

tanpa rindu terucap, bahkan surat?

 


Maka malam meminta kepada gelap, menyempurnakan setiap cahaya

 jagad yang diperebutkan sejak raja Pajajaran masih berdiri tegap

dan para hulubalang dilarang pulang, terus melarung di sungai kunang-kunang

menuju gaib bintang yang selalu berkerdip di hutan dadap

 


Selebihnya, saya serahkan kepada para pembaca untuk menemui dan menikmati sendiri inti keindahan bahasa dan makna dalam kumpulan puisi Seringai Kunang-kunang ini. Sekian, terima kasih.


 


Miri, 23 Mei 2022

*Abizai adalah Penerima SEA Write Award 2017 (Malaysia), Sasterawan Negeri Sarawak 2020.




Artikel terkait:

 Pengantar Buku Seringai Kunang-kunang

 Dapatkan Buku di link berikut ini

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url