![]() |
Filsafat yang Menyatu dengan Alam dan Komunitas |
Di bawah langit Kalimantan yang luas, tempat burung enggang melayang di atas hutan yang kian menipis, masyarakat Dayak telah merajut sebuah filsafat hidup yang sederhana namun mendalam: Trisila Hidup Dayak. Tiga pilar ini—Adil Ka’ Talino (keadilan kepada sesama), Bacuramin Ka’ Saruga (mencerminkan kebenaran ke surga), dan Basengat Ka’ Jubata (napas ilahi)—bukan sekadar aturan adat, tetapi panduan etika yang menyatukan manusia dengan komunitas, alam, dan kosmos. Di tengah dunia modern yang bergulat dengan krisis iklim, ketimpangan sosial, dan keterputusan spiritual, bagaimana Trisila ini bisa menjadi model untuk masa depan, menawarkan harmoni di saat segalanya terasa retak?
Adil Ka’ Talino: Keadilan yang Berbagi
Bayangkan sebuah malam di rumah panjang suku Iban, tempat
seorang pemburu membagi daging rusa dengan setiap keluarga, tanpa memandang
siapa yang paling berjasa. Adil Ka’ Talino, seperti dicatat Victor King,
adalah prinsip keadilan yang menempatkan kebersamaan di atas kepemilikan.
Berbeda dengan gagasan Barat seperti utilitarianisme John Stuart Mill, yang
mengukur kebaikan dari kebahagiaan terbesar, Dayak menganggap keadilan sebagai
tindakan berbagi yang menjaga harmoni sosial. Ketika panen padi melimpah, biji
disisihkan untuk burung dan tanah, sebuah praktik yang oleh Bernard Sellato
disebut sebagai “solidaritas ekologis.”
Prinsip ini relevan di era ketimpangan global, ketika 1%
populasi dunia menguasai separuh kekayaan. Adil Ka’ Talino menawarkan
alternatif: ekonomi berbagi yang memastikan tidak ada yang kelaparan saat yang
lain berlimpah. Contohnya, komunitas Ngaju di Palangkaraya pada 2020-an
menggunakan koperasi adat untuk mendistribusikan hasil pertanian, seperti
dilaporkan Jakarta Post. Berbeda dengan kapitalisme yang mendorong
akumulasi, Dayak mengajarkan bahwa keadilan sejati adalah ketika semua
napas—manusia, hewan, bahkan tanah—dihormati. Di dunia yang terpecah oleh
keserakahan, pilar ini adalah panggilan untuk kembali ke meja bersama.
Bacuramin Ka’ Saruga: Keadilan yang Menyembuhkan
Jika Adil Ka’ Talino menyatukan manusia, Bacuramin
Ka’ Saruga menghubungkan mereka dengan langit. Prinsip ini, yang berarti
“mencerminkan kebenaran ke surga,” adalah keadilan restoratif yang memulihkan
harmoni kosmik setelah pelanggaran. Anna Tsing mendokumentasikan kasus di
Pegunungan Meratus, di mana seorang petani Dayak Bukit yang menebang pohon
keramat diminta mengadakan ritual ngulang tanah, menyumbang kain untuk
upacara, bukan dihukum. Berbeda dengan keadilan retributif Barat, seperti hukum
Romawi yang menekankan sanksi, Dayak bertanya: bagaimana kita menyembuhkan
hubungan yang retak?
Relevansi Bacuramin Ka’ Saruga terasa kuat di era
konflik sosial. Ketika polarisasi politik memecah masyarakat—dengan 60% orang
Amerika merasa terpisah secara ideologi pada 2024, menurut Pew
Research—pendekatan Dayak menawarkan solusi. Musyawarah mereka, yang melibatkan
semua pihak hingga harmoni tercapai, mirip dengan mediasi modern, tetapi dengan
dimensi spiritual: setiap keputusan harus mencerminkan keseimbangan dengan Jubata.
Di Kalimantan, komunitas Kayan menggunakan prinsip ini untuk menyelesaikan
sengketa tanah dengan perusahaan, seperti dilaporkan Mongabay pada 2021,
memilih negosiasi kolektif ketimbang pengadilan. Di dunia yang haus pembalasan,
pilar ini mengajarkan bahwa keadilan sejati bukan memenangkan pertarungan,
tetapi memulihkan ikatan.
Basengat Ka’ Jubata: Napas yang Menghidupi
Di jantung Trisila adalah Basengat Ka’ Jubata—napas
ilahi yang mengalir melalui manusia, alam, dan roh. Bagi Dayak, hutan bukan
sekadar sumber daya, tetapi entitas hidup yang bernapas bersama mereka. Carl
Schwaner, pada 1840-an, mencatat bahwa Dayak Ngaju hanya menanam padi
secukupnya, menyisakan lahan untuk satwa liar, sebuah etika ekologis yang
menjaga keseimbangan. Berbeda dengan pandangan Barat, seperti John Locke yang
melihat alam sebagai properti untuk dikuasai, Dayak menganggapnya sebagai mitra
kosmik yang harus dihormati.
