Warisan Dayak di Era Global: Tradisi Menemui Modernitas

Ekosistem sosial-filosofis, Warisan Dayak di Era Global:

Warisan Dayak di Era Global: Tradisi Menemui Modernitas
Tradisi menemui Modernitas

Di tepi Sungai Kapuas, di mana rumah panjang pernah berdiri sebagai jantung komunitas, masyarakat Dayak kini menghadapi dunia yang berputar lebih cepat dari aliran air. Globalisasi, dengan jaringan internetnya yang tak kenal batas dan kota-kota yang menjulang, telah merenggut sebagian hutan Kalimantan—tempat etika dan estetika Dayak lahir. Namun, nilai-nilai seperti Adil Ka’ Talino (keadilan kepada sesama), Basengat Ka’ Jubata (napas ilahi), dan musyawarah tetap hidup, beradaptasi dalam bentuk baru: dari sekolah adat hingga seni digital. Di tengah arus modernitas yang menggoda individu untuk melupakan akar, bagaimana warisan Dayak menemukan tempatnya di panggung global, dan apa yang bisa kita pelajari dari ketahanan mereka?

Tradisi di Tengah Perubahan

Bayangkan sebuah malam di rumah panjang suku Iban, tempat tetua memimpin musyawarah di ruai untuk menyelesaikan konflik ladang. Dulu, keputusan diambil dengan mendengar suara manusia dan, secara simbolis, roh leluhur. Kini, banyak rumah panjang digantikan pemukiman modern, dan generasi muda bermigrasi ke Palangkaraya atau Jakarta, membawa ponsel pintar alih-alih tombak ukir. Victor King mencatat bahwa kebijakan Orde Baru pada 1970-an, yang memaksa Dayak pindah ke desa individu, melemahkan kebersamaan yang jadi inti Adil Ka’ Talino. Namun, tradisi ini tidak lenyap—ia berpindah wujud.

Di Kalimantan Barat, komunitas Iban menggelar musyawarah virtual via WhatsApp untuk merencanakan Gawai, festival panen, seperti dilaporkan organisasi adat lokal pada 2023. Di Kalimantan Tengah, Ngaju mempertahankan ritual tiwah meski dengan dana crowdfunding online, memadukan Kaharingan dengan teknologi. Bernard Sellato mengamati bahwa sekolah adat, seperti yang didirikan Dayak Kayan di Nunukan, kini mengajarkan karungut—nyanyian lisan—bersama literasi digital. Tradisi musyawarah, yang dulu terbatas di ruai, kini meluas ke grup chat, membuktikan bahwa kebersamaan Dayak bisa beradaptasi tanpa kehilangan jiwa.

Seni Dayak juga menemukan napas baru. Ukiran burung enggang, yang dulu menghiasi rumah panjang, kini muncul di galeri kota atau NFT di pasar digital, seperti yang dipamerkan seniman Dayak di Pontianak pada 2022. Kain benang bintik Ngaju, dengan motif batang garing, dijual di Etsy, meski Anna Tsing memperingatkan risiko komersialisasi yang bisa mengikis makna sakral. Adaptasi ini menunjukkan ketangguhan Dayak: mereka tidak menolak modernitas, tetapi menenunnya ke dalam warisan mereka, seperti benang dalam kain ritual.

Tantangan Globalisasi

Modernitas bukan tanpa harga. Deforestasi, yang telah menghapus lebih dari separuh hutan Kalimantan sejak 1950, merenggut kayu ulin dan pewarna alami untuk seni Dayak. Hutan, yang dulu jadi guru etika ekologis, kini digantikan kebun sawit dan tambang, seperti dicatat Tsing dalam konflik Dayak Bukit dengan perusahaan pada 1990-an. Urbanisasi juga menarik anak muda ke kota, di mana sinetron dan TikTok lebih menarik daripada ngajat atau tenun. King melaporkan bahwa hanya 30% pemuda Dayak di Kalimantan Tengah pada 2010-an yang paham hukum adat, sebuah penurunan tajam dari era sebelumnya.

Pengaruh agama besar menambah kompleksitas. Anne Schiller mencatat bahwa konversi ke Kristen atau Islam kadang menggantikan ritual Kaharingan, seperti basangiang, dengan ibadah modern. Namun, nilai inti—penghormatan kepada alam dan kebersamaan—sering bertahan dalam bentuk baru, seperti doa Kristen yang memohon restu hutan. Globalisasi juga membawa pasar, yang kadang mengeksploitasi budaya Dayak. Kain benang bintik diproduksi massal di China untuk turis, mengaburkan cerita leluhur dalam motifnya. Tantangan ini menguji ketahanan Dayak: akankah mereka tetap menjadi penutur cerita hutan, atau sekadar komoditas di pasar global?

