Dengan hati miris saya menyalakan program MP3 dengan volume sayup. Saya bersandar di kursi merah plastik, di depan computer tua, di ruang tengah yang menyatu dengan ruang tamu, sambal mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan perasaan dan akal sehat saya. Saya mengklik file Glan Miller dengan In the Mood.
Tapi taik kucing! Rupanya perasaan saya tak mudah disulap. Sudah beberapa pekan ini terasa teramat berat untuk dipikul sendiri. Sementara Dr Yusriadi adan H Nur Iskandar pasti tengah melaju dengan tulisannya masing-masing, tentang pengalaman dan pikirannya sebagai jurnalis.
Sementara saya belum selembar tulisan pun berhasil diketik. Kecuali potongan-potongan kalimat dan beberapa file tak terselesaikan. Saya seperti dibetot kedunguan yang membuat orang bisa menjadi lebih goblok dari sebelumnya.
Yusriadi adalah Doktor jebolan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dengan predikat cemerlang. Dia salah seorang redaktur di koran Borneo Tribune. Nur Iskandar pula adalah pimpinan Redaksi kami di koran itu. Mereka adalah wartawan terhebat Kalimantan Barat yang pernah saya kenal. Tapi karena idealismenya, mereka dipecat oleh Djunaini KS dari Harian Equator—anak perusahan Jawa Pos Group— November 2006 lalu.
Saya dan dua rekan redaktur lain termasuk dalam gerbong yang dipecat tersebut. Nur Iskandar menjabat Redaktur Pelaksana menjelang di PHK. Kini dia menjadi salah satu direktur di Borneo Tribune dan merangkap editor.
Saya mulai marah pada diri sendiri, karena keadaan seperti ini membuat saya jengah dan malu. Apalagi Nur Iskandar beberapa kali menyindir saya di kantor soal naskah yang rencananya akan dikompilasi menjadi sebuah buku.
“Jangan nanti bilang menyesal, saat bukunya diterbitkan,” ujarnya.
Di lain waktu dia mengatakan saya malas. Padahal sudah berapa paragraph telah saya ketik terpisah. Tapi entah mengapa tak satu pun rampung menjadi naskah yang utuh. Saya mulai tak tahan dan merasa kecil hati.
Tiupan saxophone The Benoit menyenandungkan Club Havana, menggantikan Glan Miller. Tapi itu sama sekali tak berjaya merdakan hati saya yang gundah.
Ohya, sebenarnya ada 3 file terpisah yang sudah saya ketik di komputer rumah. Dua lagi di komputer kantor. Tetapi tak satu pun ada yang selesai. Ide dan imajinasi saya seperti digantang asap, terkurung dalam dapur pengap.
Tiap kali mulai menulis, akal sehat di tempurung kepala saya rasa tersumbat. Jemari berhenti menekan tuts keyboard karena otak yang sedianya mengirimkan pesan, tiba-tiba mogok mendadak. Persis mesin deasel yang kehabisan minyak.
Berkali-kali
saya paksa onderdil paling cerdas yang ada di tubuh saya itu bekerja, tetapi
tetap saja mangkrak. Saya ketok-ketok
kepala saya dengan tangan. Tak juga mau menyala! Padahal saya sangat
membutuhkannya saat ini. Untuk merekonstruksi atau sekedar mengingat sesuatu
yang pantas diketik. Saya sudah terlanjur malu dan tidak mau dicap journalist tukang
ngecap. Tapi ya ampun… hingga pukul
dua dini hari, duduk di depan computer, berusaha mengerahkan segenap kemampuan—sampai
mata terasa pedih, katup di otak saya tetap saja tak membuka. Busyet!
***
Tak mau menyerah saya mecoba lagi. Sebab sudah berbagai metode dan cara saya lakukan. Saya hajar otak saja dengan membaca. Terkadang sampai lupa waktu, tau-tau sudah pukul 4 pagi! Empat judul buku ludes saya lahap dalam seminggu. Dua buku diantaranya 505 dan 598 halaman, tentang Kesusastraan Melayu Tionghoa dan 1421 Saat Cina menemukan Dunia karya Gavin Menzies yang menjadi Bestseller internasional. Masih juga otak saya belum siuman.
