Keindahan Dayak: Harmoni Seni dan Alam

Estetika dan simbolisme Dayak, Filsafat Dayak

Keindahan Dayak: Harmoni Seni dan Alam
Keindahan Dayak: Harmoni Seni dan Alam

Di bawah rimbunnya hutan Kalimantan Timur, tempat sinar matahari menari di sela-sela daun seperti lukisan yang bernapas, masyarakat Dayak telah menciptakan keindahan yang lebih dari sekadar rupa—ia adalah cerminan jiwa. Estetika Dayak, yang terpintal dalam ukiran kayu, tenun benang, dan tarian ritual, menggambarkan harmoni mendalam antara manusia, alam, dan roh. Berbeda dengan keindahan modern yang sering terjebak pada permukaan atau nilai pasar, seni Dayak adalah perwujudan etika mereka: Adil Ka’ Talino (keadilan kepada sesama), Basengat Ka’ Jubata (napas ilahi), dan penghormatan kepada bumi. Dalam dunia yang kian terputus dari alam, apa yang bisa kita pelajari dari keindahan Dayak yang lahir dari keseimbangan kosmik ini?

Seni sebagai Jembatan ke Roh dan Alam

Bayangkan sebuah rumah panjang suku Iban, di mana tiang-tiang kayu ulin dihiasi ukiran burung enggang—simbol utusan surga—dan ular naga yang meliuk seperti sungai. Setiap goresan, seperti dicatat Carl Schwaner pada 1840-an, dibuat dengan doa, seolah seniman sedang berbincang dengan Jubata, dewa tertinggi. Bernard Sellato, yang meneliti Dayak Punan, menjelaskan bahwa ukiran ini bukan sekadar hiasan, tetapi narasi yang menghubungkan komunitas dengan leluhur dan hutan. Motif enggang, misalnya, mencerminkan Bacuramin Ka’ Saruga—kebenaran yang mencerminkan langit—menjembatani dunia manusia dengan yang gaib.

Di kalangan Dayak Ngaju, kain tenun seperti benang bintik menjadi kanvas estetika mereka. Anne Schiller mencatat bahwa perempuan Ngaju menenun kain ini dalam suasana ritual, dengan motif seperti batang garing (pohon kehidupan) atau huma betang (rumah panjang), yang mencerminkan kosmologi Kaharingan. Pewarna alami dari kunyit atau daun tarum menghidupkan pola-pola ini, seolah kain itu bernapas bersama bumi. Berbeda dengan benang bintik Ngaju, Dayak Iban dikenal dengan kain kebat—tenun ikat dengan motif asimetris seperti bunga atau naga, yang dipakai dalam upacara Gawai. Jika kain Ngaju adalah doa untuk harmoni spiritual, kain kebat Iban menceritakan kisah perang, migrasi, atau kemakmuran, menunjukkan keragaman estetika Dayak.

Berbeda dengan seni Barat modern, seperti lukisan abstrak Jackson Pollock yang mengejar ekspresi individu, seni Dayak selalu punya tujuan kolektif. Sehelai benang bintik bisa digunakan dalam ritual tiwah untuk menghormati roh leluhur, sementara ukiran Iban pada perisai melindungi prajurit secara fisik dan spiritual. Keindahan ini tidak berdiri sendiri—ia adalah tindakan etis yang memperkuat ikatan komunal dan penghormatan kepada alam.

Alam sebagai Guru Keindahan

Bagi Dayak, alam bukan sekadar inspirasi, tetapi guru dan mitra. Victor King mendokumentasikan bahwa Dayak Kayan memilih kayu ulin untuk ukiran karena dianggap memiliki basengat—napas hidup yang menghubungkan karya seni dengan roh hutan. Warna kain benang bintik Ngaju, yang berasal dari akar atau kulit kayu, mencerminkan palet bumi: merah darah tanah, biru langit sungai. Derek Freeman, yang mempelajari Iban pada 1950-an, mencatat bahwa tarian ngajat menirukan kepakan enggang atau aliran air, seolah penari menjadi perpanjangan dari alam itu sendiri.

Estetika ini berakar pada pandangan kosmologis bahwa keindahan harus selaras dengan tatanan alam. Ritual basangiang, yang dilakukan sebelum membuat seni atau membuka ladang, memastikan karya manusia tidak mengganggu napas ilahi. Anna Tsing, dalam studinya tentang Dayak Bukit, melaporkan bahwa mereka menolak menjual kayu ulin ke perusahaan karena hutan dianggap “ibu” yang tak boleh dirusak. Berbeda dengan kapitalisme modern, di mana keindahan diukur dari harga—seperti lukisan lelang jutaan dolar—Dayak mengukur keindahan dari harmoni yang diciptakannya, sebuah nilai yang menggemakan kearifan suku Baduy, yang menjaga hutan sebagai amanat leluhur.

Keindahan Dayak juga punya dimensi ekologis. Pohon beringin, yang sering jadi motif ukiran, bukan hanya simbol, tetapi penjaga ekosistem—rumah bagi burung dan serangga. Ketika Ngaju menenun benang bintik untuk tiwah, mereka memilih serat alami agar kain bisa kembali ke bumi tanpa mencemari, sebuah praktik yang kontras dengan fast fashion modern yang menghasilkan 100 miliar pakaian per tahun, sebagian besar berakhir di TPA.

