Deforestasi Kognitif dan Spiritual: Jangan Biarkan Anak Dayak Jadi Zombie Budaya

Deforestasi Kognitif, zombie budaya, Jangan Biarkan Anak Dayak Jadi Zombie Budaya, filsafat dayak

Generasi Muda Dayak 2025
Ilustrasi Generasi Muda Dayak 2025. By ChatGPT

Di sebuah mall raksasa di  Jakarta, saya tercenung melihat seseorang lelaki berambut gondrong yang tampak sehat namun kehilangan ingatan. Ia bisa berjalan, berbicara, bahkan tersenyum seperti orang Dayak kebanyakan. Namun di balik itu, jiwanya kosong, tercerabut dari asal-usul. Ia tak tahu dari mana ia berasal, apa makna hidupnya, dan ke mana ia harus melangkah. Itulah gambaran paling mendekati tentang ancaman besar yang kini dihadapi masyarakat Dayak di Borneo: menjadi zombie budaya—hidup namun terputus dari akar pengetahuan, nilai, dan jati diri leluhur.

Ini bukan metafora filosofis. Ini adalah kenyataan yang perlahan tapi pasti sedang terjadi. Ketika hutan, gunung, sungai, danau dan seluruh bentang alam di Borneo dirusak, yang lenyap bukan hanya flora dan fauna, tetapi juga struktur pengetahuan, sistem imun biologis dan spiritual, serta sumbu kecerdasan kolektif masyarakat adat. Pertanyaannya: apa yang terjadi ketika lanskap sebagai maharaksasa memori itu dihancurkan? Dan bagaimana generasi muda Dayak dapat bertahan di tengah keterputusan yang kian parah ini?

Dalam pandangan masyarakat adat, alam bukan sekadar ruang hidup, melainkan guru, perpustakaan, dan bahkan roh leluhur itu sendiri. Gunung menyimpan mitos asal-usul, sungai mengalirkan kisah leluhur, dan hutan adalah tempat belajar tanpa kurikulum, tapi penuh kebijaksanaan. Filosofi ini tak hanya milik masyarakat Dayak. Suku-suku seperti Apache di Amerika Utara juga memahami lanskap sebagai entitas hidup yang menyimpan hikmah. Keith Basso (1996) mencatat bagaimana orang Apache menyimpan sejarah dan moralitas mereka melalui toponimi—nama-nama tempat yang mengandung pelajaran etis.

Namun, ketika pohon-pohon ditebang, sungai-sungai tercemar limbah industri, dan gunung digali tambang terbuka, hilang pula konteks yang menyatukan manusia dengan tempatnya. Ini bukan hanya deforestasi fisik. Ini adalah deforestasi kognitif dan spiritual. Manusia yang tercerabut dari habitatnya kehilangan kemampuan membaca tanda-tanda alam yang dulunya menjadi sumber orientasi eksistensial.

Peneliti seperti David Abram (1996) dan Tim Ingold (2000) menyebut keterputusan ini sebagai krisis persepsi ekologis—manusia tak lagi merasakan dunia sebagai ruang relasional. Ketika kita tak lagi menyentuh tanah, mencium harum hujan, atau mendengar nyanyian hutan, maka yang hilang bukan hanya keindahan alam, tetapi juga bagian penting dari kesadaran kita.

Lebih jauh, teori "ecological embodiment" menggarisbawahi bahwa interaksi langsung antara tubuh manusia dan lingkungannya membentuk persepsi, kognisi, bahkan etika (Ingold, 2000). Dalam kerangka ini, habitat bukan hanya ruang hidup, melainkan ekstensi tubuh itu sendiri. Ketika hutan dibabat dan sungai dikeringkan, tubuh manusia kehilangan organ-organ eksternalnya—kehilangan kulitnya, kehilangan inderanya.

Para ilmuwan menemukan bahwa masyarakat adat yang hidup dekat dengan alam menunjukkan keragaman mikrobioma usus yang tinggi (Schnorr et al., 2014). Mikrobioma ini, yang berkembang lewat kontak langsung dengan tanah, tumbuhan liar, dan makanan tidak terproses, memainkan peran penting dalam membentuk sistem imun dan bahkan fungsi otak. Dengan kata lain, keterhubungan dengan lingkungan bukan hanya membentuk kebijaksanaan, tapi juga daya tahan tubuh dan kejernihan pikiran.

Dalam diskusi ilmiah kontemporer, muncul pula teori tentang "neuroekologi": bagaimana lingkungan alami memengaruhi perkembangan sistem saraf dan pola pikir manusia. Artinya, rusaknya habitat secara langsung berpotensi menurunkan kualitas kognitif generasi yang lahir di tengah polusi dan keterputusan ekologis.

Studi di Papua Nugini menunjukkan bahwa komunitas yang beralih dari pola hidup tradisional ke modern mengalami penurunan signifikan dalam ketahanan fisik dan mental (Wahlqvist, 2014). Di tempat lain, seperti di komunitas San di Afrika Selatan, perubahan ini bahkan menyebabkan peningkatan konflik sosial dan erosi nilai komunal.

Pola serupa mulai terlihat pula di pedalaman Borneo. Anak-anak Dayak yang tumbuh tanpa menyentuh tanah, mandi di sungai, atau berburu di hutan, perlahan kehilangan bahasa lanskap. Bahasa yang dulunya padat makna kini tinggal bunyi. Kata-kata seperti "panjai," "pentik," atau "ngayau" kehilangan kedalaman sejarahnya. Yang tersisa hanyalah permukaan, tanpa akar.

