Mimpi Ruang Masyarakat Dayak

Dayak Dream, Mimpi Ruang, Dayak Spatial Imaginary

 

Ilustrasi by Ai

Oleh: Alexander Mering

Adil ka’ Talino, bacuramin ka’ Saruga, basengat ka’ Jubata.

Saya lahir di sebuah kampung terpencil di Kalimantan Barat, di tanah yang duulu dipenuhi hutan lebat, sungai paling jernih, dan mitos-mitos. Meski tumbuh pasca budaya rumah betang Dayak, tapi masih sempat mendengar cerita-cerita tentang Keling-Kumang —makhluk immortal yang perkasa tanpa tanding, pelindung sejati masyarakat Dayak Iban. Keling adalah pria sakti gagah berani, sementara Kumang adalah perempuan jelita yang menjadi simbol kebijaksanaan dan kekuatan. Mereka bukan sekadar tokoh legenda, melainkan representasi harapan bahwa ketika masyarakat Dayak menghadapi nasib buruk, ada kekuatan yang selalu siap membantu mereka.

Namun, hari ini, ketika berjalan di sepanjang tepi Sungai Kapuas, saya mendapati gunung, hutan dan sungai Borneo telah rusak dan dipermainkan. Suara alamnya kalah oleh deru mesin tambang dan gemuruh truk-truk pengangkut buah sawit. Keling-Kumang, yang dulu hadir dalam setiap cerita rakyat, kini seperti lenyap dari ingatan generasi muda dayak. Masyarakat Dayak, yang selama ini hidup harmonis dengan alam, kini berada di titik genting. Ancaman terbesar bukan hanya datang dari eksploitasi SDA, tetapi juga dari upaya sistematis pembangunan yang akan menghapus identitas Dayak.

Modernitas, globalisasi, dan pembangunan besar-besaran seperti proyek Ibu Kota Negara (IKN) adalah gelombang yang bisa menelan manusia Dayak jika kita tidak segera bertindak.

Artikel ini adalah sebuah refleksi dan panggilan untuk segera sadar dan bangkit. Bagaimana seharusnya masyarakat Dayak membangun mimpi kolektif mereka sendiri—yang saya sebut Dayak Dream. Dan salah satu elemen utamanya adalah apa yang saya sebut Mimpi Ruang .

Tanah Dayak Bukan Sekadar Tanah

Pepatah lama di kalangan masyarakat Dayak: "Tanah kami adalah tubuh kami." Bagi mereka, tanah bukan sekadar tempat untuk berladang atau membangun rumah. Tanah dan segela dimensinya adalah ruang spiritual, tempat di mana memori kolektif serta arwah leluhur bersemayam, tempat di mana ritual-ritual adat dilakukan, dan tempat di mana identitas Dayak tertanam.

Namun kini, tanah-tanah itu telah direnggut. Tambang-tambang menghancurkan landscape alam, perkebunan sawit menggilas ladang serta tempat-tempat keramat Dayak, dan proyek infrastruktur memotong jantung Kalimantan. Masyarakat Dayak kehilangan ruang geografis, dan dengan itu mereka juga kehilangan ruang untuk bermimpi.

Tetapi ruang bukan hanya soal tanah. Ruang adalah konsep yang lebih luas. Ada ruang sosial—interaksi antarmanusia, nilai-nilai gotong royong, dan solidaritas komunitas. Ada ruang budaya—seni ukir, tarian adat, dan ritual spiritual seperti Gawai , yang sering kali disebut sebagai momen ketika Keling-Kumang hadir dalam bentuk simbolik. Ada ruang politik—suara-suara yang belum didengar di arena nasional. Ada ruang ekonomi—usaha-usaha lokal yang memberdayakan masyarakat. Bahkan ada ruang digital—platform-platform media sosial yang bisa digunakan untuk menyebarkan narasi Dayak kepada dunia.

Semua ruang ini harus dikuasai oleh masyarakat Dayak. Inilah yang saya maksud dengan Mimpi Ruang: visi untuk menciptakan ruang bagi masyarakat Dayak agar mereka bisa hidup, berkembang, dan bermimpi tanpa khawatir kehilangan identitas mereka.

