![]() |
Filsafat Dayak: Bacuramin Ka' Saruga |
Di bawah langit Kalimantan yang luas, di mana awan berarak di atas hutan tropis dan sungai Kapuas berkilau seperti cermin, masyarakat Dayak telah lama mempraktikkan sebuah bentuk keadilan yang tidak bertumpu pada hukuman atau pembalasan, melainkan pada pemulihan harmoni kosmik. Bacuramin Ka’ Saruga—dalam bahasa Dayak, “mencerminkan kebenaran ke surga”—adalah konsep keadilan yang melihat setiap tindakan manusia sebagai bagian dari jejaring yang menghubungkan komunitas, alam, dan roh-roh yang menghuni dunia gaib. Berbeda dengan pengadilan Barat yang mencari pelaku untuk dihukum, keadilan Dayak bertanya: bagaimana kita bisa menyatukan kembali benang-benang yang telah putus dalam tatanan kosmik? Di tengah dunia modern yang terobsesi dengan retribusi dan efisiensi, apa yang bisa kita pelajari dari filsafat Dayak yang memandang keadilan sebagai cermin langit?
Keadilan sebagai Pemulihan Harmoni
Bayangkan sebuah sore di rumah panjang suku Iban, tempat
puluhan keluarga berkumpul di ruai, ruang tengah yang menjadi jantung
komunitas. Seorang anggota komunitas telah melanggar tabu: ia menebang pohon
keramat tanpa izin ritual, sebuah tindakan yang diyakini mengganggu roh hutan.
Alih-alih mengasingkan atau menghukumnya, tetua adat memimpin musyawarah
panjang, mendengarkan semua suara—dari manusia hingga, secara simbolis, roh-roh
yang tersinggung. Keputusan akhirnya bukan penjara atau denda berat, tetapi
sebuah ritual ngulang tanah, di mana pelaku menyumbang kain tenun atau
hewan untuk upacara pemulihan harmoni dengan alam. C.H. van der Meer, seorang
pejabat kolonial yang mengamati Iban pada 1890-an, mencatat bahwa proses ini
tidak memiliki hakim formal, namun menghasilkan kedamaian yang diterima semua
pihak.
Bacuramin Ka’ Saruga merangkum inti keadilan Dayak:
bukan tentang menyalahkan, tetapi tentang mengembalikan keseimbangan. Bernard
Sellato, antropolog yang mempelajari Dayak Punan, mendokumentasikan praktik
serupa di pedalaman Mahakam, di mana pelaku perusakan hutan diminta menanam
kembali pohon sebagai wujud keadilan ekologis. Jika pohon keramat ditebang,
denda bukan hanya untuk menebus kesalahan individu, tetapi juga untuk memperbaiki
hubungan dengan roh tanah dan komunitas. Victor King menjelaskan bahwa
musyawarah ini melibatkan pertimbangan dampak pelanggaran pada tatanan yang
lebih luas—sosial, spiritual, dan lingkungan—sehingga keadilan menjadi proses
hidup, bukan putusan mati.
Konsep ini kontras tajam dengan keadilan Barat. Dalam
tradisi Thomas Aquinas, keadilan adalah cerminan hukum ilahi yang statis, di
mana pelaku harus menerima akibat sesuai dosanya. John Locke melihat keadilan
sebagai perlindungan hak individu, terutama kepemilikan properti, sementara
John Rawls mengusulkan distribusi sumber daya yang adil melalui “tabir
ketidaktahuan.” Ketiganya, meski berbeda, berfokus pada individu atau sistem
formal, sering mengabaikan dimensi kosmik atau ekologis. Dayak, sebaliknya,
memandang keadilan sebagai tarian harmonis yang melibatkan manusia, alam, dan
roh, dengan pemulihan sebagai tujuan utama.
Epistemologi Moral: Mengetahui yang Benar
Bagaimana Dayak tahu apa yang adil? Pengetahuan moral mereka
tidak berasal dari buku hukum atau logika deduktif, melainkan dari tradisi
lisan, pengalaman kolektif, dan petunjuk spiritual. King mencatat bahwa
larangan menebang pohon keramat bukan sekadar aturan kuno, tetapi divalidasi
oleh konsekuensi nyata—penyakit atau bencana—yang dianggap sebagai sanksi roh.
