Penampakan Desa Moa di Kecamatan Kulawi, Sulawesi Tengah. Photo by Alexander Mering |
Oleh: Alexander Mering
Adinda tercinta, kini aku berada tepat di jantung Sulawesi,
pulau yang mirip huruf ‘K’ yang dipenuhi aroma kopi. Aku bisa merasakan
detaknya, seperti degup jantungmu saat engkau mengakatakan cinta dan setiap
kali kamu mendekapku.
Pasti tak terbayangkan olehmu, bagaimana aku kini menjalani
hidup di sini, di Pulau Anoa1, di antara suku pemburu, Topo Uma di
Desa Moa, Pipikoro, Sulawesi Tengah, persis di perbatasan Kabupaten Sigi dan
Poso yang dulu pernah berdarah-darah karena perang saudara.
Dalam dokumen Desa Moa kubaca kisah tentang seorang pemburu
bernama Sangkila2 dari Kampung Banasu. Untuk perburuan yang kesekian
kalinya, sampailah Sankila di hutan Boku, yaitu sebuah daratan tinggi di mana
kau bisa mendengarkan angin bernyanyi, berjarak sepelaungan dari tepian sungai
Lariang3, sungai terpanjang di Sulawesi.
Akhirnya Sangkila menetap di Boku bersama rombongannya. Ia
memiliki seorang putra bernama Sugi. Seperti ayahnya, Sugi juga selalu
berpetualang, mencari wilayah perburuan baru. Suatu ketika sampailah Sugi ke
sebuah lembah yang kini disebut Moa4, tempat dimana aku saat ini
tengah temanggu-manggu mengenangmu dengan perasaan rindu dan cinta.
Penulis berfoto bersama warga Moa dan para fasilitator usai rapat kampung. Photo istimewa |
Ketika aku berada di punggung bukit, dari kejauhan Moa terlihat seperti serpihan mutiara yang tercerai dari bongkahannya, terselip di tengah-tengah lembah hijau pada ketinggian 700 mdpl, terapit bukit Parawatu dan bukit Moa, dalam kawasan Hutan Lindung dan Taman Nasional Lorelindu yang dulu bernama Suaka Marga Satwa Lore Kalamanta.
Di tempat inilah—setiap hari—aku memejamkan mata,
membayangkan senyummu yang paripurna, di antara 471 warga desa yang tujuh puluh
persennya tidak punya Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia. Padahal negara ini
sudah 72 tahun merdeka, dan desa ini hanya terpaut sekitar 129 kilo meter saja
dari Kota Palu.
Akan kuceritakan padamu bagaimana aku tiba di lembah
terpencil dalam hutan, tempat para suku pemburu ini hidup dan beranak cucu.
Meskipun aku sudah pernah mengelilingi lebih dari seperempat bumi, perjalanan
menuju Moa tidaklah mudah ternyata. Aku dan rombongan harus meninggalkan
seluruh rasa takut dan mengeraskan nyali, dan ‘berlari’ selincah kuda.
Bertolak dari Kota Palu kami menggunakan mobil sewaan dan
singgah di Gimpu, yaitu kota kecamatan terdekat. Dari situ rombongan (yang
berjumah sekitar 50 orang) berpisah, berangkat menuju desa tujuan yang berda.
Karsa Institute5 dan panitia yang memilih dan menetapkan 6 desa
tujuan kami semua. Aku dan 5 peserta lain di kirim ke Desa Moa, menggunakan
ojek sepeda motor modifikasi yang semua remnya sudah dicopot.
Sebelum tahun 2000, Orang-orang Moa masih naik kuda
bolak-balik ke Gimpu. Tapi hari ini kami harus naik ojek sepeda motor
modifikasi agar sesuai dengan medan tanah di hutan yang licin dan berliku.
Hampir 3 jam tubuhku terguncang keluar masuk hutan, menyisir bibir jurang
pinggiran Sungai Lariang yang arus airnya selalu bergemuruh.
Jalanan terkadang turun, terkadang mendaki di tanah campur
kerikil dan lumut yang tumbuh di batu. Sesekali kami berhenti untuk menarik
nafas. Para tukang ojek merokok, berdiri bergerombol di tepi jurang yang
kedalamannya membuat nyali ciut.
Adinda tercinta, yang kucinta dan paling kusayang. Di tempat
inilah aku menceburkan diri, di sungai yang airnya sebening kaca, sambil
mengingat-ingat kerling nakal matamu. Oh.., betapa bahagianya aku jika engkau
ada di sini juga. Kita berenang dan menyelam bersama melihat ikan-ikan kaboba6. Atau sekadar
duduk-duduk berdua di bongkahan batu di pinggir sungai, sambil menunggu senja
yang melorot perlahan di balik pepohonan, di mana dedaunan perlahan-lahan akan
berubah menjadi jingga dan gelap.
