Oleh: Wisnu Pamungkas
Puisi, dalam esensinya, adalah percakapan antara jiwa dan dunia. Ia tak pernah berdiri di satu sisi saja—melainkan selalu ada di antara dua kutub: cinta dan kehilangan, hidup dan kematian, revolusi dan ketenangan.
Dalam
buku ini, Love, Life & Revolution, Wedhanta Willy mengajak kita
menyelami tiga dimensi besar dari eksistensi manusia melalui sajak-sajaknya
yang puitis, reflektif, dan kadang-kadang menusuk seperti belati. Melalui
kata-kata yang terjalin dengan ketelitian seorang penenun, ia mengundang
pembaca untuk merenung tentang apa yang membuat kita "manusia":
kerapuhan kita, hasrat kita, dan impian kita.
Sebagaimana
Yuval Noah Harari menggambarkan evolusi manusia sebagai serangkaian pertanyaan
besar—tentang makna, identitas, dan tujuan—kumpulan puisi ini pun menawarkan
meditasi mendalam tentang hal-hal yang sulit dipahami secara logika.[1]
Cinta, misalnya, digambarkan tidak hanya sebagai emosi, tetapi sebagai kekuatan
yang menggerakkan alam semesta. Dalam sajak "Eria", Wedhanta menulis:
“Betapa hujan tak sanggup menghapuskan/Segala yang coba kita lupakan”.
Di
sini, hujan menjadi metafora bagi kenangan yang terus menerpa, meskipun kita
mencoba melarikan diri darinya. Ini adalah pengingat bahwa cinta bukanlah
sekadar momen indah atau tragis; ia adalah proses abadi yang membentuk siapa
kita. Seperti yang dikatakan Roland Barthes dalam Fragments of a Lover’s
Discourse, cinta adalah bahasa yang tak pernah sepenuhnya dapat diuraikan,
karena ia mengandung paradoks: hadir dan hilang secara bersamaan.[2]
Namun,
jika cinta adalah benang merah yang mengikat banyak sajak dalam bab pertama,
maka hidup, dalam bab kedua, adalah medan eksplorasi yang jauh lebih luas.
Dalam sajak "Kuk", Wedhanta mempertanyakan arti keberadaan manusia
dengan cara yang sangat filosofis: “Apakah masih ada artinya, ketika lapar
dapat ditambal dengan makanan/Ketika roti bisa dijelmakan dari bebatuan?”
Pertanyaan
ini menggemakan pemikiran Albert Camus tentang absurditas kehidupan, di mana
manusia terus mencari makna dalam dunia yang pada dasarnya tanpa tujuan.[3]
Namun, berbeda dengan nihilisme Camus, Wedhanta tampaknya menawarkan alternatif
lain: bahwa hidup, meskipun absurd, tetap memiliki nilai intrinsik dalam setiap
detilnya—dalam setiap rasa lapar, setiap roti yang disantap, dan setiap langkah
kaki di bumi yang keras.
Revolusi,
bagian ketiga dari trilogi ini, adalah manifestasi amarah, harapan, dan
perjuangan. Dalam sajak "Akan Selalu Ada", Wedhanta menulis: “Akan
selalu ada, petani mati penuh luka/Di atas kebun yang ditanami cinta”. Sastra
revolusioner sering kali menjadi cermin bagi ketidakadilan sosial, dan sajak
ini adalah salah satu contohnya. Ia tidak hanya bicara tentang perlawanan
fisik, tetapi juga perlawanan spiritual—perjuangan untuk menjaga tanah, sungai,
dan hutan sebagai warisan leluhur.[4]
Konsep ini mengingatkan kita pada gagasan Arundhati Roy dalam The Doctor and
the Saint, di mana ia menekankan bahwa revolusi sejati adalah restorasi
hubungan manusia dengan alam.[5]
Revolusi, dalam konteks ini, bukanlah destruksi total, melainkan transformasi
menuju keseimbangan baru.
Tetapi,
apa yang membuat puisi-puisi ini begitu relevan di era modern? Jawabannya
terletak pada universalitasnya. Meskipun banyak sajak di sini lahir dari
konteks budaya Dayak dan pengalaman pribadi penyair, tema-tema yang
diangkat—cinta, kehilangan, perjuangan, dan pencarian makna—adalah tema yang
melampaui batas geografis dan temporal. Misalnya, dalam sajak "Sepuluh Kota,
Niscaya Tuhan Pernah di Sana", Wedhanta melakukan perjalanan spiritual
melalui kota-kota tua, menghubungkan jejak-jejak sejarah dengan pengalaman
personalnya. Ini mengingatkan kita pada konsep topophilia yang
dikemukakan oleh Yi-Fu Tuan, yaitu hubungan emosional manusia dengan
tempat-tempat tertentu.[6]
Kota-kota dalam sajak ini bukan hanya lokasi fisik, tetapi juga ruang imajiner
di mana Tuhan dan manusia bertemu.
Akhirnya,
dalam sajak "dan Sesudah Hari-hari Kerisauan...", Wedhanta
merefleksikan keraguan dan harapan manusia dalam kalimat yang kuat: “Begitulah
seharusnya kau ketahui, suasana di sini, selepas ditindas musim-musim
meranggas/Ketika hujan menumpahkan amarahnya, segala yang bernyawa lindap dan
tumpas/Rimba, biar kau pahami, sungguh sebuah perkara pelik, sebab anak-anak
dalam rahimnya meneriakkan pekik sebelum lahir: Agik idup, agik ngelaban!”
Kalimat ini menjadi penegasan bahwa perjuangan hidup adalah bagian dari kodrat
manusia, yang harus dilakukan dengan keyakinan dan semangat.
Secara
keseluruhan, kumpulan puisi ini adalah upaya untuk mendefinisikan ulang apa
artinya menjadi manusia. Ia mengundang kita untuk merefleksikan hubungan kita
dengan orang lain (cinta), dengan diri sendiri (hidup), dan dengan dunia di
sekitar kita (revolusi). Sebagaimana Harari mengingatkan kita bahwa manusia
adalah makhluk fiksi kolektif, demikian pula Wedhanta menunjukkan bahwa puisi
adalah bentuk fiksi yang paling otentik—karena ia lahir dari kebutuhan mendalam
untuk memahami realitas.
Akhirnya,
saya hanya bisa mengatakan bahwa puisi bukanlah jawaban final, melainkan
pertanyaan yang terus bergulir. Maka, mari kita anggap buku ini sebagai titik
awal, bukan akhir—sebuah undangan Wedhanta untuk terus berevolusi, baik sebagai
individu maupun sebagai spesies yang tengah melarung dalam sungai sastra yang
keruh, di sebuah realitas ruang yang disebut kehidupan.
[1] Yuval
Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind (London: Harvill Secker,
2014).
[2] Roland
Barthes, Fragments of a Lover’s Discourse (New York: Hill and Wang, 1978).
[3] Albert
Camus, The Myth of Sisyphus (New York: Vintage International, 1991).
[4] Arundhati
Roy, The Doctor and the Saint (New Delhi: Penguin India, 2017).
[5]
Ibid.
[6] Yi-Fu
Tuan, Space and Place: The Perspective of Experience (Minneapolis: University
of Minnesota Press, 1977).