Di tengah krisis iklim, ketika emisi karbon meningkat 50%
sejak 1990, Basengat Ka’ Jubata adalah panggilan mendesak. Sistem ladang
berpindah Dayak, yang memberi tanah waktu pulih, menginspirasi pertanian
regeneratif modern, seperti yang dipromosikan FAO pada 2023. Penolakan Dayak
terhadap deforestasi, seperti yang dilakukan komunitas Punan di Mahakam pada
2010-an, menunjukkan bahwa melindungi alam adalah tindakan etis, bukan sekadar
ekonomi. Prinsip ini juga relevan untuk kesehatan mental: ritual basangiang,
yang menghubungkan manusia dengan napas bumi, mirip dengan terapi ekopsikologi
yang kini populer di Barat. Di era keterputusan, Basengat Ka’ Jubata
mengajak kita bernapas bersama alam, bukan melawannya.
Trisila sebagai Model Etika Masa Depan
Trisila Hidup Dayak bukan sekadar filsafat lokal—ia
adalah model universal untuk masa depan. Adil Ka’ Talino menawarkan
keadilan sosial yang inklusif, relevan untuk mengatasi ketimpangan di kota-kota
global. Bacuramin Ka’ Saruga mengajarkan penyelesaian konflik yang
manusiawi, sebuah antidot untuk dunia yang terpolarisasi. Basengat Ka’
Jubata adalah kompas ekologis, menunjukkan jalan keluar dari krisis iklim
dengan menghormati bumi sebagai mitra, bukan sumber daya.
Dialog dengan pemikiran Barat memperkuat relevansi Trisila.
Jika Aristoteles melihat kebajikan sebagai jalan tengah individu, Dayak
memperluasnya ke komunitas dan alam. Kant, dengan hukum moral universalnya,
mungkin mengkritik relativisme Dayak, tetapi musyawarah mereka menunjukkan
bahwa etika bisa fleksibel tanpa kehilangan prinsip. Hannah Arendt, yang
memimpikan “dunia bersama,” akan melihat Trisila sebagai wujud nyata:
sebuah etika yang membangun ikatan, bukan tembok.
Namun, tantangan nyata ada di depan. Deforestasi, yang merenggut
70% hutan Kalimantan sejak 1950, mengancam basis ekologis Trisila.
Urbanisasi menjauhkan pemuda Dayak dari musyawarah, dengan hanya 15% di kota
besar paham hukum adat pada 2022, menurut laporan lokal. Anne Schiller mencatat
bahwa modernisasi kadang menggantikan ritual seperti tiwah dengan
praktik baru, meski nilai intinya sering bertahan. Pasar global juga mengintai,
mengubah seni Dayak jadi komoditas tanpa jiwa.
Meski begitu, Dayak menunjukkan ketahanan. Komunitas Ngaju
mengintegrasikan Trisila ke koperasi modern, seperti di Palangkaraya.
Iban menggunakan teknologi pemetaan untuk melindungi hutan adat, seperti
dilaporkan Mongabay. Festival budaya Dayak, yang kini online, memperkuat
identitas di tengah diaspora. Ketahanan ini membuktikan bahwa Trisila bukan
relik, tetapi filsafat hidup yang bisa beradaptasi.
Undangan untuk Hidup Bersama
Trisila Hidup Dayak adalah lebih dari warisan—it’s a
blueprint for tomorrow. Adil Ka’ Talino mengajak kita berbagi di dunia
yang serakah. Bacuramin Ka’ Saruga menawarkan penyembuhan di tengah
konflik. Basengat Ka’ Jubata mengingatkan kita untuk bernapas bersama
bumi yang kian sesak. Di tengah gemuruh krisis global, Dayak mengundang kita
untuk duduk di ruai imajiner, mendengar suara hutan, dan bertanya:
bagaimana kita bisa hidup selaras dengan alam dan satu sama lain? Jawabannya
mungkin ada di Kalimantan, di mana tiga pilar ini masih berdiri kokoh, menanti
dunia untuk belajar.
Ini adalah bagian terakhir dari serial tentang etika dan
estetika Dayak. Terima kasih telah mengikuti perjalanan ini.
Sumber:
- King,
Victor T. 1993. The Peoples of Borneo. Oxford: Wiley-Blackwell.
- Schiller,
Anne. 1997. Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity
among the Ngaju of Indonesia. New York: Oxford University Press.
- Sellato,
Bernard. 2002. Nomads of the Borneo Rainforest. Honolulu:
University of Hawaii Press.
- Tsing,
Anna L. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection.
Princeton: Princeton University Press.
- Mongabay.
2021. “Indigenous Mapping in Borneo.” https://news.mongabay.com.
- Jakarta
Post. 2023. “Kaharingan in Modern Education.”