![]() |
Makna kebaikan dalam filsafat dayak |
Di tepi sungai Mahakam, di bawah naungan rumah panjang yang berdiri kokoh seperti tulang punggung komunitas, masyarakat Dayak telah lama mempraktikkan sebuah prinsip sederhana namun mendalam: Adil Ka’ Talino, atau keadilan kepada sesama. Dalam bahasa Kanayatn, frasa ini bukan sekadar slogan, melainkan panduan moral yang menuntun cara mereka berbagi, bekerja sama, dan menjaga harmoni sosial. Berbeda dengan gagasan kebaikan Barat yang sering terpaku pada niat individu atau konsekuensi utilitarian, Adil Ka’ Talino menempatkan kebaikan sebagai tindakan kolektif yang menghubungkan manusia dengan komunitas dan alam. Di tengah dunia modern yang terobsesi dengan kompetisi dan kepemilikan, apa yang bisa kita pelajari dari filsafat Dayak tentang kebaikan yang lahir dari kebersamaan?
Kebaikan sebagai Tindakan Berbagi
Bayangkan sebuah malam di rumah panjang suku Iban, di mana
api unggun menerangi ruai, ruang tengah tempat komunitas berkumpul.
Seorang pemburu kembali dengan seekor rusa, hasil buruan hari itu. Alih-alih
menyimpannya untuk keluarganya, daging dibagi rata di antara semua keluarga di
rumah panjang, tanpa memandang siapa yang berkontribusi. Carl Schwaner, seorang
naturalis Belanda yang mengamati Dayak Ngaju pada 1840-an, mencatat praktik ini
sebagai cerminan nilai mendalam: kehidupan hanya bermakna jika dinikmati
bersama. Bagi Dayak, kebaikan bukanlah soal niat baik semata, seperti yang
ditekankan Immanuel Kant dalam etika deontologinya, melainkan tindakan nyata
yang memperkuat ikatan komunal.
Adil Ka’ Talino merangkum gagasan ini: keadilan
kepada sesama berarti memastikan tidak ada yang kelaparan saat yang lain
berlimpah. Victor King, seorang etnograf yang mempelajari masyarakat Borneo,
menjelaskan bahwa prinsip ini terlihat dalam musyawarah, di mana keputusan
dibuat untuk kepentingan bersama, bukan individu. Ketika panen padi melimpah,
biji-biji disisihkan untuk burung dan tanah, sebuah tindakan yang oleh Bernard
Sellato disebut sebagai “kepekaan ekologis.” Kebaikan Dayak, dengan demikian,
melampaui hubungan antarmanusia—ia mencakup alam sebagai bagian dari komunitas
yang lebih luas.
Kontras dengan Individualisme Barat
Untuk memahami keunikan Adil Ka’ Talino, kita perlu
membandingkannya dengan pandangan Barat tentang kebaikan. Dalam Nicomachean
Ethics, Aristoteles mendefinisikan kebaikan sebagai pencapaian eudaimonia—kehidupan
sejahtera melalui kebajikan individu seperti keberanian atau kebijaksanaan.
Fokusnya adalah pada karakter pribadi, sebuah gagasan yang menggemakan
individualisme modern. Kant, di sisi lain, menegaskan bahwa kebaikan terletak
pada niat rasional yang sesuai dengan hukum moral universal, terlepas dari
hasilnya. John Stuart Mill, dengan utilitarianisme, mengukur kebaikan dari
konsekuensi yang memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbanyak.
Ketiganya, meski berbeda, berbagi satu ciri: kebaikan sering dipahami sebagai urusan
individu atau hasil yang terukur, bukan proses kolektif yang terikat pada
lingkungan.
Dayak menawarkan perspektif yang berbeda. Adil Ka’ Talino
tidak bertanya, “Apa niatku?” atau “Berapa banyak kebahagiaan yang dihasilkan?”
melainkan “Bagaimana tindakanku menjaga harmoni komunitas dan alam?” Anna
Tsing, dalam studinya tentang Dayak Bukit di Pegunungan Meratus,
mendokumentasikan bagaimana mereka menolak perusahaan kayu pada 1990-an, bukan
demi keuntungan pribadi, tetapi untuk melindungi hutan sebagai sumber kehidupan
bersama. Tindakan ini adalah kebaikan dalam pengertian Dayak: sebuah
pengorbanan kolektif yang memprioritaskan kelangsungan komunitas di atas
kepentingan individu.
