Di tengah hutan di pinggir Sungai Mahakam, di mana kabut pagi menyelimuti hutan seperti napas bumi yang lembut, masyarakat Dayak mendengar detak jantung alam dalam setiap hembusan angin dan gemericik sungai. Bagi mereka, alam bukan sekadar panggung kehidupan, tetapi entitas suci yang bernapas bersama manusia, diikat oleh Basengat Ka’ Jubata—napas ilahi yang mengalir dari Jubata, dewa tertinggi, ke setiap pohon, batu, dan makhluk hidup. Konsep ini, yang diuraikan Alexander Mering, bukan hanya keyakinan spiritual, tetapi juga etika ekologis yang menuntun Dayak untuk hidup selaras dengan alam, mengambil secukupnya, dan menghormati roh-roh yang menghuni dunia. Di era ketika hutan Kalimantan menyusut dan krisis iklim mengguncang planet, apa yang bisa kita pelajari dari napas etika Dayak yang menghidupkan harmoni antara manusia dan bumi?
Napas Ilahi dalam Setiap Daun
Bayangkan berjalan di hutan bersama seorang tetua Dayak
Ngaju, yang berhenti di depan pohon beringin raksasa dan berbisik, meminta izin
sebelum mengambil sehelai daun. Tindakan ini, yang oleh Carl Schwaner dicatat
pada 1840-an sebagai bagian dari ritual ngambi ka tanah, bukan sekadar
formalitas, melainkan pengakuan bahwa pohon itu hidup, memiliki roh, dan berhak
dihormati. Basengat Ka’ Jubata mengajarkan bahwa napas ilahi mengalir
melalui alam, menjadikan setiap elemen—dari sungai hingga burung—sebagai bagian
dari tatanan kosmik yang saling terhubung. Bernard Sellato, yang mempelajari
Dayak Punan, mencatat bahwa mereka hanya menebang kayu secukupnya untuk
kebutuhan, meninggalkan sisa hutan utuh sebagai tanda penghormatan kepada Jubata.
Prinsip ini tercermin dalam praktik sehari-hari. Ketika
Dayak Kayan membuka ladang, mereka melakukan basangiang, sebuah doa
untuk memastikan tanah tetap subur dan roh-roh tidak terganggu. Victor King
mendokumentasikan bahwa kegagalan panen atau bencana alam dianggap sebagai
tanda ketidakseimbangan dengan napas ilahi, mendorong komunitas untuk
mengadakan ritual pemulihan seperti ngulang tanah. Berbeda dengan
pandangan Barat modern, yang sering melihat alam sebagai sumber daya untuk
dieksploitasi—seperti dalam gagasan John Locke tentang properti sebagai hak
individu—Dayak memandang alam sebagai mitra yang memiliki kehendak dan hak
sendiri. Etika ini, yang menggemakan kearifan lokal suku-suku lain di Nusantara
seperti Baduy, menawarkan pelajaran tentang hidup seimbang dalam jejaring
kehidupan.
Etika Ekologis dalam Praktik
Etika ekologis Dayak tidak hanya spiritual, tetapi juga
praktis. Anne Schiller, yang meneliti Kaharingan Ngaju, mencatat bahwa larangan
menebang pohon keramat, seperti beringin atau kayu ulin, bukan sekadar tabu,
melainkan strategi konservasi yang menjaga ekosistem. Pohon-pohon ini sering
menjadi penutup kanopi yang melindungi keanekaragaman hayati, dari burung
enggang hingga anggrek liar. Ketika seorang petani Dayak menanam padi, ia
menyisakan sebagian hasil untuk satwa liar, sebuah praktik yang oleh Sellato
disebut sebagai “pajak ekologis” yang memastikan keseimbangan antara manusia
dan alam. Dalam dunia yang kehilangan 68% populasi satwa liar sejak 1970,
pendekatan ini terasa seperti ramalan dari masa lalu yang terbukti benar.
Praktik ini juga terlihat dalam pengelolaan sumber daya.
Derek Freeman, yang mempelajari Iban pada 1950-an, mengamati bahwa sistem
ladang berpindah Dayak dirancang untuk memberi waktu bagi hutan untuk pulih.
Setelah beberapa tahun digunakan, ladang ditinggalkan agar tanah beregenerasi,
sebuah metode yang kontras dengan pertanian intensif modern yang menguras
kesuburan bumi. Anna Tsing, dalam studinya tentang Dayak Bukit, mencatat bahwa
penolakan mereka terhadap perusahaan kayu pada 1990-an didasarkan pada
keyakinan bahwa hutan adalah “ibu” yang menghidupi, bukan komoditas untuk
dijual. Tindakan ini bukan hanya perlawanan politik, tetapi juga wujud Basengat
Ka’ Jubata—penghormatan kepada napas ilahi yang mengalir melalui hutan.
Dialog dengan Pemikiran Barat
Basengat Ka’ Jubata membuka ruang untuk berdialog dengan
filsafat Barat, terutama tentang hubungan manusia dan alam. Dalam Leviathan,
Thomas Hobbes menggambarkan alam sebagai keadaan liar yang harus ditaklukkan
melalui kontrak sosial, sebuah pandangan yang memisahkan manusia dari
lingkungan. Locke memperkuat pemisahan ini dengan menjadikan alam sebagai
properti yang bisa dimiliki melalui kerja. Bahkan Kant, dengan etika
rasionalnya, memprioritaskan akal manusia di atas dunia material, menempatkan
alam sebagai latar belakang moralitas, bukan bagian darinya. Dayak, sebaliknya,
melihat manusia sebagai simpul dalam jejaring kosmik, di mana napas ilahi
menghubungkan semua makhluk.
