![]() |
Sisa Tembawang Dayak |
Ini
bukan hutan biasa—ini tembawang, etno-agro
forestry atau kebun hutan adat masyarakat Dayak. Orang Dayak Iban
menyebutnya temawai, Dayak Benuaq
menyebutnya Lembo, Dayak Nganju menyebutnya
Kaleka, Dayak Jalai di Ketapang menyebutnya
Dahas, dan lain sebagainya. Ditempat
ini setiap pohon menceritakan kisah: tentang nenek moyang yang membuka lahan,
tentang ritual syukur saat buah pertama jatuh, tentang anak-anak yang akan
mewarisi madu dan cerita. Tapi tembawang bukan hanya soal pohon dan pangan atau
stok karbon. Ia adalah cermin cara manusia bisa hidup—atau gagal hidup—bersama
dunia. Mengapa tembawang, sebuah praktik lokal Dayak, terasa begitu relevan
bagi kita semua? Bagaimana sebuah kebun hutan bisa mengajarkan kita tentang
makna keberadaan di era perkebunan sawit dan krisis iklim?
Saya
melihat tembawang sebagai lebih dari sekadar sistem agroforestry. Ia adalah
jendela ke pertanyaan besar: Apa artinya menjadi manusia di dunia yang kita
rusak? Mengambil inspirasi dari filsuf Martin Heidegger, yang berbicara tentang
“keberadaan” (Being) sebagai hubungan autentik dengan dunia, saya ingin
mengajak Anda menjelajahi tembawang melalui lensa interdisipliner—sejarah,
antropologi, sains, dan psikologi. Dengan analogi, refleksi, dan sedikit
ketidakpastian, mari kita coba memahami mengapa tembawang bukan hanya warisan
Dayak, tetapi juga pelajaran untuk umat manusia.
Dari Ladang ke Hutan: Sejarah Tembawang
Sebuah
keluarga Dayak, ratusan tahun lalu, membuka ladang di tepi sungai. Mereka
menanam padi, lalu pindah ketika tanah lelah. Tapi mereka tidak meninggalkan
lahan begitu saja. Mereka menanam pohon buah—durian, nangka, tengkawang—dan
membiarkan hutan kembali tumbuh, menciptakan tembawang: hutan buatan yang
menyerupai alam liar. Itu adalah tabungan mereka di bumi yang bukan hanya untuk
diri mereka semata, tetapi juga untuk semua makhluk hidup di jagad ini. Burung,
tupai, rusa, kancil, jamur hingga predator pun makan dan berteduh di hutan kebun
Dayak tersebut? Bahkan oksigen terbaik di paru-paru Anda hari ini pun adalah
hasil sumbangan tembawang tersebut?
Sejarah
tembawang adalah kisah adaptasi cerdas. Antropologi mengajarkan kita bahwa
masyarakat adat sering kali lebih inovatif daripada yang kita kira. Tembawang
bukan sekadar kisah pertanian ala kampung; ia adalah perpaduan antara kebutuhan
manusia dan semesta serta rasa hormat pada alam.
Namun,
sejarah juga membawa bayang-bayang. Sejak 1960-an, perkebunan sawit menyapu
Kalimantan, menggerus tembawang. Data sains lingkungan menunjukkan vegetasi
tengkawang, pohon penghasil lemak berharga, menurun hingga 50-70% di beberapa
wilayah. Di balik angka-angka ini, ada cerita kehilangan: makam leluhur yang digusur,
ritual yang meredup, bahasa lokal yang lenyap. Tapi Dayak tidak diam. Melalui
pemetaan wilayah adat, seperti di Kampung Segumon pada 2016, mereka melawan.
Mengapa mereka bertahan? Apakah tembawang hanya soal ekonomi lokal, atau ada
sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang berbicara tentang cara kita semua
menjalani hidup?
Tembawang sebagai Cara “Berada di Dunia”
Heidegger pernah bilang, manusia bukan sekadar makhluk yang hidup di dunia; kita “berada di dunia” (Being-in-the-world). Kita terhubung dengan lingkungan melalui tindakan, perhatian, dan makna. Tapi modernitas, dengan traktor dan spreadsheet-nya, sering memutuskan hubungan ini, mengubah hutan menjadi “sumber daya” belaka. Tembawang menawarkan gambaran lain. Bayangkan seorang petani Dayak berjalan di tembawang, memeriksa pohon durian sambil berdoa pada roh leluhur. Ini bukan sekadar kerja; ini adalah ritual, sebuah tarian antara manusia dan alam.
Dari
sudut antropologi, tembawang adalah ruang sakral. Pohon belian dianggap
keramat, pohon tengkawang, makam leluhur di tengah kebun dipercaya menjaga
keseimbangan kosmik. Dalam kepercayaan Kaharingan, alam penuh roh—Penompa, dewa pencipta, atau semangat
pohon. Tembawang jadi tempat manusia dan roh bertemu, seperti katedral gotik
bagi orang Eropa abad pertengahan. Tapi ini bukan soal dogma; ini soal
keterlibatan. Apakah kita, di kota-kota beton, masih punya “tembawang” kita
sendiri—ruang yang membuat kita merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih
besar?
Psikologi Care: Mengapa Dayak Menjaga Tembawang?