Senjata untuk Mengambil Alih Narasi

Selama ini, narasi tentang Dayak pun adalah hasil rekonstruksi orang lain. Mulai dari para petualang barat, penjajah Belanda, akademisi, bahkan pemerintah pusat yang senaknya memberi label tertentu pada orang Dayak. Hasilnya? Dayak sering kali direpresentasikan sebagai "kelompok masyarakat primitif" atau "budaya tertinggal". Legenda Keling-Kumang, yang seharusnya menjadi simbol kebanggaan, sering kali direduksi menjadi dongeng anak-anak yang tidak relevan dengan kehidupan modern.

Inilah sebabnya gerakan literasi Dayak menjadi penting. Literasi bukan hanya tentang kemampuan baca-tulis. Literasi adalah alat untuk menghasilkan narasi, untuk merebut kembali ruang-ruang yang kini dicaplok oleh orang luar untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya.

Kadang saya membayangkan: seorang anak Dayak belajar tentang Keling-Kumang di sekolah, bukan tentang tokoh-tokoh asing yang tak relevan dengan kehidupannya. Syukurlah kini mulai ramai pemuda Dayak menggunakan Ai dan sosmed untuk memuliakan dan mempromosikan seni ukir tradisionalnya kepada dunia.  Penulis Dayak seperti Jaya Ramba, Masri Sarep Putra, Poul Nanggang, Munaldus-Ketupung, dkk menulis cerpen dan novel tentang kehidupan masyarakatnya, bukan orang asing yang menafsirkan budaya Dayak dengan seenak udelnya.

Itulah alasan saya mendukung Gerakan literasi Dayak yang dimulai sejak beberapa tahu lalu di Kalbar oleh Masri Sareb Putra dkk. Bahkan ada aktivis, youtuber, animator Dayak berinisiatif mengintegrasikan pengetahuan lokal Dayak ke dalam kurikulum sekolah.  

Merebut Ruang Ekonomi

Salah satu contoh sukses gerakan lokal Dayak adalah koperasi kredit (Credit Union) yang telah berkembang di Kalimantan Barat. Model ini adalah bentuk gerakan ekonomi kerakyatan, merebut ruang ekonomi, untuk memberdayakan masyarakat lokal tanpa bergantung pada ruang ekonomi negara yang telah direbut oleh bank-bank besar atau korporasi asing.

Dengan sistem ini, masyarakat Dayak dapat mengelola keuangan mereka sendiri. Mereka bisa meminjam uang untuk modal usaha tanpa harus terjerat utang kepada rentenir, meningkatkan Pendidikan (melahirkan gerakan satu KK satu sarjana), melakukan investasi dalam usaha-usaha lokal yang ramah lingkungan. Ini adalah langkah awal untuk membangun ruang ekonomi mandiri.

Namun, tantangan masih ada. Belum semua masyarakat Dayak terjangkau oleh sistem ini. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengamflikikasi dan memperluas jangkauan Credit Union .

Partai Politik Dayak Sekali Lagi

Jika kita bicara tentang ruang politik, maka suara Dayak sering kali tenggelam. Selama ini, aspirasi masyarakat Dayak kerap mental di tingkat nasional (meski beberapa orang Dayak telah menjadi anggota parlemen di Senayan-belum ada yang jadi Menteri negara). Padahal, mereka adalah pemilik sah tanah Kalimantan.

Salah satu cara untuk merebut ruang politik adalah dengan mendirikan partai politik lokal. Kita bisa belajar pada sejarah Partai Dayak (PD) yang didirikan Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray dan Palaoen Soeka 1945. Meskipun tidak bertahan lama, gagasan ini patut dipertimbangkan kembali.

Dengan partai politik lokal, Dayak bisa memiliki wadah untuk menyuarakan aspirasi mereka di tingkat nasional. Ini adalah langkah penting menuju Dayak Dream .

Panggilan Mimpi

Untuk orang Dayak yang masih hidup 100 tahun ke depan, barangkali mereka akan menyaksikan anak-anak Dayak tengah duduk di bawah pohon besar, mendengarkan cerita-cerita tentang Keling-Kumang tetapi bukan lagi narasi yang ditulis oleh orang lain, tetapi yang ditulis oleh orang Dayak sendiri hari ini?

Dayak Dream bukanlah angan-angan kosong. Ini adalah panggilan untuk bertindak, untuk bangkit, dan untuk bermimpi. Seperti kata Yuval Noah Harari, "Mereka yang menguasai narasi, menguasai dunia."

Mari kita bersama-sama membangun mimpi ruang masyarakat Dayak demi masa depan. Dum Spiro Spero. Agik Idup Agik Ngelaban!

 

Post a Comment

Thank you*

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more