Sungai keramat ini juga menjadi sumber energi listrik desa.
Setiap hari berkubik-kubik air menabrak turbin yang menggerakan dinamo 15 kg di
sana, sehingga mereka tak bergantung pada listrik negara—tak seperti aku yang
masih selalu membutuhkanmu setiap waktu untuk asmara dan berkasih mesra. Tapi
apakah yang dapat kulakukan di sini selain merindukanmu, Adinda?
Terkadang aku berpikir apakah yang dapat aku katakan padamu
tentang cinta dari tengah rimba? Karena aku toh hanya makan-minum saja di sini
selain menulis surat cinta. Terkadang aku juga menenggak baru7,
sambil bercakap-cakap tentang hutan, hewan buruan, benih padi di ladang dan
menyusun keping-keping waktu bersama warga demi masa depan yang kelak entah
seperti apa.
Sekali-sekala juga aku ikut mencari ikan, berburu paniki8,
berkeliling pampa9 dan melompat ke air, sambil membiarkan
pori-pori tubuhku menganga, menyerap energi murni semesta yang terpancar dari
sungai yang mengalirkan kehidupan dan kisah dari masa ke masa?
*
Salah satu jembatan yang aku lewati saat ke Boko. Photo by Alexander Mering |
Begitulah kehidupan di sini berjalan tanpa harus tergesa-gesa, Adinda. Tanpa harus saling menggigit atau menerkam, berebut kuasa seperti orang-orang di Jakarta. Bahkan mereka tak pernah menyusahkan negara, atau menyulitkan siapa pun selain berburu dan bertani saja. Karena bagi mereka hidup bukanlah penaklukan, hidup adalah ritus yang dilakukan tanpa perlu mengubah keseimbangan jagad raya.
Mereka tetaplah keturunan para pemburu, meski sebagian sudah
menjadi petani. Hutan, sungai dan gunung tetaplah semesta bagi mereka.
Kehilangan hutan bagi mereka sama seperti kehilangan nyawa. Kamu tahukan,
betapa sakitnya rasa kehilangan? Seperti aku yang hari ini merasa ‘kehilangan’
peluk dan ciummu yang nun jauh di sana.
Karena itu aku mengerti betapa sakitnya saat mereka
kehilangan hutan, ketika tahun 1993 negara tanpa meminta, tanpa salam atau
aba-aba langsung ‘merampas’ dan menetapkan hutan perburuan mereka menjadi
kawasan Taman Nasional Lorelindu yang luasnya sekitar 215 ribu hektar.
Betapa sedihnya mereka karena kehilangan akses ke seluruh
wilayah jelajah—ruang hidup—mereka di hutan yang juga sekaligus semesta. Karena
itu mereka harus menyangkal darah warisan pemburu yang mengalir deras di
aortanya.
Oleh karena itu, kini para cucu cicit Sangkila yang
menempati wilayah 98 kilometer persegi ini meminta negara mengembalikan lagi
7.200 ha hutan adat mereka, lewat Karsa Institute pelaksana Program Peduli.
Mereka meminta 5.000 ha dikeluarkan dari Taman Nasional Lorelindu, dan sisanya
dari Hutan Lindung KPH Kulawi.
Karena itu Adinda, para pemburu dan petani Moa itu tak dapat
dipisahkan dari rimba belantara, begitu pula aku tak dapat hidup tanpamu. Aku
membutuhkanmu untuk melanjutkan kehidupan setidak-tidaknya hingga besok lusa.
Di pertemuan antara dua Sungai Moa dan Sungai Lampi10
inilah aku menuliskan lagi surat ini. Tapi tahukah engkau sayang? Tak seorang
pun lagi yang menyimpan pelana! Bahkan seekor kuda pun tak ada yang tersisa
sejak tahun 2002. Kata Hendrik (ketua RT4), waktu itu warga menjual semua kuda
mereka ke pasar Gimpu dan menukarnya dengan sepeda motor buatan Jepang yang
meraung-raung memekakan telinga.
Di rumah Pak Hendrik aku menenggak segelas baru yang masih
berbusa, Adinda. Yaitu permentasi air dari tandan pohon aren (Arenga pinnata)
yang dicampur dengan akar kayu ontorode11, mirip cairan bir yang tentu bisa membuat
pening kepala. Namun tentu dirimu tak perlu mengkawatirkanku Adinda,
karena baru tak akan memabukan aku,
seperti cintamu yang membuatku teler sepanjang masa.
Adinda sayang, yang kusayang dan paling kucinta…
Andai engkau dan aku tinggal di sini, menjadi penduduk Moa.
