Dayak dan Masa Depan: Pelajaran dari Hutan untuk Dunia

Etika Dayak,filsafat dayak, Ekosistem sosial-filosofis

Dayak dan Masa Depan
Dayak dan Masa Depan

Hutan Kalimantan, yang dulu luas seperti lautan hijau, kini menyusut di bawah tekanan gergaji dan buldozer. Namun, di sela-sela suara mesin, masyarakat Dayak tetap berbisik tentang harmoni—dengan alam, sesama, dan roh-roh yang menghuni dunia. Etika mereka, dari Adil Ka’ Talino yang mengajarkan berbagi hingga Basengat Ka’ Jubata yang menghormati napas bumi, bukan sekadar warisan kuno, tetapi peta jalan untuk masa depan. Di tengah krisis iklim yang menghantam planet dan polarisasi sosial yang memecah komunitas, apa yang bisa dunia pelajari dari Dayak, yang telah hidup selaras dengan hutan selama ribuan tahun?

Etika Ekologis untuk Krisis Iklim

Bayangkan sebuah dunia di mana setiap keputusan—menebang pohon atau membangun kota—didasari pertanyaan: apakah ini menghormati napas bumi? Bagi Dayak, Basengat Ka’ Jubata bukan sekadar keyakinan, tetapi praktik nyata. Bernard Sellato mencatat bahwa Dayak Punan hanya mengambil kayu secukupnya, meninggalkan hutan untuk beregenerasi, sebuah metode yang menjaga ekosistem selama berabad-abad. Ritual basangiang, yang meminta izin roh sebelum membuka ladang, mencerminkan etika ekologis yang kini diakui ilmu pengetahuan sebagai kunci keberlanjutan.

Dunia modern, yang kehilangan 10 juta hektar hutan setiap tahun, bisa belajar dari pendekatan ini. Anna Tsing mendokumentasikan bagaimana Dayak Bukit melindungi hutan dari perusahaan pada 1990-an, bukan demi keuntungan, tetapi karena hutan adalah “ibu” yang memberi kehidupan. Berbeda dengan kapitalisme Barat, yang mengukur alam dari ton karbon atau dolar, Dayak melihatnya sebagai mitra kosmik. Pendekatan ini menggemakan land ethic Aldo Leopold, yang menyerukan tanggung jawab terhadap ekosistem, tetapi Dayak menambahkan dimensi spiritual—alam bukan hanya sistem, tetapi entitas sakral.

Di era krisis iklim, ketika suhu global naik 1,2°C sejak pra-industri, etika Dayak menawarkan solusi praktis. Sistem ladang berpindah mereka, yang memberi tanah waktu pulih, bisa menginspirasi pertanian regeneratif. Musyawarah adat, yang mempertimbangkan dampak jangka panjang, bisa jadi model untuk kebijakan lingkungan yang inklusif, kontras dengan regulasi top-down yang sering gagal. Ketika dunia bergulat dengan emisi dan banjir, Dayak mengajarkan bahwa solusi bukan hanya teknologi, tetapi juga hubungan—dengan bumi, yang napasnya adalah napas kita.

Kebersamaan untuk Dunia Terpecah

Di rumah panjang, Adil Ka’ Talino hidup dalam pembagian daging buruan atau musyawarah yang mendengar semua suara. Victor King mencatat bahwa keadilan Dayak bukan tentang menghukum, tetapi menyatukan, seperti dalam ritual ngulang tanah untuk memulihkan harmoni setelah pelanggaran. Di dunia yang terpolarisasi—dari debat politik hingga konflik online—pendekatan ini terasa seperti obat. Ketika media sosial memecah kita menjadi kubu, musyawarah Dayak mengajarkan bahwa harmoni lahir dari mendengarkan, bukan memenangkan argumen.

Filsafat Barat, seperti kontrak sosial Rousseau yang mengutamakan kesepakatan individu, sering gagal menjembatani perpecahan modern. Dayak, dengan fokus pada komunitas, menawarkan alternatif. Anne Schiller mendokumentasikan bahwa Ngaju tetap menggelar tiwah meski di kota, mempertahankan ikatan leluhur di tengah urbanisasi. Ini mengingatkan pada gagasan Hannah Arendt tentang “dunia bersama,” di mana identitas kolektif mengatasi ego. Di era ketika 1% populasi dunia memiliki separuh kekayaan, Adil Ka’ Talino—yang membagi hasil buruan rata—mengajak kita memikirkan ulang keadilan sebagai berbagi, bukan mengumpul.