Dialog dengan Dunia Modern

Warisan Dayak menawarkan dialog kritis dengan modernitas. Dalam Leviathan, Thomas Hobbes melihat kemajuan sebagai kontrak sosial yang menjinakkan alam liar, sebuah pandangan yang mendorong eksploitasi lingkungan. Dayak, dengan Basengat Ka’ Jubata, mengajarkan bahwa kemajuan sejati adalah hidup selaras dengan alam, bukan menguasainya. John Stuart Mill, dengan utilitarianisme, mungkin memuji efisiensi pasar global, tetapi Dayak menunjukkan bahwa kebahagiaan terbesar bukan dari konsumsi, melainkan dari berbagi, seperti dalam Adil Ka’ Talino.

Adaptasi Dayak juga menggemakan gagasan Amartya Sen tentang pembangunan sebagai kebebasan. Dengan memadukan tradisi dan teknologi—seperti musyawarah online atau seni digital—Dayak memperluas ruang budaya mereka tanpa kehilangan identitas. Ini kontras dengan individualisme Barat, yang sering memisahkan manusia dari komunitas, seperti yang dikritik Charles Taylor. Musyawarah virtual Dayak menunjukkan bahwa teknologi bisa memperkuat, bukan menggantikan, ikatan sosial, sebuah pelajaran untuk dunia yang terpolarisasi oleh media sosial.

Ketahanan dan Inovasi

Ketahanan Dayak terlihat dalam inovasi mereka. Di Sanggau, komunitas Iban menggunakan drone untuk memetakan hutan adat, melindungi tanah dari perusahaan sambil mempertahankan hukum adat, seperti dilaporkan Mongabay pada 2021. Di Palangkaraya, Ngaju menggelar festival Kaharingan tahunan yang disiarkan streaming, menarik diaspora untuk kembali ke akar. Sellato mencatat bahwa kelompok pemuda Dayak di Balikpapan membentuk komunitas seni urban, menciptakan mural burung enggang yang memadukan grafiti dengan simbol adat. Inisiatif ini menunjukkan bahwa warisan Dayak bukan relik, tetapi benih yang tumbuh di tanah baru.

Namun, inovasi butuh keseimbangan. Komersialisasi seni Dayak, seperti benang bintik di pasar global, bisa mengurangi makna spiritualnya, seperti yang Tsing peringatkan. Pendidikan modern juga harus merangkul bahasa Dayak—hanya 10% sekolah di Kalimantan Tengah mengajarkan Ngaju atau Iban pada 2020, menurut laporan lokal. Tanpa ini, warisan lisan seperti karungut bisa pudar, melemahkan estetika dan etika yang terkandung di dalamnya.

Refleksi untuk Dunia Global

Warisan Dayak di era global adalah cermin bagi kita semua. Musyawarah mereka, yang kini merambah dunia maya, mengajarkan bahwa teknologi bisa menyatukan, bukan memecah. Seni mereka, yang tetap menghormati hutan meski di galeri kota, mengingatkan kita bahwa keindahan sejati adalah tanggung jawab. Di tengah dunia yang terburu-buru menuju efisiensi dan laba, Dayak mengajak kita bertanya: bagaimana kita bisa membawa tradisi ke masa depan tanpa kehilangan jiwa? Seperti tetua di ruai virtual, jawabannya mungkin ada pada kemauan kita untuk mendengar—suara manusia, alam, dan mungkin juga roh yang masih berbisik di hutan.

Ikuti artikel berikutnya untuk menjelajahi pelajaran Dayak bagi masa depan dunia.

Sumber:

  • King, Victor T. 1993. The Peoples of Borneo. Oxford: Wiley-Blackwell.
  • Schiller, Anne. 1997. Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity among the Ngaju of Indonesia. New York: Oxford University Press.
  • Sellato, Bernard. 2002. Nomads of the Borneo Rainforest. Honolulu: University of Hawaii Press.
  • Tsing, Anna L. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection. Princeton: Princeton University Press.
  • Mongabay. 2021. “Indigenous Mapping in Borneo.” https://news.mongabay.com.

 

Post a Comment

Thank you*

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more