Dialog dengan Estetika Barat

Estetika Dayak mengundang kita berdialog dengan pemikiran Barat. Immanuel Kant, dalam Critique of Judgment, melihat keindahan sebagai pengalaman subjektif yang bebas dari fungsi, sebuah gagasan yang memisahkan seni dari kehidupan. Dayak, sebaliknya, tidak mengenal pemisahan ini—ukiran adalah doa, kain adalah ritual, tarian adalah penghormatan. Friedrich Nietzsche, yang memandang seni sebagai ledakan kehendak hidup, mungkin menghargai semangat Dayak, tetapi estetika mereka lebih komunal, bukan individualistis seperti visinya. Bahkan Romantisme Barat, yang memuja alam dalam puisi Shelley, tetap menempatkan manusia sebagai pengamat, bukan bagian dari alam seperti Dayak.

Pendekatan Dayak mirip dengan estetika ekologi modern, seperti yang diusung Yi-Fu Tuan, yang menyerukan hubungan timbal balik dengan lingkungan. Namun, Dayak melangkah lebih jauh dengan dimensi spiritual—keindahan harus mencerminkan Jubata, napas ilahi yang mengalir di alam. Dalam dunia seni kontemporer, yang sering mengabaikan dampak ekologis demi efek visual, Dayak menantang kita untuk menciptakan keindahan yang tidak hanya memukau, tetapi juga bertanggung jawab.

Relevansi di Era Modern

Apa artinya estetika Dayak di tengah dunia yang dipenuhi filter digital dan tren sesaat? Benang bintik Ngaju, yang membutuhkan bulan untuk ditenun, mengajarkan kesabaran, kontras dengan budaya instan yang mendominasi media sosial. Ukiran Iban, yang lahir dari dialog dengan hutan, mengingatkan kita bahwa keindahan sejati tidak merusak. Tsing mencatat bahwa Dayak Bukit menggunakan seni—tarian dan nyanyian—untuk memprotes deforestasi pada 1990-an, menunjukkan bahwa estetika bisa jadi alat perlawanan budaya.

Di era krisis iklim, ketika dunia kehilangan 10 juta hektar hutan setiap tahun, pendekatan Dayak menawarkan inspirasi untuk desain berkelanjutan. Rumah panjang, dengan ventilasi alami dan kayu ulin yang digunakan hemat, adalah contoh arsitektur yang indah sekaligus ekologis. Seniman modern bisa belajar dari Dayak untuk menciptakan karya yang menghormati bumi, seperti instalasi yang terurai alami, bukan plastik yang abadi di lautan.

Tantangan dan Ketahanan

Estetika Dayak menghadapi ancaman modern. Deforestasi, yang telah menghapus lebih dari separuh hutan Kalimantan sejak 1950, mengurangi akses ke kayu ulin dan pewarna alami. King mencatat bahwa urbanisasi menjauhkan generasi muda dari seni tradisional, dengan banyak yang memilih budaya pop global. Kebijakan Orde Baru pada 1970-an, yang memisahkan Dayak dari rumah panjang, melemahkan ruang kolektif tempat seni dipraktikkan. Schiller mengamati bahwa pengaruh agama besar kadang menggantikan ritual seni, meskipun motif seperti batang garing tetap hidup dalam bentuk baru, seperti ukiran Kristen.

Namun, Dayak menunjukkan ketahanan luar biasa. Sellato melaporkan bahwa komunitas Kayan mengajarkan tenun dan ukir di sekolah adat, menjaga tradisi tetap relevan. Pasar seni di Kalimantan, seperti di Pontianak, mulai menghidupkan kembali benang bintik sebagai produk budaya, meski komersialisasi perlu diwaspadai. Tsing mencatat bahwa tarian dan nyanyian tetap menyatukan komunitas dalam musyawarah, membuktikan bahwa estetika Dayak adalah bahasa hidup yang terus beradaptasi.

Undangan untuk Merasakan Kembali

Estetika Dayak adalah panggilan untuk melihat keindahan sebagai hubungan, bukan kepemilikan. Dalam setiap ukiran enggang, tenun benang bintik, atau tarian ngajat, mereka mengajarkan bahwa keindahan sejati lahir dari harmoni dengan alam dan komunitas. Di tengah dunia yang terburu-buru mengejar estetika instan, Dayak mengundang kita untuk berhenti, menyentuh tekstur kayu ulin, dan bertanya: bagaimana kita bisa menciptakan keindahan yang menyatukan kita dengan bumi? Jawabannya mungkin ada di hutan Kalimantan, di mana keindahan masih bernapas bersama napas ilahi, menanti kita untuk ikut merayakannya.

Ikuti artikel berikutnya untuk menjelajahi warisan Dayak di era global, di mana tradisi bertemu modernitas.

Sumber:

  • Freeman, Derek. 1970. Report on the Iban. London: Athlone Press.
  • King, Victor T. 1993. The Peoples of Borneo. Oxford: Wiley-Blackwell.
  • Schiller, Anne. 1997. Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity among the Ngaju of Indonesia. New York: Oxford University Press.
  • Schwaner, Carl. 1853. Borneo: Beschrijving van het Stroomgebied van den Barito. Amsterdam.
  • Sellato, Bernard. 2002. Nomads of the Borneo Rainforest. Honolulu: University of Hawaii Press.
  • Tsing, Anna L. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection. Princeton: Princeton University Press.

Post a Comment

Thank you*

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more