Ontologi Moral: Harmoni Kosmik
Di balik Adil Ka’ Talino terdapat pandangan
kosmologis yang melihat kebaikan sebagai keseimbangan antara manusia, alam, dan
roh. Dalam kepercayaan Dayak, Jubata—dewa tertinggi—hadir dalam alam sebagai
sumber kehidupan. Mengganggu harmoni ini, misalnya dengan mengambil lebih dari
yang dibutuhkan, berarti melawan tatanan kosmik. Sellato mencatat bahwa
masyarakat Kayan hanya menanam padi secukupnya, menyisakan sebagian untuk satwa
liar, sebagai wujud tanggung jawab kepada ekosistem. Berbeda dengan ontologi
Plato, yang memisahkan kebaikan sebagai ide abstrak di dunia ideal, Dayak
menempatkan kebaikan dalam hubungan nyata yang hidup di sekitar mereka.
Prinsip ini mengingatkan pada phronesis Aristoteles—kebijaksanaan
praktis yang menuntun tindakan bijaksana dalam konteks tertentu. Namun, jika phronesis
berfokus pada individu, Adil Ka’ Talino memperluasnya ke ranah kolektif.
Ketika tetua Dayak memutuskan pembagian hasil buruan, mereka tidak hanya
memikirkan kebutuhan saat ini, tetapi juga keseimbangan jangka panjang dengan
alam dan roh leluhur. Ini adalah kebijaksanaan yang tidak hanya rasional,
tetapi juga relasional, sebuah pendekatan yang kontras dengan individualisme
Hobbes, yang melihat moralitas sebagai kontrak untuk mengatasi egoisme.
Relevansi di Era Modern
Apa artinya Adil Ka’ Talino di dunia yang didominasi
oleh pasar global dan teknologi? Di tengah krisis iklim dan ketimpangan sosial,
prinsip berbagi dan solidaritas Dayak terasa seperti antidot terhadap budaya
konsumerisme. Ketika masyarakat Dayak Bukit melindungi hutan mereka dari
eksploitasi, mereka menunjukkan bahwa kebaikan bukanlah soal memiliki lebih
banyak, tetapi memastikan semua pihak—manusia, alam, dan roh—memiliki cukup.
Praktik ini menggemakan gagasan ekonomi berbagi modern, di mana sumber daya
dikelola untuk kepentingan bersama, bukan akumulasi pribadi.
Namun, tantangan modern mengancam kelangsungan prinsip ini.
Deforestasi, yang telah menghancurkan lebih dari separuh hutan Kalimantan sejak
1950, melemahkan basis ekologis Adil Ka’ Talino. Urbanisasi dan migrasi
ke kota juga mengikis kehidupan komunal di rumah panjang, tempat prinsip ini
diperkuat melalui musyawarah. King mencatat bahwa kebijakan Orde Baru pada
1970-an, yang memaksa Dayak pindah ke pemukiman individu, telah mengurangi
ruang untuk solidaritas kolektif. Akankah Adil Ka’ Talino tetap relevan
ketika hutan lenyap dan rumah panjang menjadi kenangan?
Undangan untuk Berbagi Kembali
Adil Ka’ Talino adalah lebih dari sekadar prinsip
moral—it’s a call to reimagine kebaikan sebagai tindakan berbagi yang
menghubungkan kita dengan sesama dan bumi. Dalam dunia yang terpecah oleh
keserakahan dan isolasi, Dayak mengingatkan kita bahwa kebaikan sejati tidak
diukur dari apa yang kita miliki, tetapi dari apa yang kita berikan. Seperti
pemburu yang membagi daging rusa di ruai, kita diundang untuk bertanya:
bagaimana kita bisa berbagi lebih banyak, tidak hanya dengan manusia, tetapi
juga dengan alam yang menopang kita? Jawabannya mungkin terletak pada
kembalinya kita ke kebersamaan, mendengarkan cerita hutan, dan membangun
komunitas yang hidup dalam harmoni.
Ikuti artikel berikutnya untuk menjelajahi Bacuramin Ka’
Saruga, konsep keadilan kosmik Dayak yang memulihkan harmoni dengan langit dan
bumi.
Sumber:
- King,
Victor T. 1993. The Peoples of Borneo. Oxford: Wiley-Blackwell.
- Sellato,
Bernard. 2002. Nomads of the Borneo Rainforest. Honolulu:
University of Hawaii Press.
- Schwaner,
Carl. 1853. Borneo: Beschrijving van het Stroomgebied van den Barito.
Amsterdam.
- Tsing,
Anna L. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection.
Princeton: Princeton University Press.