Pendekatan Dayak lebih dekat dengan Aristoteles, yang dalam Physics
menganggap alam memiliki tujuan dan kehidupan batin, meskipun ia tidak
menyamakan alam dengan entitas spiritual seperti Dayak. Dalam konteks modern, Basengat
Ka’ Jubata menggemakan ekofilsafat Barat, seperti gagasan Aldo Leopold
tentang “etika tanah,” yang menyerukan tanggung jawab terhadap komunitas
biotik. Namun, Dayak melangkah lebih jauh dengan mengintegrasikan dimensi
spiritual, menjadikan etika ekologis mereka tidak hanya praktis, tetapi juga
sakral. Di tengah krisis iklim, ketika emisi karbon global terus meningkat dan
hutan tropis menyusut, pendekatan ini menantang kita untuk memikirkan ulang
hubungan kita dengan bumi—bukan sebagai tuan, tetapi sebagai saudara.
Relevansi di Era Krisis Iklim
Apa artinya Basengat Ka’ Jubata di dunia yang
kehilangan hutan dengan kecepatan 10 juta hektar per tahun? Dayak menawarkan
model etika yang relevan untuk menghadapi krisis lingkungan. Penolakan mereka
terhadap deforestasi, seperti yang didokumentasikan Tsing, menunjukkan bahwa
melindungi alam bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga soal identitas dan
spiritualitas. Musyawarah di rumah panjang, tempat komunitas memutuskan untuk
membatasi penebangan atau menanam kembali pohon, mencerminkan demokrasi
ekologis yang kontras dengan kebijakan top-down modern yang sering mengabaikan
suara lokal.
Lebih dari itu, Basengat Ka’ Jubata mengajarkan kita
untuk mendengarkan alam. Ketika tetua Dayak menafsirkan tanda-tanda seperti
kepakan sayap burung atau mimpi sebagai pesan dari Jubata, mereka
menunjukkan cara berpikir yang holistik, yang mengintegrasikan data empiris
dengan intuisi spiritual. Dalam dunia yang didominasi oleh teknologi dan
algoritma, pendekatan ini mengingatkan kita bahwa solusi untuk krisis iklim
mungkin tidak hanya terletak pada sains, tetapi juga pada kearifan yang
menghormati napas bumi. Seperti suku Baduy, yang menjaga hutan sebagai amanat
leluhur, Dayak mengajak kita untuk melihat alam sebagai sesuatu yang hidup,
bukan sekadar angka di laporan lingkungan.
Tantangan Modern dan Harapan
Meski kuat, Basengat Ka’ Jubata menghadapi tantangan
besar. Deforestasi telah menghapus lebih dari separuh hutan Kalimantan sejak
1950, menggerus basis ekologis dan spiritual etika Dayak. King mencatat bahwa
urbanisasi dan migrasi generasi muda ke kota telah melemahkan rumah panjang
sebagai pusat pembelajaran kearifan lokal. Kebijakan Orde Baru pada 1970-an,
yang memaksa Dayak pindah ke pemukiman individu, juga mengikis praktik kolektif
seperti musyawarah, yang menjadi wadah untuk memperkuat etika ekologis.
Pengaruh agama besar, seperti yang diamati Schiller pada Ngaju, kadang
menggantikan ritual adat dengan bentuk ibadah baru, meskipun penghormatan
kepada alam sering tetap bertahan dalam bentuk yang disesuaikan.
Namun, Dayak menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Tsing
melaporkan bahwa komunitas Dayak Bukit terus menggunakan hukum adat untuk
melawan eksploitasi hutan, menjadikan Basengat Ka’ Jubata sebagai alat
perlawanan budaya. Inisiatif penanaman kembali hutan oleh kelompok Dayak
modern, seperti yang didokumentasikan oleh organisasi lokal di Kalimantan
Barat, menunjukkan bahwa etika ekologis ini dapat beradaptasi dengan zaman. Di
tengah dunia yang terburu-buru menuju efisiensi dan keuntungan, Dayak
mengingatkan kita bahwa hidup selaras dengan alam bukanlah kemunduran, tetapi
langkah maju menuju keberlanjutan.
Undangan untuk Bernapas Bersama
Basengat Ka’ Jubata adalah lebih dari sekadar
filsafat—ia adalah undangan untuk bernapas bersama bumi. Dalam setiap ritual,
musyawarah, dan tindakan sederhana seperti menanam pohon, Dayak mengajarkan
bahwa etika sejati lahir dari hubungan, bukan penguasaan. Di tengah krisis
iklim dan keterputusan modern, mereka mengajak kita untuk berhenti sejenak,
mendengar gemerisik daun, dan bertanya: bagaimana kita bisa hidup sebagai
bagian dari napas ilahi yang menghubungkan semua makhluk? Jawabannya mungkin
ada di hutan Kalimantan, di mana napas Jubata masih mengalir, menunggu
kita untuk ikut menghirupnya.
Ikuti artikel berikutnya untuk menjelajahi estetika
Dayak, di mana keindahan seni dan alam menjadi cerminan etika mereka.
Sumber:
- Freeman,
Derek. 1970. Report on the Iban. London: Athlone Press.
- King,
Victor T. 1993. The Peoples of Borneo. Oxford: Wiley-Blackwell.
- Schiller,
Anne. 1997. Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity
among the Ngaju of Indonesia. New York: Oxford University Press.
- Schwaner,
Carl. 1853. Borneo: Beschrijving van het Stroomgebied van den Barito.
Amsterdam.
- Sellato,
Bernard. 2002. Nomads of the Borneo Rainforest. Honolulu:
University of Hawaii Press.
- Tsing,
Anna L. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection.
Princeton: Princeton University Press.