Epilog: Puisi sebagai Manifestasi Kemanusiaan yang Tak Pernah Usai

Puisi Wedhanta Willy, Puisi, Epilog buku Love, Life & Revolution, Alexander Mering, Wisnu Pamungkas


Oleh: Wisnu Pamungkas

Puisi, dalam esensinya, adalah percakapan antara jiwa dan dunia. Ia tak pernah berdiri di satu sisi saja—melainkan selalu ada di antara dua kutub: cinta dan kehilangan, hidup dan kematian, revolusi dan ketenangan.

Dalam buku ini, Love, Life & Revolution, Wedhanta Willy mengajak kita menyelami tiga dimensi besar dari eksistensi manusia melalui sajak-sajaknya yang puitis, reflektif, dan kadang-kadang menusuk seperti belati. Melalui kata-kata yang terjalin dengan ketelitian seorang penenun, ia mengundang pembaca untuk merenung tentang apa yang membuat kita "manusia": kerapuhan kita, hasrat kita, dan impian kita.

Sebagaimana Yuval Noah Harari menggambarkan evolusi manusia sebagai serangkaian pertanyaan besar—tentang makna, identitas, dan tujuan—kumpulan puisi ini pun menawarkan meditasi mendalam tentang hal-hal yang sulit dipahami secara logika.[1] Cinta, misalnya, digambarkan tidak hanya sebagai emosi, tetapi sebagai kekuatan yang menggerakkan alam semesta. Dalam sajak "Eria", Wedhanta menulis: “Betapa hujan tak sanggup menghapuskan/Segala yang coba kita lupakan”.

Di sini, hujan menjadi metafora bagi kenangan yang terus menerpa, meskipun kita mencoba melarikan diri darinya. Ini adalah pengingat bahwa cinta bukanlah sekadar momen indah atau tragis; ia adalah proses abadi yang membentuk siapa kita. Seperti yang dikatakan Roland Barthes dalam Fragments of a Lover’s Discourse, cinta adalah bahasa yang tak pernah sepenuhnya dapat diuraikan, karena ia mengandung paradoks: hadir dan hilang secara bersamaan.[2]

Namun, jika cinta adalah benang merah yang mengikat banyak sajak dalam bab pertama, maka hidup, dalam bab kedua, adalah medan eksplorasi yang jauh lebih luas. Dalam sajak "Kuk", Wedhanta mempertanyakan arti keberadaan manusia dengan cara yang sangat filosofis: “Apakah masih ada artinya, ketika lapar dapat ditambal dengan makanan/Ketika roti bisa dijelmakan dari bebatuan?”

Pertanyaan ini menggemakan pemikiran Albert Camus tentang absurditas kehidupan, di mana manusia terus mencari makna dalam dunia yang pada dasarnya tanpa tujuan.[3] Namun, berbeda dengan nihilisme Camus, Wedhanta tampaknya menawarkan alternatif lain: bahwa hidup, meskipun absurd, tetap memiliki nilai intrinsik dalam setiap detilnya—dalam setiap rasa lapar, setiap roti yang disantap, dan setiap langkah kaki di bumi yang keras.

Revolusi, bagian ketiga dari trilogi ini, adalah manifestasi amarah, harapan, dan perjuangan. Dalam sajak "Akan Selalu Ada", Wedhanta menulis: “Akan selalu ada, petani mati penuh luka/Di atas kebun yang ditanami cinta”. Sastra revolusioner sering kali menjadi cermin bagi ketidakadilan sosial, dan sajak ini adalah salah satu contohnya. Ia tidak hanya bicara tentang perlawanan fisik, tetapi juga perlawanan spiritual—perjuangan untuk menjaga tanah, sungai, dan hutan sebagai warisan leluhur.[4] Konsep ini mengingatkan kita pada gagasan Arundhati Roy dalam The Doctor and the Saint, di mana ia menekankan bahwa revolusi sejati adalah restorasi hubungan manusia dengan alam.[5] Revolusi, dalam konteks ini, bukanlah destruksi total, melainkan transformasi menuju keseimbangan baru.

Tetapi, apa yang membuat puisi-puisi ini begitu relevan di era modern? Jawabannya terletak pada universalitasnya. Meskipun banyak sajak di sini lahir dari konteks budaya Dayak dan pengalaman pribadi penyair, tema-tema yang diangkat—cinta, kehilangan, perjuangan, dan pencarian makna—adalah tema yang melampaui batas geografis dan temporal. Misalnya, dalam sajak "Sepuluh Kota, Niscaya Tuhan Pernah di Sana", Wedhanta melakukan perjalanan spiritual melalui kota-kota tua, menghubungkan jejak-jejak sejarah dengan pengalaman personalnya. Ini mengingatkan kita pada konsep topophilia yang dikemukakan oleh Yi-Fu Tuan, yaitu hubungan emosional manusia dengan tempat-tempat tertentu.[6] Kota-kota dalam sajak ini bukan hanya lokasi fisik, tetapi juga ruang imajiner di mana Tuhan dan manusia bertemu.

Akhirnya, dalam sajak "dan Sesudah Hari-hari Kerisauan...", Wedhanta merefleksikan keraguan dan harapan manusia dalam kalimat yang kuat: “Begitulah seharusnya kau ketahui, suasana di sini, selepas ditindas musim-musim meranggas/Ketika hujan menumpahkan amarahnya, segala yang bernyawa lindap dan tumpas/Rimba, biar kau pahami, sungguh sebuah perkara pelik, sebab anak-anak dalam rahimnya meneriakkan pekik sebelum lahir: Agik idup, agik ngelaban!” Kalimat ini menjadi penegasan bahwa perjuangan hidup adalah bagian dari kodrat manusia, yang harus dilakukan dengan keyakinan dan semangat.

Secara keseluruhan, kumpulan puisi ini adalah upaya untuk mendefinisikan ulang apa artinya menjadi manusia. Ia mengundang kita untuk merefleksikan hubungan kita dengan orang lain (cinta), dengan diri sendiri (hidup), dan dengan dunia di sekitar kita (revolusi). Sebagaimana Harari mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk fiksi kolektif, demikian pula Wedhanta menunjukkan bahwa puisi adalah bentuk fiksi yang paling otentik—karena ia lahir dari kebutuhan mendalam untuk memahami realitas.

Akhirnya, saya hanya bisa mengatakan bahwa puisi bukanlah jawaban final, melainkan pertanyaan yang terus bergulir. Maka, mari kita anggap buku ini sebagai titik awal, bukan akhir—sebuah undangan Wedhanta untuk terus berevolusi, baik sebagai individu maupun sebagai spesies yang tengah melarung dalam sungai sastra yang keruh, di sebuah realitas ruang yang disebut kehidupan.

 



[1] Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind (London: Harvill Secker, 2014).

[2] Roland Barthes, Fragments of a Lover’s Discourse (New York: Hill and Wang, 1978).

[3] Albert Camus, The Myth of Sisyphus (New York: Vintage International, 1991).

[4] Arundhati Roy, The Doctor and the Saint (New Delhi: Penguin India, 2017).

[5] Ibid.

[6] Yi-Fu Tuan, Space and Place: The Perspective of Experience (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1977).

Post a Comment

Thank you*

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more