Tetua adat sering menerima petunjuk melalui mimpi atau tanda alam, seperti
burung yang terbang melintasi langit, yang diartikan sebagai pesan dari Jubata,
dewa tertinggi. Berbeda dengan epistemologi Kant, yang mengandalkan akal murni
untuk menetapkan hukum moral universal, Dayak mengintegrasikan indera,
komunitas, dan dunia gaib, menciptakan pendekatan yang lebih empirik dan
relasional.
Praktik ini terlihat jelas dalam penyelesaian konflik. Derek
Freeman, yang meneliti Iban pada 1950-an, mengamati bahwa pelanggaran tabu,
seperti mencuri dari ladang tetangga, diselesaikan dengan ritual pembersihan
yang melibatkan sesajen dan doa. Tujuannya bukan menghukum pelaku, tetapi
memulihkan harmoni yang terganggu, baik dengan manusia maupun roh. Carl Schwaner,
pada 1840-an, melaporkan bahwa hukum adat Dayak lebih ditakuti daripada
perintah kolonial, karena sanksi spiritual—seperti kutukan roh—dianggap lebih
berat daripada hukuman fisik. Pendekatan ini menunjukkan bahwa keadilan Dayak
tidak hanya tentang fakta atau logika, tetapi juga tentang hubungan yang
dirasakan dan dipercaya.
Dialog dengan Filsafat Barat
Bacuramin Ka’ Saruga membuka ruang untuk berdialog
dengan pemikiran Barat, terutama dengan konsep keadilan restoratif modern. Jika
Rawls mengusulkan keadilan sebagai distribusi yang adil, Dayak memperluasnya ke
ranah non-manusia, termasuk alam dan roh. Pendekatan mereka mirip dengan
gagasan Aristoteles tentang kebajikan sebagai “jalan tengah,” namun dengan
fokus kolektif—keadilan bukanlah keseimbangan dalam diri individu, tetapi dalam
jejaring hidup. Hobbes, dengan kontrak sosialnya yang bertujuan mengatasi
kekacauan, mungkin melihat musyawarah Dayak sebagai bentuk kontrak, tetapi
tanpa egoisme yang mendasari teorinya. Sebaliknya, Dayak mengutamakan solidaritas,
sebuah nilai yang kontras dengan individualisme Locke yang memprioritaskan hak
kepemilikan.
Dialog ini juga mengundang refleksi filosofis. Dalam dunia
Barat, keadilan sering dipahami sebagai mekanisme untuk mencegah pelanggaran di
masa depan, seperti dalam sistem hukum positif. Dayak, bagaimanapun, melihat
keadilan sebagai proses penyembuhan. Ketika seorang pelaku membayar denda
berupa kain tenun untuk ritual, itu bukan sekadar transaksi, tetapi tindakan
simbolis yang memperbaiki hubungan yang retak. Dalam konteks modern, di mana
sistem peradilan sering memperdalam polarisasi, pendekatan restoratif Dayak
menawarkan alternatif yang relevan—bukan menghukum, tetapi menyembuhkan.
Keadilan Ekologis: Pelajaran dari Hutan
Salah satu aspek paling visioner dari Bacuramin Ka’
Saruga adalah dimensi ekologisnya. Anna Tsing mendokumentasikan bagaimana
Dayak Bukit pada 1990-an menggunakan hukum adat untuk melindungi hutan dari
perusahaan kayu, sebuah tindakan yang mereka anggap sebagai keadilan untuk
menjaga harmoni dengan roh hutan. Di kalangan Kayan, denda untuk pelanggaran
adat sering dibagi kepada komunitas untuk memperkuat solidaritas sekaligus
memperbaiki kerusakan lingkungan, seperti menanam kembali pohon. Sellato
mencatat bahwa praktik ini mencerminkan pandangan kosmologis bahwa alam bukan
sekadar sumber daya, tetapi mitra yang memiliki hak dan kehendak sendiri.
