![]() |
Jalan Moral dari Hutan ke Hati |
Di bawah kanopi hutan tropis Kalimantan, di tepi sungai Kapuas yang berkelok seperti nadi bumi, masyarakat Dayak telah menjalin sistem moral yang tak tertulis namun hidup selama berabad-abad. Berbeda dengan kitab suci atau kode hukum Barat, etika Dayak lahir dari bisikan angin di dedaunan, ritme musyawarah di rumah panjang, dan penghormatan kepada roh-roh yang diyakini menghuni setiap pohon dan batu. Etika ini, sebagaimana digambarkan oleh Alexander Mering, bukanlah teori abstrak yang lahir di ruang seminar, melainkan jalan moral yang berpijak pada harmoni antara manusia, alam, dan dunia gaib. Dalam dunia yang kini terfragmentasi oleh individualisme dan eksploitasi lingkungan, apa yang bisa kita pelajari dari filsafat Dayak yang sederhana namun mendalam ini?
Akar Etika di Hutan dan Sungai
Bayangkan sebuah dunia di mana moralitas tidak ditulis di
atas kertas, melainkan diukir dalam cara Anda berbagi hasil buruan dengan
tetangga, atau dalam doa yang Anda ucapkan sebelum menebang pohon. Bagi
masyarakat Dayak—suku-suku seperti Iban, Ngaju, dan Punan yang menghuni
pedalaman Kalimantan—etika adalah praktik hidup yang tak terpisahkan dari
lingkungan. Seorang naturalis Belanda, Carl Schwaner, yang menjelajahi
Kalimantan pada 1840-an, mencatat bahwa Dayak Ngaju membagi daging rusa atau
babi hutan secara merata di antara anggota komunitas, bukan karena perintah
formal, tetapi karena kebersamaan adalah inti kehidupan mereka. Prinsip ini,
yang oleh Mering disebut sebagai Adil Ka’ Talino (keadilan kepada
sesama), mencerminkan pandangan bahwa kebaikan bukanlah milik individu,
melainkan benang yang menjahit komunitas menjadi satu.
Berbeda dengan filsafat Barat, yang sering memisahkan
manusia dari alam—seperti Thomas Hobbes yang melihat keadaan alami sebagai
“perang semua melawan semua” yang harus dijinakkan melalui kontrak sosial—Dayak
memandang alam sebagai guru dan mitra. Ritual seperti ngambi ka tanah,
yang dilakukan sebelum membuka ladang, menunjukkan penghormatan kepada roh
tanah, seolah alam memiliki hak veto atas tindakan manusia. Bernard Sellato,
seorang antropolog yang mempelajari Dayak, mencatat bahwa praktik ini bukan
sekadar takhayul, melainkan etika ekologis yang menjaga keseimbangan ekosistem.
Di era ketika deforestasi telah menghapus lebih dari separuh hutan Kalimantan
sejak 1950, kearifan ini terasa seperti suara kenabian dari masa lalu.
Musyawarah: Jantung Etika Kolektif
Jika hutan adalah server pengetahuan moral Dayak, rumah
panjang adalah pusat penyebarannya. Rumah panjang—struktur kayu raksasa yang
menampung puluhan keluarga—adalah mikrokosmos budaya Dayak, tempat nilai-nilai
seperti kebersamaan dan tanggung jawab kolektif diperkuat. Di ruai,
ruang tengah yang luas, musyawarah digelar untuk menyelesaikan konflik atau
merencanakan aktivitas komunal. Victor King, seorang ahli etnografi, menggambarkan
musyawarah ini sebagai proses yang mendengarkan semua suara, termasuk secara
simbolis suara roh leluhur, sehingga keputusan mencerminkan harmoni sosial dan
spiritual.
Bayangkan sebuah sidang tanpa hakim, namun setiap orang
merasa terikat oleh keputusan bersama. Ketika seseorang melanggar tabu, seperti
menebang pohon keramat tanpa izin, denda berupa kain tenun atau hewan untuk
ritual diberikan, bukan untuk menghukum, melainkan untuk memulihkan
keseimbangan dengan alam dan komunitas. Pendekatan ini kontras dengan keadilan
Barat yang sering fokus pada hukuman individu, seperti dalam sistem hukum
positif yang diadvokasi oleh John Rawls. Bagi Dayak, keadilan adalah tentang
menyatukan kembali benang-benang yang terputus dalam jejaring hidup, sebuah
gagasan yang terasa relevan di tengah krisis sosial dan lingkungan saat ini.