Maka untuk bisa bersama sesuai adat, aku harus mencari kayu bakar lebanu12 ke hutan. Kemudian
aku harus dibagikannya kepada semua warga desa sebagai tanda bahwa aku telah
melamarmu. Tapi dimanakah aku dan para lelaki Moa itu akan mencari ranting jika
hutan adat dan tempat-tempat keramat mereka semua sudah diklaim menjadi milik
bangsa Indonesia?
Aku juga membayangkan jika engkau menjadi perempuan Moa,
maka pasti setiap hari aku akan menemanimu selalu ke pampa. Menanam rica13, jagung, tomat, bawang, labu, dan tanaman
palawija. Kita bisa makan tebu manis berdua sambil bercakap-cakap tentang
cinta. Di pampa kita juga bisa membudidayakan pohon coklat dan kopi. Bukankah
kita pernah berkhayal punya kebun sendiri pada akhirnya?
**
Perempuan-perempuan Moa saat bergotong royong di pampa mereka. Photo by Alexander Mering |
Food Note:
- Hewan endemik Sulawesi (Bubalus depressicornis), sekaligus maskot Provinsi Sulawesi Tenggara.Berdasarkan letak persebarannya, hewan ini tergolong fauna peralihan.Sejak tahun 1960-an, Anoa berada dalam status terancam punah. Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih bertahan hidup karena sering diburu untuk diambil kulit, tanduk dan dagingnya.
- Seorang pemburu dan tokoh yang dianggap sebagai nenek moyang Orang Moa saat ini.
- Sungai terpanjang di Sulawesi yang membentang dari perbatasan antara Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat dan memasuki Selat Makassar setelah melewati Kecamatan Lariang. Mulut sungainya terletak di titik 1°25′0″LU 119°17′31″BT.
- Berasal dari kata Moahu yang artinya berburu, kini Moa menjadi nama desa di bawah administrasi Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Indonesia.
- Sebuah LSM berbasis di Palu yang tahun 2017 menerima hibah untuk Program Peduli dari Kemitraan-Partnership for Governance Reform, tentang Karsa Institute dapat dilihat di www.karsainstitute.or.id
- Salah satu nama lokal Ikan endemik yang banyak terdapat di sungai-sungai di wilayah Kulawi dan sekitarnya, termasuk Sungai Moa.
- Minuman yang terbuat dari air aren (arenga pinnata) yang difermentasikan dan beralkohol rendah, di beberapa wilayah lain di nusantara, minuman ini juga biasa disebut saguer.
- Kalong atau spesies kelelawar anggota Suku Pteropodidae. Spesies ini menyebar di Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia bagian barat hingga Nusa Tenggara. Dalam pelbagai bahasa daerah, umumnya hewan ini dikenal sebagai kalong atau keluang saja. Sementara dalam bahasa Inggris, ia dikenal sebagai large flying fox, greater flying fox, Malaysian flying fox, large fruit bat.
- Secara harafiah pampa adalah kebun, namun dalam sistem budaya masyarakat Topo Uma di Moa, Pampa merupakan wilayah kelola Perempuan, tempat menanam berbagai jenis sayur dan tanaman palawija. Khusus terkait tanah, hutan meliputi penentuan kawasan atau areal hutan yang layak untuk dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan atau perladangan ditentukan oleh Lembaga adat (Totua-totua Ngata). Lembaga adat ini juga mempunyai peran dalam menentukan keabsahanpenguasaan, pengelolaan dan kepemilikan sesuatu menyangkut sumber daya alam misalnya tanah, hutan, kayu, damar dalam hutan dan lain-lain (Andreas Lagimpu, 2002).
- Dalam bahasa setempat berarti pelana kuda.
- Jenis kayu yang akarnya dijadikan campuran air aren untuk membuat minuman saguer oleh warga Moa. Air saguer yang diminum memberi sensasi mabuk seperti minuman beralkohol lainnya.
- Jenis pohon yang digunakan untuk kayu bakar oleh orang Moa, dan endemik dalam kawasan hutan Desa Moa. Kayu ini merupakan family Rubieaceae, yaitu Nauclea Cyrtopoda Miq.
- Cabai (tumbuhan anggota genus Capsicum) yang dalam bahasa Topo Uma dan orang Moa disebut rica.
- Jenis pohon kayu beringin atau dalam nama latin Ficus benjamina. Oleh Orang Moa, kulitnya diolah dijadikan pakaian dengan proses tradisional dan motifnya dicetak dengan menggunakan batu.
- Adalah pebalap pertama yang berhasil memenangkan gelar juara dunia motocross di tiga kelas yang berbeda yaitu 125cc, 250cc dan 500cc. Keberhasilannya ini kemudian membuat Geboers mendapatkan julukan “Mr. 875cc”. Pebalap Belgia ini menekuni olahraga motocross selama 10 tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun di tahun 1990. Sepanjang karirnya dia berhasil memenangkan 5 gelar juara dunia dari tiga kelas yang berbeda.