Minggu lalu saya pergi memancing bersama teman-teman untuk sekedar mencari inspirasi. Sesekali ngoborol dengan satpam di pos ronda komplek, begadang sambil minum kopi pahit. Saya ajak anak-anak nonton film kartun. Tapi taik kucing! Tetap saja otak saya goblok!
Kemana kemampuan saya yang bisa menulis dua cerpen dalam semalam di tahun 1994 -1997 silam? Mana kecerdasan saya yang telah menulis panjang 10 ribu kata hanya dalam 2 malam? Mana minda yang pernah saya asah selama 3 tahun 4 bulan di universitas, dua minggu di Pantau Foundation dan berbagai kursus journalistik? Kepala yang saya jejal dengan isi majalah, buku-buku sejarah, komik silat, filsafat, novel, sastra dan sebagainya? Mana Wisnu Pamungkas yang bisa mengarang 4 puisi dalam sehari? Mana, Oiii….poekemae…!?
“Blaab!!”
Listrik tiba-tiba padam. Saxophone Glenn Miller yang baru 1 menit 45 detik mengalunkan Tuxedo Junction langsung lenyap. Bumi senyap. Seluruh ruangan gelap. Komputer turut semaput karena tak dilengkapi UPS. Hati saya kecut dan marah. Sangat Marah! Tak beberapa lama kemudian listrik baru menyala lagi. Tetapi akibatnya lebih dari separuh tilisan yang saya susun dengan susah payah lenyap!
“PLN Jancuk!” maki saya lagi. Karena sudah larut saya ogah membuka lagi program MP3. Perasaan saya terlanjur geram tapi tak tahu harus dilampiaskan kemana. Para tetangga pun pasti sudah lama tidur lelap. Tapi saya perlu membagi emosi saya, sebelum logika saya cidera. Saya lantas mengirim Short Massage Service (SMS) kepada Nur Iskandar.
“Malam ini sya benar2 marah. Sya sudah berjuang membangunkan dri sendiri untuk menulis bku kita. Apalagi ditampar dg kta malas. Sya sdh mengetik 3 hlmn, dr 5 tlisan yg tak slesai. Listrik tiba2 pdm. Rasanya prcuma punya Negara, tpi ngurus listrik saja tak bisa! Aku mulai phobia terhadap negara. Maaf.”
Tak puas dengan SMS pertama, saya lantas mengirimkan SMS curhat saya yang kedua:
“Memiliki negara ternyata tk menyelesaikan apa2. Bahkan masalah rakyatnya yang paling esensial.”
Saya menunggu, tapi tak ada balasan. Mungkin dia sudah tidur. Tadi siang Nur Iskandar mengeluh sakit kulit. Wajah hingga ujung kakinya tampak dihiasi bintik-bintik merah seperti biduran. Mungkin alergi.
Sudah bertahun-tahun listrik byar-pet dan menjadi biasa negeri ini.
Malam ini ‘kebiasaan’ itu menaikkan tensi emosi saya yang sedang bergulat dengan diri sendiri. Belum lagi pemadaman bergilir atau mendadak sepanjang tahun yang tak perlu saya ceritakan di sini.
Alasannya mesin sudah tua dan perlu perawatan. Adakah negeri ini dibangun tanpa perencanaan? Benar-benar menjengkelkan dan bila diakumulasikan, kisah-kisah begini bisa membuat beberapa orang seperti saya jera bernegara. Lebih baik sebut saja sepotong kampug misalnya atau apa saja, tanpa jor-joran politik yang membingungkan rakyat, tetapi hidup warga terurus dengan baik. Rakyat aman, tidak miskin dan merdeka untuk berpikir dan berpendapat serta kreatif.
Saya ingat ketika PT Borneo Tribune Press mendirikan percertakannya. PLN ternyata tak mampu menyediakan daya yang dibutuhkan perusahaan. Sehingga perusahaan media tersebut terpaksa beli genzet sendiri.
Bah! Bagaimana Kalbar berharap investor luar mau menanamkan modal? Memenuhi kebutuhan listrik satu investor lokal (yang cuma 60 KVA) saja tak sanggup!
Saya
mencecap sisa kopi di meja yang sudah lama dingin dengan perasaan mual! Sungguh
saya tak habis pikir, bagaimana bisa para penyelnggara negara ini tak merasa
bersalah telah membiarkan rakyatnya hidup di republik sakit?
Pontianak, 2007