Spiritualitas: Napas Moralitas
Di jantung etika Dayak terdapat spiritualitas animisme dan
Kaharingan, yang memandang alam sebagai entitas sakral yang bernapas bersama
manusia. Setiap pohon, sungai, atau gunung dihuni oleh roh yang harus
dihormati, dan melanggar harmoni ini bisa mengundang bencana—penyakit,
kegagalan panen, atau malapetaka. Anne Schiller, yang meneliti Kaharingan
Ngaju, mencatat bahwa larangan menebang pohon beringin dianggap sebagai hukum
moral, divalidasi oleh mimpi atau tanda alam yang diterima tetua adat. Berbeda
dengan moralitas Kantian yang berpijak pada akal murni, Dayak mengintegrasikan
indera, komunitas, dan dunia gaib sebagai sumber kebenaran moral.
Spiritualitas ini bukan hanya soal takut akan sanksi roh,
tetapi juga tentang tanggung jawab kosmik. Ritual ngarawang, yang
dilakukan sebelum membangun rumah panjang, adalah doa untuk memastikan restu
leluhur, seolah masa lalu dan masa kini terhubung dalam satu napas. Dalam dunia
yang semakin sekuler, di mana logika rasional sering mengesampingkan dimensi
spiritual, pendekatan Dayak mengingatkan kita bahwa moralitas bisa lebih dari
sekadar kontrak sosial—ia adalah tarian harmonis dengan sesuatu yang lebih
besar dari diri kita.
Dialog dengan Dunia Modern
Apa artinya etika Dayak bagi kita hari ini? Di tengah krisis
iklim dan polarisasi sosial, prinsip-prinsip seperti Adil Ka’ Talino dan
penghormatan kepada alam menawarkan alternatif terhadap paradigma Barat yang
sering memprioritaskan individu di atas komunitas, atau manusia di atas
lingkungan. Penolakan masyarakat Dayak Bukit terhadap perusahaan kayu pada
1990-an, sebagaimana didokumentasikan oleh Anna Tsing, menunjukkan bahwa etika
ini bukan sekadar nostalgia, tetapi alat perlawanan yang hidup. Dengan
musyawarah di rumah panjang, mereka mempertahankan hutan sebagai “ibu” yang
memberi kehidupan, sebuah metafora yang menggema di era ketika bumi kita
terluka oleh eksploitasi tanpa henti.
Namun, tantangan modern mengintai. Deforestasi, urbanisasi,
dan migrasi generasi muda ke kota telah melemahkan rumah panjang sebagai pusat
moral. Kebijakan Orde Baru yang memaksa Dayak pindah ke pemukiman individu pada
1970-an, seperti dicatat King, mengikis kebersamaan yang menjadi inti etika mereka.
Akankah filsafat Dayak bertahan di dunia yang didominasi pasar dan teknologi?
Mungkin jawabannya terletak pada kemampuan kita untuk mendengarkan—bukan hanya
suara manusia, tetapi juga bisikan hutan, sungai, dan roh-roh yang masih hidup
dalam cerita Dayak.
Sebuah Undangan untuk Berpikir Ulang
Etika Dayak, dengan akarnya di hutan dan jantungnya di rumah
panjang, adalah pengingat bahwa moralitas sejati tidak selalu membutuhkan teks
atau institusi. Ia bisa lahir dari hubungan—dengan sesama, dengan alam, dengan
yang tak terlihat. Dalam dunia yang terburu-buru menuju efisiensi dan
keuntungan, Dayak mengajak kita untuk berhenti sejenak, mendengar gemerisik
daun, dan bertanya: bagaimana kita bisa hidup bersama, bukan hanya sebagai
individu, tetapi sebagai bagian dari jejaring kosmik yang lebih luas? Seperti
musyawarah di ruai, jawabannya mungkin terletak pada kemauan kita untuk
mendengarkan dan berbagi, membawa jalan moral dari hutan ke hati kita sendiri.
Jika Anda ingin menjelajahi lebih dalam konsep Adil Ka’
Talino atau keadilan kosmik Dayak, ikuti artikel berikutnya dalam serial ini.
Sumber:
- King,
Victor T. 1993. The Peoples of Borneo. Oxford: Wiley-Blackwell.
- Sellato,
Bernard. 2002. Nomads of the Borneo Rainforest. Honolulu:
University of Hawaii Press.
- Schwaner,
Carl. 1853. Borneo: Beschrijving van het Stroomgebied van den Barito.
Amsterdam.
- Schiller,
Anne. 1997. Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity
among the Ngaju of Indonesia. New York: Oxford University Press.
- Tsing,
Anna L. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection.
Princeton: Princeton University Press.