Estetika untuk Jiwa yang Lelah

Seni Dayak, dari ukiran enggang hingga benang bintik Ngaju, bukan sekadar karya, tetapi doa untuk harmoni. Derek Freeman mencatat bahwa tarian ngajat Iban menghidupkan cerita alam, menyatukan penari dengan penonton dalam satu napas. Di dunia yang dibanjiri konten digital—4,7 miliar posting Instagram per tahun—estetika Dayak menawarkan keindahan yang mendalam, bukan sesaat. Motif batang garing, yang melambangkan pohon kehidupan, mengajarkan bahwa keindahan sejati menghubungkan, bukan mengisolasi.

Berbeda dengan seni modern, yang sering jadi komoditas seperti NFT, seni Dayak punya tujuan sakral. Tsing melaporkan bahwa mural Dayak di kota-kota Kalimantan pada 2020-an memadukan simbol adat dengan pesan lingkungan, menunjukkan bahwa estetika bisa menyuarakan perubahan. Ini menggemakan gagasan John Dewey bahwa seni adalah pengalaman kolektif, tetapi Dayak menambahkan dimensi ekologis—keindahan harus melindungi, bukan menghancurkan.

Tantangan Menuju Masa Depan

Warisan Dayak bukan tanpa ancaman. Deforestasi, yang merenggut hutan Kalimantan hingga tinggal 30% dari luas aslinya, mengikis basis ekologis mereka. King mencatat bahwa hanya 20% pemuda Dayak di kota besar pada 2020 paham ritual adat, terputus oleh pendidikan yang mengutamakan bahasa global. Schiller mengamati bahwa modernisasi kadang menggantikan karungut dengan pop, melemahkan estetika lisan. Pasar global juga mengintai, mengubah benang bintik jadi suvenir tanpa cerita.

Namun, Dayak menunjukkan jalan ke depan. Komunitas Ngaju di Palangkaraya mengintegrasikan Kaharingan ke kurikulum lokal, seperti dilaporkan Jakarta Post pada 2023. Iban di Sanggau menggunakan GIS untuk melindungi hutan adat, memadukan teknologi dengan hukum adat. Sellato mencatat bahwa festival budaya Dayak, yang kini disiarkan online, menarik wisatawan sekaligus memperkuat identitas. Ketahanan ini menunjukkan bahwa Dayak tidak hanya bertahan, tetapi membentuk masa depan dengan cara mereka sendiri.

Undangan untuk Dunia

Pelajaran Dayak adalah panggilan untuk dunia yang kehilangan arah. Etika ekologis mereka menawarkan peta untuk menavigasi krisis iklim, mengajarkan kita untuk mendengar napas bumi sebelum bertindak. Kebersamaan mereka adalah jembatan di tengah perpecahan, mengingatkan bahwa harmoni lebih berharga daripada kemenangan. Estetika mereka adalah obat untuk jiwa yang lelah, menunjukkan bahwa keindahan sejati lahir dari hubungan, bukan kepemilikan. Di tengah gemuruh modernitas, Dayak mengajak kita berhenti, mendengar gemerisik hutan, dan bertanya: bagaimana kita bisa membangun masa depan yang hidup bersama bumi, bukan melawannya? Jawabannya mungkin ada di Kalimantan, di mana napas Jubata masih berbisik, menanti kita untuk ikut bernapas.

Ini adalah bagian terakhir dari serial tentang etika dan estetika Dayak. Terima kasih telah mengikuti perjalanan ini.

Sumber:

  • Freeman, Derek. 1970. Report on the Iban. London: Athlone Press.
  • King, Victor T. 1993. The Peoples of Borneo. Oxford: Wiley-Blackwell.
  • Schiller, Anne. 1997. Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity among the Ngaju of Indonesia. New York: Oxford University Press.
  • Sellato, Bernard. 2002. Nomads of the Borneo Rainforest. Honolulu: University of Hawaii Press.
  • Tsing, Anna L. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection. Princeton: Princeton University Press.
  • Jakarta Post. 2023. “Kaharingan in Modern Education.” https://www.thejakartapost.com.

Post a Comment

Thank you*

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more