Heidegger
menyebut care (Sorge) sebagai inti keberadaan manusia. Kita
peduli pada dunia—pada anak-anak kita, rumah kita, masa depan kita. Di
tembawang, care terlihat jelas. Aturan adat melarang menjual tembawang
atau menebang pohon sembarangan. Buah dan madu dari tembawang digunakan untuk
kebutuhan bersama, bukan keuntungan pribadi. Ini bukan romantisme; ini strategi
bertahan hidup yang dibuktikan sains. Studi etnobotani menunjukkan tembawang
menyimpan tanaman langka seperti gaharu dan durian burung, tanaman oba-obatan, menjaga
biodiversitas di tengah ancaman deforestasi.
Tapi
care ini juga psikologis. Dimana seorang ibu Dayak mengajari anaknya
nama-nama pohon di tembawang, menceritakan leluhur yang menanamnya. Ini
menciptakan rasa identitas, rasa memiliki. Psikologi modern menyebut ini “place attachment”—ikatan emosional
dengan tempat. Di dunia yang penuh migrasi dan alienasi, tembawang mengingatkan
kita: manusia butuh akar, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara rohani
dan emosional. Apa yang terjadi jika kita kehilangan “tembawang” kita—tempat
yang memberi kita makna?
Waktu dalam Tembawang: Melampaui Diri
Salah
satu ide Heidegger yang paling menggugah adalah soal waktu. Kita bukan makhluk
yang hidup di “sekarang” saja; kita terhubung dengan masa lalu dan masa depan.
Tembawang adalah ilustrasi nyata. Pohon tengkawang yang ditanam seorang kakek
mungkin baru berbuah saat cucunya dewasa. Menanam pohon adalah tindakan iman
pada masa depan, sebuah pengakuan bahwa hidup kita terbatas (Being-toward-death,
kata Heidegger). Ini kontras dengan budaya instan kita, di mana perkebunan
sawit menjanjikan untung cepat tapi meninggalkan tanah tandus.
Dari
sudut sejarah, tembawang juga menyimpan memori. Cerita lisan tentang tembawang
di Gunung Bawang, misalnya, merekam migrasi Dayak Kanayatn. Setiap pohon adalah
arsip hidup, menyimpan catatan pengetahuan, seperti buku tua di perpustakaan
yang jarang dibaca tapi penuh hikmah. Tapi waktu juga membawa ancaman. Ketika
tembawang digusur untuk sawit, kita tidak hanya kehilangan pohon, tetapi juga
cerita, identitas, dan masa depan. Apa artinya hidup di dunia ketika memori Anda terhapus atau harapan hilang?
Tantangan Narasi Dominan
Kita
hidup di era yang memuja efisiensi dan profit. Narasi dominan—dari papan iklan
hingga laporan korporasi—mengatakan bahwa alam harus “produktif” secara
ekonomi. Tembawang menantang narasi ini. Ia tidak menghasilkan miliaran dolar, tapi
ia memberi makan komunitas dan semua makhluk hidup yang terhubung dengannya,
menjaga tanaman dan species langka, memproduksi oksigen terbaik, menjadi ‘terminal’
penghubung antara manusia dengan memori nenek
moyangnya. Menurut kacamata para saintis, tembawang adalah “carbon sink” yang membantu melawan
perubahan iklim. Dalam bahasa antropologi, ia adalah pusat identitas sosial.
Dalam bahasa psikologi, ia adalah sumber kesejahteraan emosional. Mengapa kita
begitu mudah mengorbankan sistem seperti ini demi industri ekstraktif yang
eksploitatif, salah satunya adalah industry perkebunan monokultur kelapa sawit?
Tapi
saya tidak ingin menyederhanakan. Tembawang bukan solusi ajaib. Masyarakat
Dayak juga menghadapi tekanan ekonomi, dan beberapa terpaksa menerima sawit
untuk bertahan. Ini bukan soal “adat baik, modern buruk.” Ini soal pilihan,
soal bagaimana melihat dengan kacamata manusia Dayak yang lebih jernih. Apakah
kita ingin dunia di mana hanya ada satu cara hidup—yang mengutamakan
keuntungan—atau dunia yang merangkul keragaman cara “berada di dunia”?
Tembawang,
pada akhirnya, adalah cermin. Ia mengajak kita bertanya: Bagaimana kita ingin
hidup? Sains memberi tahu kita bahwa sistem agroforestry seperti tembawang bisa
jadi model keberlanjutan global, menjaga biodiversitas tanpa mengorbankan pangan.
Antropologi menunjukkan bahwa budaya adat sering punya jawaban yang kita
abaikan. Psikologi mengingatkan kita bahwa manusia butuh makna, bukan hanya
efisiensi. Dan sejarah? Ia berbisik: apa yang kita hancurkan hari ini mungkin
tak bisa kita pulihkan besok.
Saya
tidak punya jawaban pasti. Mungkin tembawang hanyalah salah satu dari banyak
cara manusia mencoba memahami dunia. Tapi saat saya berdiri di bawah pohon
durian itu, mendengar cerita tentang leluhur dan masa depan, saya merasa ada
sesuatu yang hilang dari hidup kita yang serba cepat. Mungkin kita semua butuh
tembawang kita sendiri—sebuah tempat, sebuah praktik, sebuah cara untuk merasa
terhubung dengan dunia. Apa tembawang Anda? Dan jika Anda belum menemukannya,
akankah Anda mencarinya?