Tembawang: Hutan Dayak yang Memanggil Jiwa Kita Kembali ke Bumi

Tembawang Dayak
Sisa Tembawang Dayak
Ketika saya berjalan di bawah kanopi hijau di Desa Pasir Mayang, di pedalaman Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat tahun 2012 silam, saya merasa saya sungguh-sungguh ada di dunia ini. Di bawah pohon durian yang menjulang seperti penjaga waktu, di atas akarnya yang mencengkeram bumi saya seperti berada disebuah portal waktu yang menyatu dengan diri saya.

Ini bukan hutan biasa—ini tembawang, etno-agro forestry atau kebun hutan adat masyarakat Dayak. Orang Dayak Iban menyebutnya temawai, Dayak Benuaq menyebutnya Lembo, Dayak Nganju menyebutnya Kaleka, Dayak Jalai di Ketapang menyebutnya Dahas, dan lain sebagainya. Ditempat ini setiap pohon menceritakan kisah: tentang nenek moyang yang membuka lahan, tentang ritual syukur saat buah pertama jatuh, tentang anak-anak yang akan mewarisi madu dan cerita. Tapi tembawang bukan hanya soal pohon dan pangan atau stok karbon. Ia adalah cermin cara manusia bisa hidup—atau gagal hidup—bersama dunia. Mengapa tembawang, sebuah praktik lokal Dayak, terasa begitu relevan bagi kita semua? Bagaimana sebuah kebun hutan bisa mengajarkan kita tentang makna keberadaan di era perkebunan sawit dan krisis iklim?

Saya melihat tembawang sebagai lebih dari sekadar sistem agroforestry. Ia adalah jendela ke pertanyaan besar: Apa artinya menjadi manusia di dunia yang kita rusak? Mengambil inspirasi dari filsuf Martin Heidegger, yang berbicara tentang “keberadaan” (Being) sebagai hubungan autentik dengan dunia, saya ingin mengajak Anda menjelajahi tembawang melalui lensa interdisipliner—sejarah, antropologi, sains, dan psikologi. Dengan analogi, refleksi, dan sedikit ketidakpastian, mari kita coba memahami mengapa tembawang bukan hanya warisan Dayak, tetapi juga pelajaran untuk umat manusia.

Dari Ladang ke Hutan: Sejarah Tembawang

Sebuah keluarga Dayak, ratusan tahun lalu, membuka ladang di tepi sungai. Mereka menanam padi, lalu pindah ketika tanah lelah. Tapi mereka tidak meninggalkan lahan begitu saja. Mereka menanam pohon buah—durian, nangka, tengkawang—dan membiarkan hutan kembali tumbuh, menciptakan tembawang: hutan buatan yang menyerupai alam liar. Itu adalah tabungan mereka di bumi yang bukan hanya untuk diri mereka semata, tetapi juga untuk semua makhluk hidup di jagad ini. Burung, tupai, rusa, kancil, jamur hingga predator pun makan dan berteduh di hutan kebun Dayak tersebut? Bahkan oksigen terbaik di paru-paru Anda hari ini pun adalah hasil sumbangan tembawang tersebut?

Sejarah tembawang adalah kisah adaptasi cerdas. Antropologi mengajarkan kita bahwa masyarakat adat sering kali lebih inovatif daripada yang kita kira. Tembawang bukan sekadar kisah pertanian ala kampung; ia adalah perpaduan antara kebutuhan manusia dan semesta serta rasa hormat pada alam.

Namun, sejarah juga membawa bayang-bayang. Sejak 1960-an, perkebunan sawit menyapu Kalimantan, menggerus tembawang. Data sains lingkungan menunjukkan vegetasi tengkawang, pohon penghasil lemak berharga, menurun hingga 50-70% di beberapa wilayah. Di balik angka-angka ini, ada cerita kehilangan: makam leluhur yang digusur, ritual yang meredup, bahasa lokal yang lenyap. Tapi Dayak tidak diam. Melalui pemetaan wilayah adat, seperti di Kampung Segumon pada 2016, mereka melawan. Mengapa mereka bertahan? Apakah tembawang hanya soal ekonomi lokal, atau ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang berbicara tentang cara kita semua menjalani hidup?

Tembawang sebagai Cara “Berada di Dunia”

Heidegger pernah bilang, manusia bukan sekadar makhluk yang hidup di dunia; kita “berada di dunia” (Being-in-the-world). Kita terhubung dengan lingkungan melalui tindakan, perhatian, dan makna. Tapi modernitas, dengan traktor dan spreadsheet-nya, sering memutuskan hubungan ini, mengubah hutan menjadi “sumber daya” belaka. Tembawang menawarkan gambaran lain. Bayangkan seorang petani Dayak berjalan di tembawang, memeriksa pohon durian sambil berdoa pada roh leluhur. Ini bukan sekadar kerja; ini adalah ritual, sebuah tarian antara manusia dan alam.

Dari sudut antropologi, tembawang adalah ruang sakral. Pohon belian dianggap keramat, pohon tengkawang, makam leluhur di tengah kebun dipercaya menjaga keseimbangan kosmik. Dalam kepercayaan Kaharingan, alam penuh roh—Penompa, dewa pencipta, atau semangat pohon. Tembawang jadi tempat manusia dan roh bertemu, seperti katedral gotik bagi orang Eropa abad pertengahan. Tapi ini bukan soal dogma; ini soal keterlibatan. Apakah kita, di kota-kota beton, masih punya “tembawang” kita sendiri—ruang yang membuat kita merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar?