Dampaknya tak hanya terjadi hari ini, tapi juga akan terasa dalam satu abad mendatang. Jika degradasi ekologis terus berlangsung, generasi mendatang masyarakat Dayak mungkin masih menyandang nama leluhur, tetapi tidak lagi memahami maknanya. Mereka akan menjadi masyarakat adat dalam bentuk, tapi bukan dalam jiwa. Mereka akan kehilangan daya untuk berpikir secara Dayak, merasa secara Dayak, dan hidup secara Dayak. Itulah yang saya sebut sebagai zombie budaya: tubuh adat tanpa roh adat.

Melawan Amnesia Kolektif: Mitigasi dan Adaptasi Generasi Muda Dayak

Namun tak semuanya hilang. Dalam kegelapan, selalu ada bara kecil yang bisa ditiup menjadi api. Generasi muda Dayak hari ini berdiri di persimpangan sejarah. Mereka adalah generasi yang merasakan dua dunia: yang satu tenggelam dalam kabut kemodernan, dan yang satu lagi berakar dalam memori tanah leluhur.

Strategi pertama adalah rekonsiliasi dengan tanah—secara harfiah maupun simbolik. Ini bukan sekadar gerakan kembali ke kampung, melainkan upaya membangun kembali relasi ekologis yang telah putus. Proyek agroekologi, gerakan Literasi Dayak, revitalisasi tembawang, pertanian berkelanjutan, dan sekolah adat adalah contoh nyata dari perlawanan terhadap amnesia kolektif. Seperti yang dilakukan oleh komunitas Dayak Iban di Kapuas Hulu yang mendirikan sekolah hutan untuk mengajarkan bahasa daerah, cerita rakyat, dan praktik pertanian tradisional.

Kedua, revitalisasi bahasa dan narasi leluhur. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga medium pengetahuan. Menyanyikan lagu-lagu tradisional, menulis puisi dalam bahasa ibu, atau mendokumentasikan kisah nenek moyang dalam bentuk digital adalah cara memperpanjang umur pengetahuan. Di tempat lain, seperti pada masyarakat Māori di Aotearoa (Selandia Baru), revitalisasi bahasa terbukti meningkatkan kesehatan mental dan kohesi sosial generasi mudanya (King et al., 2009).

Ketiga, diplomasi budaya dan politik. Generasi muda Dayak harus mengambil peran aktif dalam forum-forum nasional dan internasional seperti yang dilakukan oleh Kynan Tegar, videografer muda dari Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalbar. Jangan mau hanya menjadi korban dari narasi pembangunan yang eksploitatif, tetapi juga harus menjadi narator alternatif yang menyuarakan kosmologi adat sebagai panduan masa depan. Sebagaimana prinsip Buen Vivir di Amerika Latin—sebuah visi hidup selaras dengan alam yang kini diadopsi dalam konstitusi Ekuador—kita butuh transformasi bukan hanya lokal, tetapi juga konseptual.

Keempat, sinergi dengan ilmu pengetahuan modern. Adaptasi bukan berarti penolakan terhadap sains, melainkan penciptaan dialog antara pengetahuan tradisional dan ilmu modern. Program pemetaan partisipatif, penelitian ekologi lokal, gerakan literasi digital untuk generasi muda Dayak dan kolaborasi dengan akademisi bisa memperkuat posisi masyarakat adat sebagai penjaga bumi dan pemilik sah pengetahuan lokal.

Terakhir, kita perlu membayangkan kembali masa depan dari sudut pandang kearifan leluhur. Dalam narasi Yuval Noah Harari, masa depan selalu ditentukan oleh kisah yang kita pilih untuk percaya. Jika kita terus percaya bahwa masyarakat adat hanyalah sisa masa lalu yang harus ditinggalkan, maka kehancuran akan jadi keniscayaan. Tapi jika kita percaya bahwa dalam jiwa Dayak yang sejati tersimpan blueprint keberlanjutan, maka barangkali dari rimba Borneolah dunia bisa belajar hidup kembali.

Kini saatnya membalik arah. Dari zombie budaya menuju kesadaran ekologis. Dari hutan yang dibungkam menjadi hutan yang kembali bicara. Dari tubuh tanpa ingatan menuju generasi yang mengingat, merawat, dan menghidupi kembali tanah moyangnya.  Meminjam kata-kata Deny JA, supaya bumi tidak lagi hanya diliat sebagai benda mati untuk dieksploitasi, melainkan melainkan sebagai tubuh hidup yang tengah menderita—makhluk spiritual yang terluka karena keserakahan manusia. “Tanah, air, udara, dan semua makhluk adalah bagian dari keluarga kita,” tulis Paus Fransiskus dalam Laudato Si’.

 

Daftar Pustaka

Abram, D. (1996). The Spell of the Sensuous: Perception and Language in a More-than-Human World. New York: Vintage Books.

Basso, K. H. (1996). Wisdom Sits in Places: Landscape and Language among the Western Apache. Albuquerque: University of New Mexico Press.

Ingold, T. (2000). The Perception of the Environment: Essays in Livelihood, Dwelling and Skill. London: Routledge.

King, J., Skipper, R., & Tawhai, V. (2009). Māori Language Revival and Mental Health: The Role of Language in Wellbeing. Te Puni Kōkiri, Wellington.

Schnorr, S. L., Candela, M., Rampelli, S., Centanni, M., Consolandi, C., Basaglia, G., ... & De Filippo, C. (2014). Gut microbiome of the Hadza hunter-gatherers. Nature Communications, 5, 3654.

Wahlqvist, M. L. (2014). Nutrition ecology and human health. Ecosystem Health and Sustainability, 1(1), 1–6.

Post a Comment

Thank you*

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more