Di era krisis iklim, ketika deforestasi telah menghapus
lebih dari separuh hutan Kalimantan sejak 1950, keadilan ekologis Dayak terasa
seperti panggilan mendesak. Berbeda dengan pandangan Locke, yang melihat alam
sebagai properti untuk dieksploitasi, atau Hobbes, yang menganggapnya sebagai
ancaman yang harus ditaklukkan, Dayak mengajarkan bahwa keadilan sejati
mencakup tanggung jawab terhadap ekosistem. Ketika dunia bergulat dengan
perubahan iklim dan hilangnya biodiversitas, pendekatan mereka—yang
mengintegrasikan manusia, alam, dan roh dalam satu tatanan moral—menawarkan
model yang tidak hanya praktis, tetapi juga mendalam secara filosofis.
Tantangan Modern dan Ketahanan
Meski kuat, Bacuramin Ka’ Saruga menghadapi ancaman
di era modern. Urbanisasi dan migrasi generasi muda ke kota telah melemahkan
rumah panjang sebagai pusat musyawarah, tempat keadilan ini dipraktikkan. King
mencatat bahwa kebijakan Orde Baru pada 1970-an, yang memaksa Dayak pindah ke
pemukiman individu, mengikis mekanisme kolektif yang mendukung keadilan
restoratif. Pengaruh agama besar seperti Kristen dan Islam juga mengubah
beberapa ritual, meskipun esensi penghormatan kepada alam tetap bertahan dalam
bentuk yang disesuaikan, seperti yang dicatat Schiller pada Ngaju yang
mengadopsi Kaharingan sebagai agama resmi pada 1957.
Namun, ketahanan Dayak terlihat dalam adaptasi mereka.
Penolakan terhadap eksploitasi hutan menunjukkan bahwa Bacuramin Ka’ Saruga
bukan sekadar tradisi kuno, tetapi alat perlawanan yang hidup. Tsing melaporkan
bahwa musyawarah tetap menjadi cara Dayak menyelesaikan konflik dengan pihak
luar, seperti perusahaan, dengan berpegang pada hukum adat. Dalam dunia yang
didominasi oleh pengadilan formal dan hukum positif, pendekatan ini
mengingatkan kita bahwa keadilan bisa lebih dari sekadar putusan—ia bisa
menjadi proses yang menyatukan, bukan memisahkan.
Refleksi untuk Masa Depan
Bacuramin Ka’ Saruga adalah undangan untuk melihat
keadilan dengan mata baru—bukan sebagai pedang yang memenggal, tetapi sebagai
benang yang menjahit. Dalam dunia yang terpecah oleh konflik dan
ketidaksetaraan, Dayak mengajarkan bahwa keadilan sejati adalah tentang
memulihkan hubungan yang retak, baik dengan sesama, alam, maupun yang tak
terlihat. Seperti musyawarah di ruai, yang mendengarkan semua suara
hingga harmoni tercapai, kita diundang untuk bertanya: bagaimana kita bisa
membangun keadilan yang tidak hanya menghukum, tetapi juga menyembuhkan? Mungkin
jawabannya ada di langit Kalimantan, di mana kebenaran masih mencerminkan
surga, menunggu kita untuk melihatnya.
Ikuti artikel berikutnya untuk menjelajahi Basengat Ka’
Jubata, napas etika ekologis Dayak yang menghubungkan manusia dengan alam dan
roh.
Sumber:
- Freeman,
Derek. 1970. Report on the Iban. London: Athlone Press.
- King,
Victor T. 1993. The Peoples of Borneo. Oxford: Wiley-Blackwell.
- Schiller,
Anne. 1997. Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity
among the Ngaju of Indonesia. New York: Oxford University Press.
- Schwaner,
Carl. 1853. Borneo: Beschrijving van het Stroomgebied van den Barito.
Amsterdam.
- Sellato,
Bernard. 2002. Nomads of the Borneo Rainforest. Honolulu:
University of Hawaii Press.
- Tsing,
Anna L. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection.
Princeton: Princeton University Press.
- van
der Meer, C. H. 1895. “Laporan Kolonial Sarawak.” Arsip Kolonial Sarawak,
Kuching.