Psikologi Care: Mengapa Dayak Menjaga Tembawang?

Heidegger menyebut care (Sorge) sebagai inti keberadaan manusia. Kita peduli pada dunia—pada anak-anak kita, rumah kita, masa depan kita. Di tembawang, care terlihat jelas. Aturan adat melarang menjual tembawang atau menebang pohon sembarangan. Buah dan madu dari tembawang digunakan untuk kebutuhan bersama, bukan keuntungan pribadi. Ini bukan romantisme; ini strategi bertahan hidup yang dibuktikan sains. Studi etnobotani menunjukkan tembawang menyimpan tanaman langka seperti gaharu dan durian burung, tanaman oba-obatan, menjaga biodiversitas di tengah ancaman deforestasi.

Tapi care ini juga psikologis. Dimana seorang ibu Dayak mengajari anaknya nama-nama pohon di tembawang, menceritakan leluhur yang menanamnya. Ini menciptakan rasa identitas, rasa memiliki. Psikologi modern menyebut ini “place attachment”—ikatan emosional dengan tempat. Di dunia yang penuh migrasi dan alienasi, tembawang mengingatkan kita: manusia butuh akar, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara rohani dan emosional. Apa yang terjadi jika kita kehilangan “tembawang” kita—tempat yang memberi kita makna?

Waktu dalam Tembawang: Melampaui Diri

Salah satu ide Heidegger yang paling menggugah adalah soal waktu. Kita bukan makhluk yang hidup di “sekarang” saja; kita terhubung dengan masa lalu dan masa depan. Tembawang adalah ilustrasi nyata. Pohon tengkawang yang ditanam seorang kakek mungkin baru berbuah saat cucunya dewasa. Menanam pohon adalah tindakan iman pada masa depan, sebuah pengakuan bahwa hidup kita terbatas (Being-toward-death, kata Heidegger). Ini kontras dengan budaya instan kita, di mana perkebunan sawit menjanjikan untung cepat tapi meninggalkan tanah tandus.

Dari sudut sejarah, tembawang juga menyimpan memori. Cerita lisan tentang tembawang di Gunung Bawang, misalnya, merekam migrasi Dayak Kanayatn. Setiap pohon adalah arsip hidup, menyimpan catatan pengetahuan, seperti buku tua di perpustakaan yang jarang dibaca tapi penuh hikmah. Tapi waktu juga membawa ancaman. Ketika tembawang digusur untuk sawit, kita tidak hanya kehilangan pohon, tetapi juga cerita, identitas, dan masa depan. Apa artinya hidup di dunia ketika memori  Anda terhapus atau harapan hilang?

Tantangan Narasi Dominan

Kita hidup di era yang memuja efisiensi dan profit. Narasi dominan—dari papan iklan hingga laporan korporasi—mengatakan bahwa alam harus “produktif” secara ekonomi. Tembawang menantang narasi ini. Ia tidak menghasilkan miliaran dolar, tapi ia memberi makan komunitas dan semua makhluk hidup yang terhubung dengannya, menjaga tanaman dan species langka, memproduksi oksigen terbaik, menjadi ‘terminal’  penghubung antara manusia dengan memori nenek moyangnya. Menurut kacamata para saintis, tembawang adalah “carbon sink” yang membantu melawan perubahan iklim. Dalam bahasa antropologi, ia adalah pusat identitas sosial. Dalam bahasa psikologi, ia adalah sumber kesejahteraan emosional. Mengapa kita begitu mudah mengorbankan sistem seperti ini demi industri ekstraktif yang eksploitatif, salah satunya adalah industry perkebunan monokultur kelapa sawit?

Tapi saya tidak ingin menyederhanakan. Tembawang bukan solusi ajaib. Masyarakat Dayak juga menghadapi tekanan ekonomi, dan beberapa terpaksa menerima sawit untuk bertahan. Ini bukan soal “adat baik, modern buruk.” Ini soal pilihan, soal bagaimana melihat dengan kacamata manusia Dayak yang lebih jernih. Apakah kita ingin dunia di mana hanya ada satu cara hidup—yang mengutamakan keuntungan—atau dunia yang merangkul keragaman cara “berada di dunia”?

Tembawang, pada akhirnya, adalah cermin. Ia mengajak kita bertanya: Bagaimana kita ingin hidup? Sains memberi tahu kita bahwa sistem agroforestry seperti tembawang bisa jadi model keberlanjutan global, menjaga biodiversitas tanpa mengorbankan pangan. Antropologi menunjukkan bahwa budaya adat sering punya jawaban yang kita abaikan. Psikologi mengingatkan kita bahwa manusia butuh makna, bukan hanya efisiensi. Dan sejarah? Ia berbisik: apa yang kita hancurkan hari ini mungkin tak bisa kita pulihkan besok.

Saya tidak punya jawaban pasti. Mungkin tembawang hanyalah salah satu dari banyak cara manusia mencoba memahami dunia. Tapi saat saya berdiri di bawah pohon durian itu, mendengar cerita tentang leluhur dan masa depan, saya merasa ada sesuatu yang hilang dari hidup kita yang serba cepat. Mungkin kita semua butuh tembawang kita sendiri—sebuah tempat, sebuah praktik, sebuah cara untuk merasa terhubung dengan dunia. Apa tembawang Anda? Dan jika Anda belum menemukannya, akankah Anda mencarinya?

 

Post a Comment

Thank you*

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more